10 Fakta Tentang Trauma : Melihat Dari Dekat pada Masalah yang Kompleks

GREGORY JANTZ

Sebagai seorang optimis yang tak tersembuhkan, setiap hari saya menemukan banyak hal di dunia kita yang membuat kita tersenyum dan bahagia.

Sebagai seorang profesional kesehatan mental, setiap hari saya mengenali banyak hal di dunia kita yang menyebabkan orang sakit dan berisiko.

Banyak masalah yang melanda masyarakat kita membuat orang mengalami pengalaman traumatis, meskipun bukan karena kesalahan mereka sendiri. Nyatanya, hampir setiap orang akan menghadapi peristiwa traumatis entah pada saat tertentu maupun dalam bentuk tertentu.

Trauma terkadang terjadi dengan cara yang paling menyedihkan dan tidak dapat kita bayangkan, seperti penyerangan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, tawuran, atau penembakan di depan umum. Bentuk lain yang lebih umum tetapi tidak kalah menghancurkan yakni: kehilangan orang yang dicintai, perceraian yang tidak baik-baik, atau didiagnosis menderita penyakit yang mengancam jiwa.

Pandemi COVID-19 membawa trauma tak terduga bagi jutaan orang melalui penyakit yang berkepanjangan, kehilangan pekerjaan secara tiba-tiba, krisis keuangan, kehilangan orang yang dicintai, atau kambuhnya penyalahgunaan zat. Sederhananya, pengalaman apa pun yang membuat seseorang sangat terluka dan merasa hancur di dalam dapat memiliki efek merugikan yang bertahan lama.

Selama 30 tahun terakhir, saya telah menangani berbagai macam masalah serius, termasuk kecanduan, depresi, kecemasan, gangguan makan, dan masalah hubungan. Ketika saya mendirikan klinik kesehatan dan perawatan mental pada 1984, saya tidak sepenuhnya memahami bahwa sebagian besar penyakit dan penderitaan yang dialami orang dapat ditelusuri kembali ke semacam trauma. Banyak orang menderita akibat trauma—termasuk depresi, kecemasan, kecanduan, serangan panik (panic attack), insomnia, dan keinginan bunuh diri—selama bertahun-tahun atau bahkan seumur hidup.

Fakta Kehidupan yang Sangat Umum

Banyaknya jumlah orang yang pernah mengalami satu atau lebih dari peristiwa traumatis ini dalam hidup mereka, sungguh sangat mencengangkan. Dengan menggunakan data tentang prevalensi gangguan stres pasca-trauma (PTSD) di Amerika sebagai panduan, sebuah gambaran yang gamblang muncul:

• Diperkirakan 70 persen orang dewasa di Amerika Serikat pernah mengalami peristiwa traumatis setidaknya sekali dalam hidup mereka, dan hingga 20 persen dari orang- orang ini terus berkembang menjadi PTSD (post-traumatic stress disorder) atau gangguan stres pascatrauma.

• Sekitar 8,7 persen dari semua orang dewasa AS—1 dari 13 orang—akan menderita PTSD selama hidup mereka.

• Diperkirakan satu dari sembilan wanita akan mengalami PTSD pada suatu waktu dalam hidup mereka. Wanita dua kali lebih mungkin menderita PTSD dibandingkan pria.

• Lebih dari dua pertiga anak dilaporkan mengalami setidaknya satu peristiwa traumatis dalam hidup mereka sebelum usia 16 tahun—dengan lebih dari 13 persen mengalami beberapa gejala stres pascatrauma.

Jika benar peristiwa traumatis adalah fakta kehidupan yang tidak menguntungkan, maka langkah bijak pertama yang perlu dilakukan untuk penyembuhan adalah dengan bertanya: Apa itu trauma dan bagaimana cara kerjanya? Saya telah menyusun daftar 10 ciri penting dari trauma yang akan menjelaskan segala tentang musuh ini dan apa yang dapat kita harapkan darinya saat kita berupaya melakukan penyembuhan.

1. Trauma Datang dalam Berbagai Bentuk dan Ukuran

Saat melakukan penelitian untuk buku saya “Triumph Over Trauma”, saya menemukan banyak definisi tentang apa arti Trauma. Salah satu yang paling dekat dengan topik adalah pernyataan dari National Council for Mental Wellbeing: “Trauma adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa apa pun yang dialami atau disaksikan oleh seseorang dan memiliki efek sosial, fisik, spiritual, atau psikologis yang bertahan lama.”

Saya fokus pada frasa “peristiwa apa pun”. Tidak ada definisi tunggal tentang apa yang dimaksud dengan trauma dan tidak ada serangkaian efek pasti yang dapat diprediksi pada kesehatan dan kesejahteraan. Kita memiliki parameter pribadi atas suatu peristiwa yang membuat diri kita traumatis—karena kita semua adalah individu berbeda yang dibentuk oleh kombinasi pengalaman masa lalu, kepribadian, sifat fisiologis, dan kondisi lain yang unik dari diri kita sendiri.

2. Semua Trauma bersifat Pribadi dan Sangat Terasa

Baru-baru ini, saya berbicara dengan seorang wanita berusia 81 tahun yang ditinggal mati anjing dachshund miliknya yang berusia 14 tahun. Telah menjanda selama 20 tahun, anjing ini telah menjadi pendamping dan penghiburnya selama bertahun-tahun. Menggambarkan kesedihannya, wanita ini menggunakan kata “traumatis”, dan tidak diragukan lagi kata itu memang tepat disematkan padanya.

Orang lain mungkin menganggap kehilangan hewan peliharaan sebagai hal yang menyedihkan tetapi tidak menghancurkan. Demikian pula, beberapa orang mungkin menganggap kehilangan pekerjaan sebagai “kemunduran”, sementara yang lain akan menganggapnya sebagai peristiwa traumatis. Intinya adalah tidak ada yang bisa memutuskan untuk orang lain apa yang traumatis atau tidak.

3. Korban Trauma Sering Merasa Malu

Ini adalah salah satu ironi trauma yang tragis: Mereka yang tidak bersalah menderita gejolak emosional, menciptakan banyak masalah terkait yang kemudian juga harus mereka tangani. Komponen penting penyembuhan adalah mengenali emosi tidak sehat yang bukan milik Anda dan menggantinya dengan emosi sehat yang memang milik Anda. Tidak semua perasaan malu, bersalah, atau menyesal dapat dibenarkan atau adil.

4. Trauma Bukan Tanda Kegagalan

Ini adalah fakta yang menyedihkan bahwa masyarakat kita tampaknya terobsesi dengan mencari-cari kesalahan. Lihatlah, misalnya, “suasana dan nada” dari konten media sosial. Saat postingan itu sendiri tidak menunjuk sesuatu atau menyalahkan seseorang, Anda dapat melihat komentar dari orang lain yang menulisnya. Ini telah menciptakan budaya pengawasan di mana kita melihat segala sesuatu yang terjadi di dunia dengan mata mikroskop untuk menemukan siapa yang salah.

Mengingat keterkondisian ini, ketika seseorang mengalami peristiwa traumatis, kita sering tidak menyadari betapa mudahnya menyampaikan asumsi halus bahwa – dengan cara tertentu – menganggap terjadi karena kesalahan mereka sendiri. Kerusakan terbesar terjadi ketika orang yang trauma mulai mempercayainya juga.

5. Waktu Sendiri Tidak Cukup untuk Menyembuhkan Stres Traumatis

Ungkapan seperti “waktu menyembuhkan semua luka” dan “berikanlah waktu” mungkin merupakan saran yang paling menyesatkan dan tidak membantu setelah Anda mengalami pengalaman traumatis. Memang benar beberapa orang memiliki cadangan ketahanan yang memungkinkan mereka bangkit kembali setelah masa pemulihan. Itu bisa dijelaskan oleh fakta bahwa setiap orang itu unik dan merespons trauma secara berbeda daripada “hanya” menyembuhkan melalui perjalanan waktu.

6. Trauma yang Tidak Terselesaikan Menimbulkan Trauma Lebih Lanjut

Banyak orang yang menderita akibat rasa sakit di masa lalu tidak mau atau tidak mampu mengatasi peristiwa traumatis awal dan karena itu dia tetap terjebak dalam pola perilaku dan tekanan emosional yang tidak sehat.

Orang yang selamat dari kecelakaan, bencana, pelecehan masa kanak-kanak, dan trauma lainnya sering mengalami gejala seumur hidup. Gejala-gejala ini berkisar dari kecemasan dan depresi hingga rasa sakit fisik yang tidak dapat dijelaskan, kelelahan, penyakit, dan perilaku yang membahayakan (penyalahgunaan zat, seks berisiko, aktivitas kriminal, dan sebagainya).

Trauma yang tidak segera diobati dan tidak ditangani sering akan mereplikasi dirinya sendiri menjadi sumber trauma baru.

7. Anda Tidak Dapat ‘Melalui Otot’ Stres Traumatis

Kemauan keras, tekad, dan ketabahan sangat memungkinkan membantu Anda mengambil langkah maju, tetapi tidak cukup untuk mengatasi kesusahan Anda. Itu karena trauma sangat memengaruhi Anda secara emosional, fisik, mental, dan spiritual. Beberapa orang secara keliru percaya bahwa tekanan trauma- tis akan “hilang” jika mereka terus menekannya. Berusaha menjadi kuat dan tabah adalah pengejaran yang berharga—tetapi tidak cukup untuk mencapai kesehatan yang langgeng.

8. Trauma Membentuk Kembali Hidup Anda—tetapi Bukanlah Akhir

Sudah umum bagi orang yang mengalami peristiwa traumatis, secara mental akan membagi hidup mereka menjadi “sebelum” dan “setelah” peristiwa. Itu wajar dan mungkin tidak dapat dihindari, karena trauma mengantarkan perubahan mendasar yang tidak boleh disangkal. Bahayanya terletak pada cara kita berpikir tentang “sesudah”.

Sejak awal, sangat sulit membayangkan kembali ke sesuatu yang menyerupai normal. Tetapi inilah mengapa mencari bantuan profesional sangatlah penting—agar ada seseorang di tim Anda yang dapat membuka ruang untuk rasa sakit Anda sambil dengan lembut mengarahkan Anda kembali ke kesehatan. Memang benar bahwa Anda tidak akan pernah menjadi orang yang sama seperti sebelumnya — tetapi juga sepenuhnya salah bahwa hidup Anda sekarang selamanya ditentukan oleh ketakutan, kemarahan, atau rasa malu yang tak berkesudahan.

9. Pemulihan Trauma Membutuhkan dan Membangun Ketahanan

The American Psychological Association (APA) mendefinisikan resiliensi sebagai “proses beradaptasi dengan baik dalam menghadapi kesulitan, trauma, tragedi, ancaman, atau sumber stres yang signifikan.” Dengan kata lain, itu adalah kemampuan untuk bangkit kembali ketika hidup menjatuhkan Anda.

Tidak benar bahwa beberapa orang dilahirkan dengan ketahanan dan yang lainnya tidak. Resiliensi merupakan kualitas yang dapat dimiliki dan dikembangkan oleh siapa saja. Catatan APA: “Sementara faktor-faktor tertentu mungkin membuat beberapa individu lebih tangguh daripada yang lain, ketahanan belum tentu merupakan sifat kepribadian yang hanya dimiliki beberapa orang. Sebaliknya, ketahanan melibatkan perilaku, pemikiran, dan tindakan yang dapat dipelajari dan dikembangkan oleh siapa pun.”

10. Penyembuhan Trauma Bisa Terjadi pada Siapa Saja

Kehancuran setelah peristiwa traumatis bukanlah tiket satu arah atau hukuman seumur hidup. Kita pasti diubah oleh trauma dan tidak pernah bisa membatalkan apa yang telah terjadi pada kita. Peristiwa itu akan menjadi bagian dari diri kita, seperti semua hal lain yang pernah kita alami. Tapi itu adalah kebohongan besar jika membayangkan diri kita seperti Humpty Dumpty yang terjatuh berkeping- keping di tanah, tanpa harapan menjadi utuh kembali.

Setiap penyintas trauma yang bersedia bekerja keras untuk penyembuhan dapat melanjutkan hidup mereka dengan menjalin hubungan baru, memiliki kedamaian batin, dan energi untuk mengejar impian mereka.

Gregory Jantz adalah pendiri dan direktur klinik kesehatan mental The Center: A Place of Hope di Edmonds, Wash. Dia adalah penulis “Triumph Over Trauma, Healing Depression for Life,” dan banyak buku lainnya.

Temukan Dr. Jantz di APlaceOfHope.com