Tiongkok Menggunakan Batasan Exit dari Negara Sebagai Alat Penting untuk Menekan HAM

oleh Lin Yi

Pada 2 Mei, kelompok hak asasi manusia “Safeguard Defenders” merilis laporan baru yang menyebutkan bahwa “pembatasan keluar negeri” telah menjadi alat penting bagi rezim Beijing untuk menekan hak asasi manusia, dan siapa pun dapat menjadi sasaran korbannya.

Kelompok Safeguard Defenders telah mendiskusikan secara mendalam tentang pembatasan keluar negeri yang belakangan ini semakin merajalela di Tiongkok. Melalui analisis terhadap data resmi yang dikeluarkan Tiongkok, dan undang-undang yang relevan, juga kasus-kasus yang terjadi terhadap korban, Kelompok tersebut dapat menyimpulkan bahwa rezim Beijing semakin memperketat pengontrolan terhadap orang yang  akan meninggalkan Tiongkok.

Dengan mengecualikan jutaan pembatasan keluar negeri karena alasan etnis, juga dengan tanpa adanya data resmi yang lengkap, laporan itu memperkirakan bahwa masih terdapat ratusan ribu kasus pembatasan keluar negeri yang menimpa orang di Tiongkok. Bahkan skalanya terus melebar dari tahun ke tahun.

Dengan menggunakan “pembatasan keluar negeri” sebagai kata kunci untuk mencari jumlah putusan yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung Rakyat Tiongkok, kita bisa menemukan bahwa jumlah kasus telah meningkat hampir 8 kali lipat dari tahun 2016 yang hampir mencapai 5.000 kasus menjadi sekitar 39.000 kasus pada tahun 2020. Hal ini mencerminkan adanya peningkatan tajam dalam jumlah pembatasan keluar negeri dari Tiongkok.

Kolumnis Epoch Times Wang He mengatakan : “Tujuannya adalah untuk menaklukkan seluruh masyarakat dan membuat warga sipil rela menjadi budak PKT. Tetapi di sisi lain, sebagaimana kata pepatah PKT sendiri bahwa, di mana ada penindasan, di sana ada perlawanan. Jadi semakin banyak ia melakukan itu, maka semakin banyak orang yang dapat memahami sifat jahat PKT”.

Laporan tersebut juga mencantumkan kelompok sasaran yang dilarang meninggalkan Tiongkok, termasuk : pembela hak asasi manusia, orang asing, mereka yang terlibat dalam perselisihan sipil, etnis minoritas, dan kelompok lainnya.

Laporan itu juga secara khusus menunjukkan bahwa sejak Xi Jinping berkuasa, semakin banyak aktivis hak asasi manusia dan anggota keluarga mereka yang terkena larangan meninggalkan negara, seperti korban penumpasan “709”, dan pengacara hak asasi manusia Guo Feixiong dan sebagainya. 

Sebagai bagian dari represi transnasional, PKT tak segan-segan untuk menyandera anggota keluarga yang tinggal di Tiongkok dari banyak kelompok target yang berada di luar negeri. Dengan melarang mereka keluar negeri untuk memaksa target represi kembali ke Tiongkok. 

Banyak juga warga negara asing yang dilarang meninggalkan Tiongkok karena perusahaannya terlibat sengketa perdata.

Laporan itu juga menunjukkan bahwa pembatasan keluar negeri  telah dijadikan senjata oleh rezim PKT untuk melawan jurnalis asing. Sejak tahun 2018, setidaknya ada empat kasus jurnalis asing yang dilarang meninggalkan Tiongkok.

Wang He mengomentari : “Dia (PKT) menggunakan rakyatnya sendiri, dan tentu saja juga sejumlah kecil warga negara asing, sebagai alat tawar-menawar untuk mencapai tujuan politik spesifiknya”.

Menurut laporan “Safeguard Defenders”, untuk mendapatkan legitimasi atas perbuatan “membatasi orang keluar negeri”, rezim PKT sejak tahun 2018 telah memberlakukan atau merevisi setidaknya lima undang-undang.

Wang He menuturkan, “Aturan hukum di Tiongkok terutama digunakan untuk mengendalikan rakyatnya, pemerintah bisa berbuat sewenang-wenang. Rakyat harus mematuhi perintah rezim penguasa. Jadi bagaimana agar rakyat mematuhi pemerintah, maka pemerintah membuat banyak undang-undang, termasuk yang terakhir ini, merevisi undang-undang yang katanya untuk anti-spionase, agar tidak ada ruang bagi orang (pembangkan) untuk bergerak.” (sin)