Ujung Pedang Korsel Mengincar Beijing

Shi Shan

78 tahun silam, pada September 1945, setelah Jepang menyerah, negara Manchuria (atau Manchukuo/Hanzi Tradisional/滿洲國, negara boneka yang dibentuk oleh Jepang pada 1934 di wilayah timur laut Tiongkok dan Mongolia Dalam, yang diperintah dalam bentuk monarki konstitusional. Red.) juga lenyap seiring dengan kekalahan Jepang. Seorang tentara Korea yang merupakan anggota AD Kekaisaran Manchuria yang bernama Letnan Okamoto Minoru juga kehilangan pekerjaannya.

Dalam kebimbangan, Letnan Okamoto yang merupakan lulusan dari Akademi Militer Imperial Jepang bergabung dengan Tentara Nasional Tiongkok kala itu, yaitu Angkatan Bersenjata Partai Nasionalis (Kuo Min Tang, red.). pada awal 1946, berkat AS (Amerika Serikat) bertindak sebagai arbitrase, kedua partai yaitu nasionalis dan komunis bersepakat untuk mengurangi jumlah pasukannya masing-masing. Pengurangan pasukan Partai Komunis Tiongkok (PKT) tentu saja adalah penipuan, sementara pihak Partai Nasionalis melakukannya dengan sungguh-sungguh.

Pada 1946 Chiang Kai-Sek telah mengurangi sekitar 1 juta orang prajurit, yang pertama dikurangi adalah segala jenis pasukan relawan, banyak yang langsung dicopot nomor anggotanya. Yang tersisa setelah pengurangan prajurit adalah perwira yang ditempatkan pada 12 korps perwira, di dalamnya ada lebih dari 300 orang letnan jenderal dan mayor jenderal.

Letnan Okamoto Minoru yang etnis Korea juga termasuk dalam jajaran yang dikurangi. Ia dikirim ke Kota Tianjin, lalu oleh kapal angkut AS dikembalikan ke Korea. Tentu, waktu itu ia telah kembali menggunakan nama asli Korea-nya, yakni Park Chung-Hee. Tidak salah, dialah tokoh yang mengobarkan kudeta militer pada 1961, dan menjadi Presiden Korea Selatan yang ketiga, serta menciptakan “Keajaiban di Sungai Han” di bidang perekonomian Korea Selatan. 

Park Chung-Hee ditembak mati pada 1979, dalam sebuah jamuan makan malam oleh Direktur Badan Intelijen Nasional Korsel (Korean Central Intelligence Agency, KCIA) yakni Kim Jae-Gyu.

Di sisi Korea Utara ada Kim Il-Sung, yang juga memiliki hubungan sangat dekat dengan Tiongkok. Kim Il-Sung memiliki nama asli Kim Song-Ju, lahir di keluarga Suku Wang di dekat Pyongyang, karena tidak senang terhadap penjajahan Jepang, mayoritas keluarganya melarikan diri ke Tiongkok, dan menetap di wilayah Pegunungan Changbai (di Korut disebut Pegunungan Paektu) yang merupakan perbatasan antara Tiongkok dengan Korea Utara. Pada 1930, pasukan gerilyawan Korut di Pegunungan Changbai berhasil menembak mati beberapa serdadu Jepang yang sedang berpatroli disana, dan dikabarkan salah seorang gerilyawan tersebut adalah Kim Song-Ju. Hal ini terjadi karena rakyat Korut sangat membenci Jepang, oleh sebab itu kejadian tersebut dipropagandakan begitu heboh di seluruh Semenanjung Korea. Pemimpin militant Korea Utara tersebut adalah paman dari Kim Song-Ju.”

Pasca terjadinya Insiden Mukden (Insiden 9/18), kelompok militan Korut tempat Kim Song-Ju bernaung ikut bergabung dengan Pasukan Gabungan Anti-Jepang Tiongkok Timur Laut. Jepang pada 1941 melakukan aksi pemberantasan besar-besaran terhadap kaum militan, seluruh Pasukan Anti-Jepang Timur Laut ditarik mundur ke perbatasan Uni Soviet untuk direstrukturisasi.

Pada Agustus 1945, seminggu sebelum Jepang menyerah, Uni Soviet resmi mengumumkan perang terhadap Jepang, pasukan Uni Soviet pun masuk ke wilayah timur laut Tiongkok. Menurut rencana, wilayah yang akan diterima oleh Uni Soviet selain timur laut, Tiongkok, juga meliputi utara dari Garis Demarkasi Militer Semenanjung Korea. Karena Kim Song-Ju menguasai Bahasa Rusia, ia mendapat dukungan dari Uni Soviet, dan mengubah namanya menjadi Kim Il-Sung kembali ke Korea Utara, dan menjadi orang yang berkuasa di Korea Utara.

Pengalaman Kim Il-Song dengan Park Chung-Hee ada satu kesamaan, yakni keduanya sama-sama memiliki asal usul yang sangat erat dengan Tiongkok dan Jepang. Penulis pernah berkunjung ke Museum Perang Korea di Seoul, mencermati banyak catatan sejarah Korea di sana. Salah satunya adalah ketika meletusnya Perang Korea, surat perintah mobilisasi militer yang kala itu ditulis tangan oleh Presiden Korsel Syngman Rhee sangat dalam membekas di benak saya. Karena surat perintah tersebut ditulis dengan tangan dalam aksara Tiongkok (Bahasa Mandarin), tulisan Hanja (huruf Kanji, red.) itu ditulis sangat rapi dan indah, bahkan lebih indah daripada tulisan tangan kebanyakan pemimpin Tiongkok. Begitu juga dengan Kim Il-Sung, sejak kecil dia bersekolah di Provinsi Jilin, bisa menulis sastra dengan huruf Kanji, dan dikabarkan juga sangat mahir.

Tentu saja, masih ada dua lagi negara yang memiliki hubungan erat dengan Korea modern, yaitu AS dan Uni Soviet.

Korea Selatan memang merupakan negara yang unik, di kawasan Asia Timur Laut, Korea Selatan dikelilingi oleh negara besar super power, Tiongkok, Jepang, AS, dan Rusia. Takdir Korea Selatan, juga tidak terhindar dari hubungannya dengan negara-negara tersebut. Korsel adalah sebuah negara kecil, bagaimana memilih pihak akan sangat menentukan nasib negara tersebut. Pada 26 April, Presiden Korsel Yoon Suk-Yeol yang berkunjung ke AS kembali membuat pilihan yang tepat. Yoon Suk-Yeol dan Biden telah menandatangani “Washington Declaration”. Pihak AS menyatakan, deklarasi ini adalah “tindakan bersama AS dengan Korsel dalam mengupayakan stabilitas dan perdamaian di kawasan Indo-Pasifik.”

Juga di luar Gedung Putih Presiden Yoon Suk-Yeol secara terbuka menyatakan, “Ambisi mengubah situasi sekarang dengan kekuatan militer, tindakan mematahkan dan merusak rantai pasokan, tantangan di bidang pangan dan energi yang aman, sedang mengancam perdamaian dan stabilitas seluruh dunia”. Kalimat ini, sasaran yang ditujunya sangat jelas yaitu Beijing.

Ini adalah deklarasi keberpihakan Presiden Korea Selatan yang paling jelas sejak dibangunnya hubungan diplomatik antara Korea Selatan dengan RRT. Di tengah duel tarik menarik strategis antara AS dengan RRT di kawasan Asia Timur Laut, sementara telah dimenangkan AS. Duel tarik menarik ini, bisa ditelusuri hingga 1950 yakni pada masa Perang Korea.

Saat penulis berkunjung ke Korea Selatan, di jalanan kota Seoul masih dapat terlihat promosi jalanan oleh sejumlah ormas, yang memajang bendera 16 negara pengirim pasukan yang bergabung dengan pasukan PBB, mengucapkan terima kasih dengan berbagai bahasa. Di luar Museum Perang Korea, prasasti berbentuk kurva yang begitu panjang itu, begitu spektakuler, terukir nama prajurit semua negara yang gugur dalam perang tersebut. 

RRT dan Korea Selatan membangun hubungan diplomatik sejak 1992, Korea Selatan memutuskan hubungan diplomatik dengan Taiwan, selama itu banyak liku-liku yang terjadi. Selain karena status Taiwan, bagaimana Beijing menangani hubungan Korea Utara dan Korea Selatan juga merupakan masalah besar. Pihak Korut berulang kali meminta RRT untuk tidak menjalin hubungan diplomatik dengan Korsel tetapi ditolak. Setelah RRT menjalin hubungan diplomatik dengan Korsel, Kim Il-Sung sangat berang, tim delegasi dari Beijing yang dikirim ke Pyongyang untuk memberikan penjelasan hanya diberi waktu 20 menit untuk menemui Kim Il-Sung, dan setelah itu tidak ada perlakuan penerimaan tamu apapun. Setelah RRT menjalin hubungan diplomatik dengan Korsel, sampai akhir hayatnya Kim Il-Sung menolak untuk berkunjung ke Tiongkok.

Tentunya saat Uni Soviet runtuh, hubungan RRT dengan AS masih dalam tahap kerjasama strategis, masalah di Semenanjung Korea terutama bersumber dari senjata nuklir milik Korea Utara, selebihnya adalah masalah kecil. Namun ketika konfrontasi AS dengan RRT semakin memuncak, posisi Semenanjung Korea pun menjadi semakin penting, sikap kedua Korea juga menjadi semakin penting.

Semua ini berawal dari 2017. Putri Park Chung-Hee yakni Park Geun-Hye setelah menjabat sebagai Presiden Korea Selatan, waktu itu Park masih berupaya menjaga keseimbangan hubungan dengan RRT dan AS, pada 2015 ditandatangani perjanjian perdagangan bebas dan investasi dengan RRT, pada 2017 menyetujui sistem THAAD milik AS dipasang di Korea Selatan. Namun kali ini, PKT sudah tidak bisa menerimanya. PKT mengobarkan gerakan anti-Korea, memboikot artis dan produk film dan televisi Korea, seluruh warga memboikot produk dan perusahaan Korea, semua itu terjadi pada 2017.

Saat Moon Jae-In menjabat sebagai presiden, diam-diam ia telah menyepakati tiga hal dengan RRT, yakni tidak bergabung dalam aliansi militer Jepang dan AS, tidak meng-upgrade sistem THAAD, serta tidak turut serta dalam aliansi militer yang mengincar PKT. Hubungan RRT-Korsel pun menghangat, tapi hubungan AS-Korsel menjadi dingin, terutama hubungan Korsel-Jepang, pada dasarnya sudah mencapai titik beku.

Situasi strategis di Asia Timur Laut sangat jelas terlihat, RRT-Rusia ada di satu pihak, Jepang-AS di pihak lain, kedua kubu saling berkonfrontasi, sementara di Semenanjung Korea, Korut berdiri di satu sisi, sementara Korsel berdiri di sisi lain. Bagi AS, keberadaan militernya di Jepang dan Korea Selatan, serta segitiga besi AS-Jepang-Korsel, adalah mata rantai yang penting dalam konfrontasi dengan Beijing. Sementara bagi PKT, hubungan dengan Rusia, dan aliansi dengan Korut, adalah segitiga besi bagi PKT di Asia Timur Laut. Kedua segitiga ini tepat saling berhadapan di antara Korsel dan Korut.

Setelah Yoon Suk-Yeol menjadi presiden, Korea Selatan menghadapi pilihan strategis yang sangat penting, apakah melanjutkan segitiga besi dengan AS, atau menyeimbangkan hubungan dengan RRT, dan berubah menjadi peran yang bebas. Walaupun secara tradisi Korsel dan AS selalu bersekutu, tetapi dalam hal kepentingan ekonomi, ketergantungan Korsel terhadap RRT relatif sangat besar.

Contohnya dalam hal perdagangan. Surplus perdagangan Korsel terhadap RRT pada 2018 mencapai 55,636 milyar dolar AS (815.670 triliun rupiah, kurs per 01/05), merupakan sumber surplus terbesar perdagangan luar negeri Korsel. Namun setelah itu surplus ini menjadi semakin berkurang. Pada 2019 turun menjadi hanya 28,974 milyar dolar AS, dan pada 2020 turun lagi menjadi 23,68 milyar dolar AS, lalu pada 2021 agak naik sedikit menjadi 24,285 milyar dolar AS.

Namun hingga 2022, surplus perdagangan Korsel terhadap RRT turun hingga hanya 1,213 milyar dolar AS. Dan sejak Mei 2022, surplus perdagangan bertahun-tahun Korsel terhadap RRT telah berubah menjadi defisit. Perubahan ini disebabkan beberapa faktor, di antaranya adalah investasi Korsel di Tiongkok dalam beberapa tahun terakhir telah menimbulkan dampaknya, selain itu juga karena melemahnya perekonomian Tiongkok, serta tentu ada akibat dari AS yang memaksa Korsel agar bergabung dalam sanksi teknologi tinggi terhadap PKT.

Kita bisa menyaksikan, dahulu pribadi para pemimpin Korea Utara maupun Korea Selatan, memiliki hubungan yang langsung pada Tiongkok dan Jepang. Namun sekarang pemimpin yang memiliki hubungan individu dengan Tiongkok dan Jepang semakin sedikit, sementara hubungan individu dengan AS dan Eropa menjadi semakin banyak. Misalnya Kim Jong-Un yang dulunya pernah belajar di Eropa.

Bagi AS, Korsel resmi bergabung dalam barisan aliansi AS adalah suatu hal yang sangat penting. Karena dalam konfrontasi penuh AS dengan PKT, decoupling teknologi adalah ajang perang yang penting, sejak tiga tahun lalu AS telah mulai merestrukturisasi rantai pasokan semi konduktor canggih, tujuannya adalah mengisolasi PKT.

Dalam rencana AS, Jepang, Taiwan, dan Belanda memainkan peranan penting dalam merestrukturisasi rantai pasokan teknologi tinggi, dan satu kebocoran yang selama ini terkuak, selalu adalah Korsel. Porsi terbesar perdagangan Korsel terhadap RRT, yang juga merupakan sumber surplus terbesar Korsel adalah produk semi konduktor serta produk yang terkait teknologi elektronik canggih, termasuk berbagai produk yang dihasilkan Samsung Electronics.

Sebenarnya, dalam hal ini Korea Selatan tidak punya pilihan, karena produk semi konduktor Korsel, teknologi itu terutama berasal dari AS, sedangkan bahan bakunya berasal dari Jepang, jika tidak mengikuti jejak langkah AS, berarti akan terisolasi dari rantai pasokan AS, hal ini akan sangat membahayakan bagi perkembangan ekonomi Korsel di masa mendatang. Oleh sebab itu, cepat atau lambat, Korsel harus mengikuti arah kebijakan AS.

“Washington Declaration” pada akhir April menyangkut konten yang relatif luas, dan meliputi kerjasama lebih lanjut di bidang militer. Pihak AS mengungkapkan, program kerjasama baru tersebut termasuk mendorong latihan militer AS dan Korsel, berbagi informasi, dan kerjasama dalam hal aliran aset strategis, memperkuat realisasinya pada berbagai lapisan, penempatan (latihan bersama), serta memastikan saat menghadapi tantangan, akan dapat “merespon bersama dengan cara yang luar biasa”.

Beberapa bulan ke depan, kedua negara akan membahas tindakan konkritnya, termasuk penempatan aset strategis secara rutin, meliputi kapal selam nuklir balistik AS yang akan berkunjung ke Korsel. Ini adalah hal yang belum pernah terjadi sejak era 1980-an.

Untuk itu AS dan Korsel akan membentuk sebuah Grup Konsultatif Nuklir (NCG) untuk membahas rencana nuklir dan perencanaan strategisnya, juga merencanakan bagaimana Korsel memberikan dukungan konvensional dalam operasi nuklir AS pada saat kondisi darurat.

Segitiga besi AS-Jepang-Korsel kembali meruncing tajam, pada permukaannya adalah menghadapi ancaman Korea Utara, tetapi orang yang bermata bijak tahu, aksi sebesar itu, sebenarnya adalah mengincar PKT. Jarak Korea Selatan ke Beijing secara garis lurus hanya 600 mil, dengan jet tempur F16 bisa dijangkau dalam waktu sekitar 20 menit. Ancaman ini, sangat dimengerti oleh Beijing. (Sud/whs)