Mengapa Filipina Tidak Percaya Pada Beijing?

Wang He

Sebagai Presiden Filipina yang berkunjung untuk pertama kalinya ke AS setelah hampir 11 tahun lamanya, perolehan terbesar yang diraih oleh Marcos Junior alias Bongbong Marcos dalam kunjungan ini adalah memastikan janji perlindungan keamanan dari AS. 

Pada 3 Mei lalu, AS dan Filipina untuk pertama kalinya mengumumkan “Pedoman Pertahanan Bilateral” (Bilateral Defense Guidelines), mengkaji ancaman yang muncul di berbagai bidang serta tindakan apa yang ditempuh untuk menghadapi ancaman tersebut, khususnya terhadap serangan yang terjadi di Laut Tiongkok Selatan yang penuh kontroversi, termasuk serangan terhadap penjaga pantai Filipina.

Tahun 1951, AS dan Filipina telah menandatangani Perjanjian Pertahanan Bersama, dan menjadi sekutu militer; tetapi, lingkup dari perjanjian pertahanan AS itu selalu “ambigu secara strategis”. 

Sekarang, Filipina mendapati dirinya berada dalam “situasi geopolitik yang paling rumit di dunia”, Bongbong mengatakan, “Tentu saja Filipina berharap agar dapat mempererat dan mendefinisi ulang hubungan bilateral dengan satu-satunya mitra di dunia, serta peran yang dimainkan dalam menghadapi situasi di Laut Tiongkok Selatan dan kawasan Indo-Pasifik yang semakin tegang.”

Biden memberitahu Marcos Junior, perjanjian pertahanan untuk melindungi Filipina “kokoh ibarat besi”. Untuk dapat menghilangkan kekhawatiran Filipina terhadap AS, pihak AS juga cukup serius melakukan upaya meyakinkan.

Secara individu: pada 3 Mei lalu Menhan AS Austin mengadakan upacara penyambutan salut militer bagi Marcos Junior di Pentagon, ini adalah untuk pertama kalinya Pentagon menyambut pemimpin negara asing dengan skala salut militer selama masa pemerintahan Biden. Beberapa waktu sebelumnya, yakni pada 26 April lalu, dalam latihan perang bersama “Balikatan 23” militer AS dengan Filipina dengan skala yang belum pernah ada sebelumnya, Dubes AS untuk Filipina didampingi Bongbong hadir di lokasi menyaksikan penembakan dengan amunisi nyata, menenggelamkan sebuah kapal perang non-aktif. Bahkan ketika Marcos Junior terpilih tahun lalu yang pertama menelepon memberikan selamat adalah Biden, dengan menyatakan “mengharapkan dengan terpilihnya Marcos Junior dapat mempererat aliansi antara AS dengan Filipina”.

Secara perjanjian keamanan AS terhadap Filipina: (1) Pada 2019 lalu Menlu AS kala itu yakni Pompeo pertama kali menjanjikan (bila pasukan, pesawat, atau kapal Filipina diserang di Laut Tiongkok Selatan, maka berdasarkan pasal 4 dalam “Mutual Defense Treaty”, AS wajib memberikan perlindungan bagi Filipina), setelah itu terus menerus ditegaskan kembali, hingga kali ini kedua negara secara serius mengumumkan “Pedoman Pertahanan Bilateral”.

(2) Pada 6 Februari lalu, pasca terjadinya “Peristiwa Laser” antara kapal RRT dengan Filipina, pihak AS pun langsung mengumumkan “AS akan berpihak pada sekutu Filipina”, serta menyatakan apa yang dilakukan oleh Polisi Laut Beijing adalah “tindakan provokasi dan tidak aman”, “secara langsung telah mengancam stabilitas dan perdamaian regional, melanggar UU internasional yang menjamin kebebasan pelayaran di Laut Tiongkok Selatan”, serta menyebutkan bahwa hasil arbitrase Laut Tiongkok Selatan 2016 memiliki kekuatan ikatan hukum atas RRT dan juga Filipina.

(3) Pada 23 April lalu, kembali terjadi konflik antara RRT dengan Filipina di dekat Dangkalan Second Thomas, Kepulauan Spratly (kali ini pihak Penjaga Pantai Filipina mengundang wartawan BBC untuk meliput keseluruhan proses, media massa arus utama internasional itu dapat menjadi yang pertama mengekspos aksi RRT menindas negara kecil). Pada 28 April, Komandan Armada Pasifik AS (US Pacific Fleet, USPACFLT) yakni Laksamana Samuel Paparo saat diwawancarai secara daring oleh Nikkei menyatakan, AS telah bersiap membantu Filipina, memenuhi kewajiban AS memasok logistik bagi sebuah kapal angkut amfibi Filipina yang kandas, dan mencegah aksi provokasi RRT di Laut Tiongkok Selatan, hanya saja hingga kini Filipina belum meminta bantuan dari AS. Ini berarti AS “bersiap sewaktu-waktu” turun tangan bila terjadi konfrontasi antara Filipina dengan PKT. Jelas, AS sedang menggunakan berbagai cara untuk kembali mendapatkan kepercayaan dari Filipina.

Bagaimana dengan PKT? Begitu bodoh dan arogannya menolak Filipina. Faktanya, kebijakan Beijing terhadap Filipina, berbeda di mulut dengan tindakan, dalam hal ini Filipina sudah banyak dirugikan. Contohnya, Beijing menyatakan: (1) Bersahabat dan berdampingan dengan negara tetangga, menjaga keharmonisan, keamanan, dan kemakmuran dengan negara tetangga, menonjolkan sikap kedekatan, ketulusan, dan toleransi; (2) Pihak RRT selalu menempatkan Filipina sebagai orientasi prioritas diplomatik peripheral, menyikapi hubungan RRT-Filipina dengan skala strategis dan menyeluruh, serta mengemukakan posisi hubungan “tiga kebaikan”, yakni: “menjadi tetangga baik yang saling membantu, saudara baik yang saling memahami dan akrab, rekan baik yang bekerjasama saling menguntungkan”.

Pernyataan ini memang indah didengar, tapi faktanya? Faktanya adalah “mengancam dan menjanjikan dengan keuntungan”, PKT tidak pernah menganggap Filipina sebagai tetangga yang setara, dan selalu memikirkan cara untuk “menaklukkan” Filipina.

Pertama Soal “Mengancam”

Hal ini terutama tampak pada sikap keras dalam konflik Laut Tiongkok Selatan. Masalah kedaulatan atas pulau dan terumbu karang serta demarkasi maritim, sangat sensitif dan rumit. Setelah “Konvensi PBB Tentang Hukum Laut” (UNCLOS) mulai berlaku sejak 1982, seharusnya penyelesaian konflik secara damai diselesaikan berdasarkan konvensi ini. Apalagi RRT adalah negara besar, sedangkan pihak konflik lainnya adalah negara kecil, seharusnya pihak RRT hati-hati, hati-hati, dan lebih hati-hati lagi.

Pada 2002 Beijing telah menandatangani Declaration on Conduct of the Parties in the South China Sea (DOC) bersama dengan 10 negara anggota ASEAN, deklarasi ini seharusnya menjadi pondasi perundingan, menjadi panduan sikap yang harus dicapai oleh semua pihak. Tetapi arogansi PKT tidak juga berubah, selalu bersikap bertentangan dengan semua pihak terkait lingkup penerapan “kode etik” DOC tersebut, kekuatan hukum yang mengikatnya, bagaimana klarifikasi dan pelaksanaan pasal-pasal yang krusial dalam DOC, proses perundingan terus ditunda, hingga Maret 2023 ini baru dimulai perundingan putaran pertama.

Di saat yang sama, PKT terus menggunakan kekuatannya (bahkan kekerasan) hendak mengubah situasi di Laut Tiongkok Selatan. Contohnya pada 2012, telah terjadi “Insiden Scarborough Shoal” antara RRT dengan Filipina, PKT telah berhasil menguasai Scarborough Shoal; mulai 2013 melakukan reklamasi laut dalam skala besar — “membuat pulau” dan me-militerisasi pulau tersebut, dan telah rampung membangun sistem militer segitiga besar (dengan Paracel Island, Scarborough Shoal, dan Spratly Island sebagai titik pangkalan) berikut sistem militer segitiga kecil di Spratly Island (dengan Subi Reef, Mischief Reef, dan Fiery Cross Reef sebagai titik pangkalan).

Perbedaan kekuatan antara PKT dengan Filipina terpaut jauh. PKT acapkali mengatakan kepada Filipina, kami adalah tetangga yang tidak bisa dipindahkan, maksudnya adalah Filipina tidak akan bisa menghindar, jika tidak menurut rasakan saja akibatnya. Satu cara PKT yang menonjol saat ini adalah terus menerus mengusik Filipina di Laut Tiongkok Selatan, maksudnya ialah jangan mendukukung AS pada masalah Selat Taiwan.

Sebagai contoh, pada 2 Februari lalu AS dan Filipina mencapai kesepakatan, Filipina akan membuka empat pangkalan militernya bagi AS; pada 6 Februari, terjadilah “Peristiwa Laser” pun terjadi di sekitar Second Thomas Shoal di Laut Tiongkok Selatan. Pada 11-28 April, AS dan Filipina melakukan latihan perang “Balikatan 23”; menjelang kunjungan Marcos Junior ke AS pada 1 Mei 2023, PKT telah lebih dulu mengutus Menlu Qin Gang untuk berkunjung ke Filipina (21-23 April), belum lagi Qin Gang meninggalkan Filipina, PKT kembali menyulut konflik di kawasan Second Thomas Shoal (pada 23 April).

PKT memainkan perang psikologis dengan Filipina, seolah melontarkan sinyal: walaupun sudah didukung AS, Filipina bisa apa? Tetap saja PKT akan mengusik Filipina. Kalau berani, minta saja AS turun tangan, apakah Filipina berani meminta bantuan AS? Walaupun diminta, apakah AS benar-benar akan turun tangan?

Kedua Soal “Menjanjikan Keuntungan”

Filipina dan banyak negara Asia lainnya ingin “mengandalkan RRT dalam hal ekonomi”. Ini sebenarnya hanyalah khayalan, dan sebaliknya justru telah dimanfaatkan oleh PKT.

(1) Sejak 2017, RRT telah menjadi rekan dagang terbesar bagi Filipina, sekarang menjadi negara terbesar sumber impor bagi Filipina sekaligus juga pasar ekspor kedua terbesarnya. Akan tetapi, perdagangan ini tidak seimbang, Filipina mengalami defisit sangat besar (contohnya nilai perdagangan bilateral 2022 sebesar 87,72 milyar dolar AS dengan RRT mengalami surplus 41,63 milyar dolar AS). Dibandingkan Jepang yang dulu pernah menjadi rekan dagang terbesar bagi Filipina, tapi selalu mempertahankan defisit dagang dengan Filipina.

(2) Perdagangan luar negeri Filipina telah sangat tergantung pada RRT. Dengan 2021 sebagai contoh, berdasarkan data dari Biro Statistik Filipina, nilai perdagangan RRT-Filipina mencapai 38,34 milyar dolar AS, yang mencapai 19,9% dari total perdagangan luar negeri Filipina; impor Filipina dari RRT sebesar 26,79 milyar dolar AS, yang mencapai 22,7% dari total impor Filipina; ekspor Filipina ke RRT sebesar 11,55 milyar dolar AS, yang mencapai 15,5% dari total ekspor Filipina. Sementara pada 2021, total impor perdagangan RRT telah melebihi 6 trilyun dolar AS, bagi PKT perdagangan Filipina-RRT itu tidak layak dibahas.

(3) Sejak 2 Juni tahun ini, RCEP terhadap Filipina efektif mulai berlaku. Dalam kerangka RCEP, nol tarif produk yang dijanjikan Filipina bagi berbagai negara rata-rata mencapai di atas 90%, terhadap RRT komitmen tertinggi mencapai 91,3%, lebih tinggi dari tingkat keterbukaan Filipina bagi negara anggota ASEAN lainnya. Di antaranya rasio produk nol tarif yang langsung diberlakukan bagi RRT mencapai 80,5%, ini juga merupakan level keterbukaan yang tertinggi di antara anggota RCEP lainnya terhadap RRT.

Ketiga hal di atas menjelaskan ada banyak keuntungan bagi PKT dalam perdagangan Filipina-RRT.

PKT telah memberi janji palsu terhadap Laut Filipina. Pada Oktober 2016 lalu Duterte berkunjung ke Tiongkok, dan kedua negara telah menandatangani rencana kerjasama yang meliputi 13 aspek senilai 13,5 milyar dolar AS. Faktanya? Dana yang dikucurkan begitu kecil. Januari tahun ini Marcos Junior berkunjung ke Tiongkok, pihak perusahaan RRT telah mengajukan rencana kerjasama senilai 22,8 milyar dolar AS dan penawaran pembelian sebesar 2,1 milyar dolar AS, sepertinya Bongbong pulang dengan banyak hasil, tapi berapa banyak yang dapat direalisasikan? Melihat data historis, tidak menjanjikan. Contohnya, menurut data Filipina, 2016 ~2021 akumulasi investasi perusahaan RRT di Filipina sekitar 2,9 milyar dolar AS. Pada 2021, investasi langsung non-keuangan RRT di Filipina sebesar 145 juta dolar AS. Antara Januari hingga Oktober 2022, investasi seluruh industri RRT terhadap Filipina sebesar 79,5 juta dolar AS. Bisa dikatakan, investasi kedua belah pihak tidak begitu berarti.

Namun, PKT terus memancing nafsu Filipina. Contohnya, membujuk Filipina untuk bergabung dalam AIIB yang dibentuk oleh RRT. Pada 27 September 2017 lalu, Dewan Direksi AIIB telah menyetujui pinjaman pertama Filipina bernilai 208 juta dolar AS untuk menopang anggaran proyek penanggulangan banjir di kawasan Metro Manila yang direncanakan senilai 500 juta dolar AS. Lalu pandemi melanda, pada April 2020 AIIB mengucurkan dana pemulihan krisis senilai 13 milyar dolar AS, sebesar 750 juta dolar di antaranya diperoleh Filipina sebagai pinjaman. Akan tetapi, nilai ini terlalu kecil dibandingkan kebutuhan dana pembangunan yang dibutuhkan Filipina dan janji yang pernah diberikan oleh PKT.

Surat kabar Wall Street Journal pernah menyebutkan, Filipina adalah negara Asia Tenggara yang belum masuk ke dalam jalur ekonomi RRT. Sebenarnya, faktor RRT tidak begitu menonjol secara fungsi dalam perkembangan perekonomian Filipina. PKT hanya “memancing” Filipina, sementara Filipina tidak bisa mendapat keuntungan apapun, “keuntungan” itu sebenarnya hampa.

Kesimpulan

Filipina sebenarnya sudah cukup kenyang akan arogansi dan kebohongan PKT. Pada 2016 ketika berkuasa, Duterte telah menempuh policy “meninggalkan AS mendekati PKT”, lagi-lagi Duterte terkecoh, hingga akhirnya pada 22 November 2021 dalam suatu konferensi daring (KTT Peringatan 30 Tahun Hubungan Dialog RRT-ASEAN), Duterte di luar dugaan secara langsung menyatakan rasa tidak puasnya di hadapan Xi Jinping, mengatakan dirinya merasa “muak” atas konflik yang ditimbulkan kapal-kapal RRT sebelumnya terhadap Filipina di Laut Tiongkok Selatan, waktu itu Xi Jinping masih menekankan bahwa PKT “tidak akan mengincar hegemoni, dan tidak akan menindas yang lemah”. Sehingga pada akhir masa jabatannya Duterte kembali merapat pada Amerika.

Hingga 2022 lalu, Filipina telah mengajukan sebanyak 189 kali protes diplomatik terhadap Beijing, di antaranya Marcos Junior saja (mulai menjabat 30 Juni 2022) telah mengeluarkan 61 kali protes diplomatik. Hal ini menunjukkan, antara Filipina dengan PKT, tidak ada lagi kepercayaan yang bisa dibicarakan. (sud)