Program Mengembalikan Hutan Menjadi Lahan Pertanian Menciptakan Ladang Tandus yang Ditolak Petani

oleh Li Chengyu

Program pemerintah pusat Tiongkok “mengembalikan hutan menjadi lahan pertanian” yang dianggap dunia luar sebagai proyek “Lompatan Jauh ke Depan” versi kedua telah menciptakan berbagai fenomena yang menggelikan. Seorang cendekiawan Tiongkok mengatakan bahwa untuk menyelesaikan tugas pemerintah pusat tersebut, pejabat akar rumput telah memunculkan sejumlah besar ladang tandus yang tidak ingin ditanami petani mana pun, lalu mengelabui lembaga atasan dengan menggunakan foto udara yang dibuat sedemikian rupa untuk membuktikan tugas sudah dilakukan.

Untuk memastikan “ketahanan pangan”, Partai Komunis Tiongkok (PKT) membalikkan program “mengembalikan lahan pertanian menjadi hutan” yang sudah mereka praktikkan selama beberapa dekade terakhir menjadi “mengembalikan hutan menjadi lahan pertanian”. Namun, untuk menunjukkan bahwa instruksi pemerintah pusat sudah langsung dikerjakan oleh pemerintah daerah, maka pemda melakukan berbagai cara seperti “mengembalikan jalan menjadi lahan pertanian”, “mengembalikan jembatan menjadi lahan pertanian” dan lelucon lainnya. Di Kota Chengdu bahkan meluncurkan program “mengembalikan lokasi wisata menjadi lahan pertanian”, mereka menjadikan taman ekologi mengelilingi Kota Chengdu yang telah dibiayai dengan sejumlah besar dana menjadi lahan pertanian.

Sejumlah besar video yang beredar di Internet menunjukkan bahwa untuk memperluas lahan pertanian, pemerintah daerah membabat pohon dan hutan, merusak kolam ikan, lahan peternakan, dan kebun buah-buahan petani, bahkan memusnahkan secara paksa berbagai tanaman yang bukan makanan pokok yang ditanam petani. Hal mana menyebabkan kemarahan penduduk.

Menurut artikel yang diterbitkan seorang cendekiawan Tiongkok baru-baru ini, bahwa gerakan “mengembalikan hutan menjadi lahan pertanian” juga membuat beberapa pejabat akar rumput mengeluh karena frustasi.

Artikel tersebut mengatakan bahwa untuk melindungi kebijakan bergaris merah ini, pejabat di akar rumput terpaksa “bermain sulap”. Di banyak tempat, mereka menunjukkan telah menyelesaikan tugas “memperluas lahan pertanian” lewat cara yang melawan akal sehat dengan menyediakan tanah tandus yang tidak ingin ditanami oleh siapa pun.

Ada kantor desa di 3 provinsi menerima tugas yang wajib diselesaikan dalam batas waktu yang ditentukan. Selain itu, Kementerian Pertanahan dan Sumber Daya Tiongkok pada akhir bulan Maret mengeluarkan tugas yang memaksakan pejabat daerah untuk “menyediakan lahan pertanian seluas 390 mu”, dan mengharuskan lahan tersebut sudah ditanami padi sebelum 5 Mei. Beberapa pejabat lokal mengatakan bahwa pihaknya mendapat penolakan untuk menebang pohon demi memperluas lahan dari para petani. Sementara itu, pejabat lain mengatakan bahwa bantaran sungai setempat pada awalnya memang cocok untuk beternak angsa, tetapi sekarang diubah menjadi pertanian tampaknya tidak akan ada panen.

Artikel tersebut mengatakan bahwa tugas remediasi ini melanggar akal sehat mengenai kondisi alam, karena lahan pertama yang akan ditinggalkan petani pasti berupa tanah yang tandus, yang tanpa air atau tanpa jalan, tanah yang mudah tergenang banjir, yang pasti tidak menguntungkan untuk dikelola. Selain itu, meminta petani untuk mengubah kebun buah-buahan, sayur mayur dan tanaman komersial menjadi menanam makanan pokok, dan meminta kader pedesaan menghabiskan banyak uang untuk menanam kembali tanah kosong dengan makanan pokok berupa padi-padian juga melanggar akal sehat tentang ekonomi.

Selain itu, cara hidup petani sudah berubah, tidak banyak orang yang mau kembali ke kampung halaman untuk bercocok tanam, apalagi mengolah beberapa hektar tanah yang diremediasi, beberapa di antaranya bahkan tanah berkualitas rendah. Pada akhirnya, banyak kader desa yang tidak punya pilihan lain selain membayar orang untuk menabur benih tanpa memikirkan apakah benih-benih itu bakal hidup atau mati. “Yang penting difoto udara terlebih dahulu, yang lain tidak usah dipikirkan sekarang”.

Artikel tersebut mengkritik pihak berwenang lantaran melakukan sistem akuntabilitas berbasis tekanan di berbagai tingkatan, ditambah dengan penyalahgunaan alat digital seperti perbandingan citra satelit, membentuk “birokrasi digital” dan menyebabkan berbagai situasi yang tidak masuk akal.

Sejumlah besar video dan foto yang beredar di Internet menunjukkan bahwa di banyak tempat terlihat tanah tipis diurugkan ke lantai beton lapangan alun-alun, lapangan olah raga, tempat perparkiran, bahkan bibit padi langsung ditaburkan di jalan beton, lalu difoto udara untuk menipu lembaga atasan. 

Program “mengembalikan hutan menjadi lahan pertanian” usungan PKT mengingatkan banyak orang pada era Mao Zedong tentang “menjadikan biji-bijian sebagai tugas pokok”. Xi Jinping juga berkali-kali menyebutkan “ketahanan pangan”, menuntut agar “mangkuk nasi rakyat Tiongkok harus digenggam di tangan sendiri”.

Artikel komentar di media Taiwan “Central News Agency” menunjukkan bahwa di balik program “mengembalikan hutan menjadi lahan pertanian” adalah ketakutan otoritas Beijing bahwa Tiongkok gagal berswasembada pangan, dan ketakutan yang lebih dalam terhadap embargo Barat jika PKT menggunakan kekuatan di Laut Tiongkok Selatan dan Selat Taiwan. (sin)