Beijing Beralih dari Promosi ‘Bonus Demografi’ ke ‘Bonus Talenta’, Pakar : Bukan Lagi Keunggulan

oleh Li Yanming

Tiongkok sekarang sedang menghadapi krisis populasi serius yang belum pernah terjadi sebelumnya yang diakibatkan oleh jatuhnya tingkat kelahiran. Karena itu pemerintah Tiongkok mulai dengan giat mengalihkan promosi dari ‘bonus demografi’ menuju ‘bonus telenta’ yang bertujuan untuk menarik minat investasi asing. Namun, analisis para pakar menyimpulkan bahwa sesungguhnya Tiongkok tidak memiliki bonus talenta, jadi kemungkinan besar itu hanya gembar-gembor otoritas untuk menutup-nutupi kemunduran yang mereka hadapi dalam perkembangan.

Pada 15 Mei, media corong Partai Komunis Tiongkok (PKT) “People’s Daily” menerbitkan sebuah artikel yang menyebutkan bahwa ‘bonus demografi’ belum hilang dari Tiongkok, dan ‘bonus talenta’ mulai terbentuk, sehingga Tiongkok tidak mengalami penurunan laju pembangunan. Argumen ini persis seperti yang dikatakan Perdana Menteri Li Qiang saat menjawab pertanyaan wartawan setelah Dua Sesi Partai Komunis Tiongkok berakhir pada bulan Maret tahun ini.

Pada awal tahun 2020, media yang diorganisir oleh Dewan Negara dan dipimpin serta dikelola oleh Departemen Propaganda Komite Pusat PKT “Harian Ekonomi” menerbitkan sebuah artikel yang mengusulkan agar Tiongkok beralih dari ‘bonus demografi’ menuju ‘bonus talenta’. Kesimpulan mereka di atas itu didasarkan pada data resmi dari PKT yang menunjukkan bahwa pada akhir tahun 2019, Tiongkok tercatat memiliki populasi usia kerja antara 16 hingga 59 tahun berjumlah 896,4 juta orang, dan 240 juta orang di antaranya telah mengenyam pendidikan tinggi.

‘Bonus talenta” bukanlah konsep formal dalam ilmu ekonomi

Dalam sebuah wawancara dengan Epoch Times, Henry Wu, seorang ahli ekonomi makro di Taiwan mengatakan, bahwa pencapaian reformasi dan pembangunan Tiongkok di masa lalu terutama didasarkan pada bonus demografi. Dalam hal jumlah talenta, Tiongkok memang tidak pernah kekurangan talenta. Cuma apa yang tidak dimiliki Tiongkok adalah sistem yang klop buat talenta, mekanisme operasi yang memungkinkan bagi talenta untuk bermain. Jadi daripada berbicara tentang bonus demografi, pemerintah Tiongkok lebih baik berkonsentrasi untuk menciptakan bonus pada kebijakan dan institusional.

Ia mengatakan : “Bonus demografi mengacu pada ketersediaan tenaga kerja yang besar dan murah untuk industri manufaktur. Sebaliknya, bonus talenta bukanlah konsep formal dalam ilmu ekonomi. Konsep yang lebih dekat dengan ilmu ekonomi adalah modal manusia (human capital), yang mengacu pada tenaga kerja yang berpendidikan dan memiliki terampil teknis. Jadi yang dibutuhkan adalah tenaga kerja berpendidikan, alias pekerja yang lebih banyak pakai otak ketimbang pakai otot.

“Dalam suatu masyarakat, pasti ada tenaga kerja, ada juga kelas menengah dan talenta mutakhir. Poin kuncinya adalah menyediakan ruang agar tim yang berbasis talenta dapat bermain secara penuh dengan perusahaan”.

Henry Wu menekankan bahwa ekonomi pasar bersaing melalui inovasi, namun sosialisme lebih menekankan terhadap keamanan, sehingga ia mau mengontrol, terus menerus memantau masyarakat, yang diciptakan adalah serangkaian kontrol, bukan ruang agar talenta punya ruang untuk bermain. Otoritas akhirnya berubah menjadi seorang pemanen dan pemangsa.

Heng He, seorang pakar dalam urusan Tiongkok juga berpendapat bahwa bonus berarti sesuatu kelebihan yang hanya dimiliki sendiri, dan tidak dimiliki orang lain. Bukan lagi bonus kalau semua orang memilikinya. Alasan mengapa populasi Tiongkok menjadi bonus pasti memiliki kondisi lain, yaitu hak asasi manusia yang rendah. Walau Tiongkok tidak kekurangan talenta dalam bidang teknologi tinggi, itu pun bukan bonus, karena semua negara maju dan banyak negara berkembang memiliki talenta tingkat menengah hingga tinggi yang terdidik dan terlatih, dalam hal ini Tiongkok tidak lebih unggul dibandingkan dengan negara lain.

India sebagai pesaing Tiongkok

Sementara Tiongkok menghadapi krisis populasi, India menggantikan Tiongkok sebagai negara terpadat di dunia. Menurut prediksi Perserikatan Bangsa-Bangsa, populasi India pada 14 April tahun ini mencapai lebih dari 1,425 miliar, melampaui Tiongkok dan menjadi negara terpadat di dunia.

Ini jelas memberikan tekanan pada PKT yang telah lama mengandalkan pasar tenaga kerjanya yang besar untuk mendapatkan bonus demografis. Henry Wu percaya bahwa India pasti akan menjadi pesaing Tiongkok, karena India tidak hanya memiliki tenaga kerja yang murah, tetapi juga memiliki talenta terbaik. CEO dari banyak perusahaan Amerika di Silicon Valley adalah orang India, dan banyak warga kelas atas India mengenyam pendidikan di Universitas Cambridge, Oxford, dan Amerika Serikat.

“Saat ini perusahaan internasional besar telah mengalihkan investasinya dari Tiongkok ke India. Meski infrastruktur India masih lebih buruk daripada Tiongkok, dan pembagian kelas India masih kuat, tetapi India memiliki ruang untuk berkembang dan masih memiliki kekuatan untuk menyaingi Tiongkok. Jika Tiongkok tidak memperhatikan akumulasi modal manusia, maka akan sulit untuk menjawab tantangan India di masa mendatang”, katanya.

Henry Wu juga mengatakan bahwa poin kunci dari permainan kekuatan besar adalah seberapa banyak alternatif yang ada. “Amerika Serikat dapat memindahkan basis manufakturnya ke India dan Asia Tenggara. Bisakah Tiongkok menemukan pasar dan teknologi dari tempat lain ? Tidak, Anda tidak bisa menjual produk ke bulan”.

PKT menutupi penurunan populasi yang tajam

Populasi kelahiran Tiongkok mengalami penurunan tajam. Menurut data yang dikeluarkan oleh Biro Statistik Nasional Tiongkok, kelahiran pada tahun 2022 hanya berjumlah 9,56 juta, (tingkat kelahiran 6,77‰). Ini adalah pertama kalinya sejak 1950 populasi kelahiran tahunan turun sampai di bawah 10 juta jiwa. Tingkat kelahiran Tiongkok telah mengalami penurunan di bawah 1% selama tiga tahun berturut-turut.

Pada 17 Mei, seorang blogger keuangan terkenal di Weibo, “Hai Fu Boshi” yang memposting tulisan : menurut dokumen persalinan edisi baru yang dikeluarkan oleh Komisi Kesehatan dan Keluarga Berencana, bahwa perkiraan jumlah kelahiran tahunan 2023 bahkan mungkin di bawah angka 8 juta jiwa.

Seorang netizen berkomentar : “Negara damai mana yang pernah mengalami penurunan kelahiran sampai setengah dari jumlah kelahiran dalam 5 tahun ? Kita tidak khawatir dengan pengurangan populasi, tetapi kita perlu takut dengan pengurangan yang begitu cepat”.

Ekonom Tionghoa – Amerika Li Hengqing mengatakan dalam sebuah wawancara dengan Epoch Times bahwa di masa lalu, Tiongkok memiliki basis populasi yang sangat besar, tetapi PKT terbawa oleh kesombongannya lalu melakukan keluarga berencana berdarah, hingga akhirnya pada beberapa tahun silam Tiongkok harus menemui kenyataan pahit yakni menghadapi pertumbuhan populasi yang negatif. Tetapi pemerintah Tiongkok terus menyembunyikan data ini.

“Data yang dirilis sekarang, meskipun disiarkan oleh media resmi sebenarnya adalah data yang tidak benar. Bahaya penurunan populasi Tiongkok jauh melebihi apa yang dilaporkan saat ini. Yang paling khas adalah fenomena penggabungan sekolah menengah dengan sekolah dasar, yang banyak muncul di wilayah pinggiran, pedesaan akibat tidak ada siswa, kekurangan sumber siswa”.

Li Keqiang, mantan Perdana Menteri Tiongkok pernah mengatakan pada konferensi pers Sesi Kedua tahun 2020, bahwa ada 600 juta penduduk Tiongkok yang pendapatan bulanannya kurang dari RMB. 1.000,- , yang mana akan sulit untuk bisa menyewa sebuah pondokan di kota menengah.

Li Hengqing percaya bahwa pasti banyak dari penduduk yang berada di antara angka 600 juta itu yang mampu bekerja dan menciptakan kekayaan, tetapi mereka tidak memiliki kesempatan kerja. Yang paling khas adalah kejadian di Beijing beberapa tahun lalu, yang mengusir apa yang disebut populasi kelas bawah, padahal mereka itu adalah manusia-manusia yang secara mandiri mencukupi sandang pangan mereka. Di komunis Tiongkok, kaum buruh disebut “klan semut”. Golongan orang yang hidup seperti semut. Sekarang muncul lagi golongan yang disebut “klan tikus”, penduduk yang terpaksa tidur di dalam pipa-pipa besar untuk saluran air.

“Misalnya, buruh migran yang sudah pulang kampung tidak bisa balik lagi ke kota juga tidak menemui lapangan kerja, jumlah buruh migran ini ada sedikitnya 10 juta orang, ditambah lagi dengan 11,58 juta lulusan baru dari perguruan tinggi. Bagaimana mereka ini akan mendapatkan lapangan kerja ? Mahasiswa yang lulus tidak diberikan sertifikat kelulusan sebelum mendapatkan pekerjaan, dan itu pun bisa dipalsukan. Jadi pertanyaan sekarang, dari mana itu bonus talenta ?”

Li Hengqing mengatakan : “Kebijakan PKT tidak dapat dianalisis dari sudut pandang ilmiah, karena bahkan angka patokannya pun ngawur dan salah. Nyatanya, PKT memperlakukan hal buruk sebagai hal yang menyenangkan. Ini sudah menjadi kebiasaan PKT yang terus membodohi rakyat jelata”.

“Ketika tidak ada lagi tenaga kerja yang bisa ditemui di kemudian hari, PKT akan mengatakan bahwa Tiongkok masih memiliki sejumlah besar tenaga kerja surplus yang berusia di atas 64 tahun yang bisa dimanfaatkan (padahal dulu PKT mengatakan bahwa orang berusia 64 tahun sudah tidak produktif)”. Li Hengqing mengatakan : “Akibat ‘partai yang memimpin segalanya’, setelah sekian lama, inilah sejumlah kecacatan yang muncul ke permukaan sekarang, dan PKT hanya bisa mengandalkan satu-satunya cara untuk mengatasi masalah, yaitu lewat penipuan”. (sin)