Tiga Perusahaan BigTech Tiongkok di Pusaran Mega Korupsi Proyek BTS 4G

Fadjar Pratikto

Kasus dugaan mega korupsi penyediaan menara base transceiver station (BTS) 4G dan infrastuktur pendukung 1, 2, 3, 4 dan 5  Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI), Kementrian Komunikasi dan informasi  2020-2022 tidak hanya menjadikan Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G Plate sebagai tersangka, tapi melibatkan banyak pihak. Selain menyerempet  lingkaran elite kekuasaan dan partai politik, dugaan korupsi senilai Rp 8,3 triliun itu telah menyeret tiga perusahaan bigtech Tiongkok yang bermitra dengan perusahaan nasional dalam penyediaan proyek strategis nasional itu.

Sebelum Johnny G Plate, sudah ada lima tersangka lain yang lebih dulu ditetapkan. Mereka adaah Direktur Utama Bakti Kominfo, Anang Achmad Latif; Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia, Galumbang Menak Simanjuntak; Tenaga Ahli Human Development (HUDEV) Universitas Indonesia, Yohan Suryanto; Account Director of Integrated Account Departement PT Huawei Technology Investment, Mukti Ali; dan Komisaris PT Solitech Media Sinergy, Irwan Hermawan. Kelima tersangka itu akan segera disidangkan.  

Selain itu, dua CEO dari PT Huawei Tech Investment dan PT FiberHome Tehnologi Indonesia serta Direktur Utama PT ZTE Indonesia, Liang Weiqi dan Direktur Penjualan PT ZTE, Lie Wenxing telah diperiksa oleh Kejaksaan Agung dalam kasus dugaan korupsi dan pencucian uang proyek BTS 4 G itu. Mereka pun sudah dalam status cegah keluar hukum dari wilayah Indonesia, alias tak boleh kabur dari wilayah NKRI sejak akhir 2022. Ada kemungkinan status hukum keempat warga negara Tiongkok itu akan ditingkatkan.

Korupsi dari Awal Perencanaan

Pengadaan menara BTS 4G merupakan program BAKTI Kominfo untuk memberikan akses komunikasi yang setara bagi masyarakat Indonesia di wilayah terdepan, terpencil, dan tertinggal atau 3T. Megaproyek BTS ini merupakan sebuah projek multi year yang telah disusun dalam Renstra Kominfo 2020–2024. Kemenkeu sudah mengalokasi dari APBN sebesar Rp25 triliun untuk  2020–2024 dengan sasaran 9.113 desa dan kelurahan di wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) 3T dan 3.435 untuk non-3T.

Rencananya akan dibangun 7.904 BTS dengan konsep “1 Desa 1 BTS”. Nilai total proyek itu Rp 28 triliun yang terdiri dari dua tahap: 4.200 BTS dibangun pada 2021 dan 3.704 sisanya pada 2022. Hingga saat ini, pembangunan BTS sudah menjangkau 5.618 lokasi. Pada 14 Mei 2023, proyek BTS 4G yang sudah on air atau on service mencapai 4.341 lokasi. Dalam berita acara penerimaan hasil pekerjaan sudah ada di 2.388 lokasi.

Proyek BTS 4G dilaksanakan oleh tiga konsorsium yang memenangi tender pengadaan yang melibatkan tiga perusahaan bigtech Tiongkok yakni Fiberhome, Huawei, dan ZTE. Pertama, konsorsium PT Fiberhome, PT Telkom Infra, dan PT Multitrans Data atau bisa disebut Kemitraan FTM yang menggarap Paket 1 dan 2 untuk wilayah Sumatera, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, serta Maluku. Kedua, konsorsium PT Aplikanusa Lintasarta, PT Huawei, dan PT Surya Energi Indotama, atau disebut Kemitraan LHS yang mengarap  paket 3 untuk wilayah Papua Barat dan Papua bagian tengah-barat. Ketiga, konsorsium PT Infrastruktur Bisnis Sejahtera dan ZTE, atau disebut Kemitraan IZ yang mendapat paket 4 dan 5 untuk wilayah Papua bagian tengah-utara dan Papua timur-selatan.

Setelah proyek berjalan, Kejagung mengendus patgulipat di dalamnya. Penyelidikan dugaan korupsi proyek BTS 4G dimulai pada September 2022. Dua  kemudian, kasusnya naik ke penyidikan. Tak tanggung-tanggung, Kejagung menduga korupsi proyek BTS terjadi di semua tahapan, mulai dari perencanaan hingga pasca-proyek.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana menyebutkan bahwa lembaganya mencium “adanya indikasi manipulasi pertanggungjawaban progres proyek sehingga seolah-olah pencairan 100% dapat dilaksanakan terlebih dahulu. Proyek BTS yang mestinya dikerjakan selama tiga , ternyata dirancang selesai hanya dalam satu . Masalahnya, satu  pun itu belum terlaksana dengan baik. Dugaan praktik lancung proyek BTS sejak fase perencanaan itu bertalian dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan dalam laporan bernomor 40/LHP/XVI/01/ 2022 tanggal 31 Januari 2022.

Pada tahap prakualifikasi atau penilaian kompetensi badan usaha, misalnya, BPK menemukan adanya syarat yang membatasi keikutsertaan banyak calon penyedia. Syarat tersebut antara lain harus memiliki minimal 5 kantor cabang di wilayah Indonesia, dan pernah membangun BTS minimal 50% dari total jumlah site (lokasi) pada paket proyek. Padahal aturan Dirut BAKTI tidak menyebut jumlah minimal kantor cabang yang harus dimiliki. Sementara kemampuan membangun BTS dilihat dari pengalaman calon selama lima  terakhir, bukan dari jumlah minimal BTS yang didirikan.Jadi dokumen prakualifikasi seakan mengarahkan pemenang ke perusahaan tertentu.

BPK juga menemukan ketidaksesuaian kualifikasi kemitraan yang menjadi pemenang proyek. Meski tak sesuai, peserta tetap dinyatakan lulus oleh Pokja Pemilihan. Misalnya pada kemitraan FTM, BPK menemukan bahwa pengalaman pembangunan BTS yang diajukan Fiberhome tidak sesuai, sebab Fiberhome melampirkan salinan kontrak pengalaman milik perusahaan asal Tiongkok, Datang Mobile Communications Equipment Co., Ltd. Padahal Datang bukanlah pemegang saham langsung maupun induk perusahaan Fiberhome.

Sementara pada kemitraan LHS, BPK menyatakan dokumen yang dikirim PT Aplikanusa Lintasarta tidak dilengkapi lampiran maupun rincian pekerjaan. Alhasil, tidak diketahui jenis pengalaman yang dilampirkan apakah termasuk pembangunan BTS atau tidak. Adapun pengalaman pembangunan BTS yang disampaikan Huawei tidak bisa dinilai dari segi minimum pemenuhan jumlah site, sebab Huawei merahasiakan dan menyamarkan atau menghapus beberapa informasi dalam salinan kontraknya.

Terakhir, pada kemitraan IBS-ZTE, BPK menemukan bahwa nilai kekayaan bersih mereka tidak memenuhi syarat karena hanya Rp 2 triliun. Nilai tersebut masih di bawah kekayaan bersih yang dipersyaratkan untuk mengikuti 3 paket pengadaan yakni sebesar Rp 8,1 triliun.

Selain itu, dugaan kongkalikong makin terang dalam proses tender. BPK menemukan perubahan dokumen oleh Pokja Pemilihan untuk menghindari lelang ulang. Ini terjadi saat proses tender paket 4 dan 5 yang dimenangkan kemitraan IBS-ZTE. Padahal sebelumnya mereka dinyatakan tidak lulus tender karena tak memenuhi persyaratan teknis dan finansial. Syarat teknis itu antara lain soal biaya antena VSAT. Anehnya, belakangan Pokja Pemilihan mengubah dokumen dengan menambah spesifikasi tower dan power BTS.

Perubahan spesifikasi tersebut membuat konsorsium IBS-ZTE dapat memenuhi aspek finansial dan teknis sehingga ditetapkan sebagai pemenang. Perubahan spesifikasi teknis tersebut terindikasi bukan didasarkan pada analisa kebutuhan pelaksanaan pekerjaan di lapangan, tapi pada spesifikasi teknis yang dimiliki/dapat disediakan oleh IBS-ZTE.

Hasil temuan BPK tersebut kemudian menjadi salah satu bahan bagi Kejagung dalam mengusut proyek BTS, khususnya dari segi tender. Berdasarkan proses penyidikan Kejagung, tender proyek BTS sudah diatur untuk dimenangi pihak tertentu yakni tiga konsorsium yang didalamnya ada tiga perusahaan Tiongkok itu. Temuan berikutnya, kontrak payung yang diteken BAKTI dengan tiga konsorsium pemenang lelang terindikasi memboroskan anggaran hingga Rp 1,5 triliun. Sebagian besar karena penyewaan helikopter senilai Rp 1,4 triliun yang tidak sesuai dengan klausul kontrak.

Imbasnya, pembangunan BTS tak sesuai konsep awal “1 Desa 1 BTS”. Ada beberapa desa yang memiliki 2 BTS. Hal ini misalnya ditemukan di 8 desa di Kabupaten Deiyai, Papua, dan 1 desa di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. BAKTI berdalih, kondisi itu terjadi karena lokasi/desa yang ditetapkan pada tahap awal ternyata telah terkover sinyal 4G sehingga perlu ditetapkan lokasi baru. Dampak lain dari survei yang terlambat adalah: dari 1.007 lokasi yang pembangunan fisik BTS-nya telah selesai, baru 381 yang mengantongi IMB. Sementara lahan yang telah mengantongi perjanjian pinjam pakai hanya 58 lokasi.

Ada juga masalah penyelesaian BTS di wilayah non-Papua yang digarap konsorsium Fiberhome.  lalu, subkontraktor konsorsium Fiberhome yakni PT Semesta Energy Services (SES), menyegel tower di beberapa titik di Natuna dan NTT karena belum menerima pembayaran dari Pool Konstruksi Terbarukan. Padahal pekerjaannya sudah hampir rampung. Akibat molornya target pembangunan BTS, konsorsium Fiberhome harus membayar denda pengembalian uang kepada pemerintah senilai lebih dari Rp 50 miliar.  lalu, Indonesia Coruption Watch (ICW) menduga konsorsium Fiberhome telah menyediakan perangkat yang tidak cukup bagus untuk digunakan. Beberapa perlengkapan BTS dipasok oleh supplier yang tidak memiliki label baik dan ratingnya tidak bagus. 

Dalam pelaksanaanya, walaupun anggaran proyek BTS telah cair 100 persen, tetapi pembangunannya tak kunjung tuntas. Berdasarkan laporan Kominfo yang termaktub dalam hasil pemeriksaan BPK nomor 68A/LHP/XVI/05/2022, dari 4.200 BTS yang direncanakan dibangun pada 2021, hanya 32 BTS yang tuntas 100% dan dicatat sebagai aset tetap, sedangkan sisanya—yang berjumlah 4.168 BTS—belum selesai 100% dan dicatat sebagai konstruksi dalam pengerjaan.

Tak hanya itu, BPK juga menemukan pembangunan BTS di lokasi yang tidak sesuai kontrak, serta adanya kelebihan pembayaran hingga Rp 18,7 miliar. Mirisnya,  masyarakat di beberapa daerah justru kesulitan mengakses internet setelah BTS BAKTI Kominfo dibangun. Kejagung kemudian meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menghitung kembali potensi kerugian tersebut sebagai total loss.

Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia, Boyamin Saiman, menyebut kasus proyek BTS sebagai paket lengkap korupsi. Karena dugaan korupsinya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pertanggungjawaban; bahkan barangnya jelek.

Masalah Utama Mangkrak

Berdasarkan keterangan Mahfud MD selaku Plt. Menkominfo, awalnya proyek BTS 4G berjalan lancar sejak 2006 sampai 2019. Namun, persoalan muncul pada  anggaran 2020, tepatnya saat pencairan anggaran proyek tersebut. Pada  2020 pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar lebih dari Rp 28 triliun untuk proyek itu. Sedangkan anggaran yang dicairkan pada 2020-2021 baru sebesar lebih dari Rp 10 triliun.

Seharusnya pada Desember 2021,  penggunaan anggaran dari proyek tersebut dipertanggungjawabkan. Namun pada kenyataannya barang atau item dari proyek itu tidak ada. Pihak-pihak yang bertanggung jawab atas proyek pembangunan BTS 4G itu meminta waktu perpanjangan pertanggungjawaban hingga Maret 2022 dengan dalih pandemi Covid-19. Masalahnya, BTS-nya itu, tower-tower-nya itu tidak ada. Lalu dengan alasan Covid minta perpanjangan, padahal uangnya ini sudah keluar  2021-2022.

Menurut Kepala Divisi Lastmil Backhaul Bakti Kominfo, Feriandi Mirza, ada sejumlah faktor yang membuat proyek ini belum mencapai target. Pertama, lokasinya berada di wilayah 3T. Sehingga, pengiriman material tersendat akibat banyak desa yang belum memiliki infrastruktur dasar, seperti jalan layak dan aliran listrik. Untuk proyek yang ditempatkan di Pegunungan Papua, kendalanya terletak pada ketersediaan alat transportasi udara. Sebab, ketersediaannya tak sebanding dengan jumlah material dan peralatan yang mesti diangkut. Belum lagi pembatasan aktivitas akibat pandemi Covid-19. Gangguan keamananpun dijadikan alasan lambatnya pembangunan terutama di Papua dan Papua Barat.

Selain itu kata Feriandi, kelangkaan pasokan microchip menjadi hambatan lainnya yang krusial. Kelangkaan ini menurutnya terjadi secara global dan berdampak pada supply beberapa perangkat telekomunikasi yang digunakan dalam pembangunan BTS 4G. Microchip itu memang sangat fital, digunakan di semua peralatan elektronik, termasuk perangkat telekomunikasi, yang berfungsi sebagai “otak” pada sebuah perangkat/ peralatan elektronik tersebut. Tidak terkecuali perangkat yang digunakan dalam proyek BTS, mulai dari perangkat radio BTS-nya sampai dengan perangkat transmisinya.

Masalahnya, seluruh perangkat telekomunikasi termasuk perangkat yang digunakan dalam BTS (terutama perangkat Radio BTS dan transmisi) saat ini masih diproduksi di luar negeri, khususnya dari Amerika Serikat, walaupun dalam kontrak BAKTI memang sudah menetapkan nilai minimal TKDN-nya. Belum ada kemampuan produsen dalam negeri dan juga mitra perusahaan Tiongkok yang bisa memproduksi perangkat microchip ini. Semestinya itu disediakan oleh tiga perusahaan asal Tiongkok yakni Fiberhome, Huawei dan ZTE yang bermitra dengan perusahaan nasional untuk menggarap proyek BTS 4G.

Pasalnya Amerika Serikat sejak  2021 telah menyetop ekspor microchip-nya ke Tiongkok, sehingga sejumlah perusahaan bigtech Tiongkok yang bergantung pada pasokan chip AS ini klabakan. Akibatnya FiberHome, Huawei dan ZTE kehabisan stock micro-chip produksi AS. Padahal ketiga perusahaan telekomunikasi asal Tiongkok ini sedang bermitra dengan perusahaan nasional Indonesia untuk melaksanakan pembangunan proyek menara BTS 4G.

Selama ini kita mengenal FiberHome Telecommunication Technologies Co.Ltd sebagai penyedia peralatan jaringan dan telekomunikasi utama di Tiongkok. Kantor pusat perusahaan yang didirikan pada 1999 ini berada di Distrik Hongshan, Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok. Fiberhome Networks salah satu dari 8 perusahaan afiliasi dan sangat berspesialisasi pada jaringan IP di bawah pengelolaan Fiberhome. Sedangkan PT Fiberhome Technologies Indonesia adalah anak perusahaan Fiberhome Telecommunications Technologies yang bergerak di bidang telekomunikasi untuk menjangkau pemasaran wilayah Indonesia.

Pada  Mei 2020, Biro Industri dan Keamanan Departemen Perdagangan AS memasukan Fiberhome ke Daftar Entitas organisasi yang tunduk pada Peraturan Administrasi Ekspor yang mengatur ekspor dan transaksi lainnya. Fiberhome dianggap “terlibat” dalam dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang melibatkan kelompok minoritas Muslim di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang di barat laut Tiongkok. Perusahaan AS harus mendapatkan lisensi khusus yang sulit didapat untuk bias berbisnis dengan Fiberhome ini. 

Tuduhan lain dialamatkan ke ZTE Corporation yang merupakan sebuah perusahaan teknologi telekomunikasi yang sebagian sahamnya dimiliki oleh pemerintah Tiongkok. ZTE yang didirikan pada  1985 ini, kini sudah melantai di Bursa Saham Hong Kong dan Shenzhen. Perusahaan ini mendapat kritik di AS karena potensi keterkaitannya dengan Partai Komunis Tiongkok (PKT), yang dapat memungkinkan melakukan kegiatan mata-mata.

Pada  2017, ZTE Corporation didenda karena mengekspor teknologi secara ilegal ke Iran dan Korea Utara, sehingga melanggar sanksi ekonomi dunia. Pada  April 2018, Departemen Perdagangan Amerika Serikat juga melarang produsen semikonduktor asal AS untuk mengekspor produknya ke ZTE selama tujuh  meski akhirnya dicabut. Pada  Juni 2020, Federal Communications Commission AS menetapkan ZTE sebagai ancaman keamanan nasional, sehingga ZTE tidak dapat memperoleh subsidi apapun dari Amerika Serikat, bahkan akhirnya melarang ekspor Chips ke ZTE.

Hal yang sama dialami oleh Huawei, yang dikenal sebagai pemasok telekomunikasi dan produsen telepon global. Perusahaan Tiongkok itu telah berada di bawah  pengawasan besar  dalam beberapa  terakhir, dengan  ponselnya hampir tidak terlihat di Ameruka Serikat, dan beberapa negara Eropa melarang penggunaan peralatannya di jaringan 5G mereka. Huawei dianggap sebagai ancaman keamanan nasional mereka. 

Huawei dan juga ZTE  termasuk dalam kelompok produsen peralatan jaringan telekomunikasi terbesar di dunia. Huawei didirikan oleh Ren Zhengfei, mantan anggota Tentara Pembebasan Rakyat pada 1987. Setelah perusahaan itu menjadi salah satu pemain global terbesar di sektor tersebut, kekhawatiran akan hubungannya dengan militer Tiongkok sering muncul. Ada banyak dugaan dan kecurigaan bahwa Huawei membantu Tiongkok mengumpulkan informasi dari sejumlah negara dan perusahaan asing. Dua  lalu, bersama ZTE, perusahaan itu menghadapi tuduhan bahwa peralatan mereka dipasang dengan kode-kode tertentu untuk mengirim informasi sensitif ke Tiongkok. 

Itulah alasan mengapa AS kini melarang perusahaan menggunakan peralatan jaringan Huawei  dan mengapa perusahaan tersebut ditambahkan ke Daftar Biro Industri dan Entitas Keamanan Departemen Perdagangan AS pada Mei 2019, mengikuti perintah eksekutif dari Presiden Donald Trump saat itu. yang secara efektif melarang Huawei dari jaringan komunikasi AS. Pada 17 Agustus 2020, AS memperketat pembatasan akses Huawei ke chip Amerika. Se kemudian, Trump memperpanjang perintah tersebut hingga 2021 dan  pemerintahan Joe Biden pun  belum membatalkan sanksi tersebut. 

Sebuah laporan yang diterbitkan oleh Indo-Pacific Center for Strategic Communications (IPCSC), menyebut Tiongkok tengah dalam kesulitan untuk mengakses mikrochip kelas atas setelah pembatasan impor semikonduktor yang diberlakukan oleh AS. Sejak Oktober 2022, AS berusaha untuk menerapkan serangkaian kontrol ekspor untuk menghentikan Tiongkok mendapatkan chip semikonduktor dari manapun di dunia. Negara Eropa bahkan mengikuti jejak AS dengan bekerjasama membatasi ekspor microchip untuk Beijing.

Menurut Joe Madden, analis utama di Mobile Experts, tanpa lisensi ARM dan chip Amerika, Huawei mungkin hanya bertahan di pasar domestik Tiongkok, dan akan sulit bagi perusahaan bigtech Tiongkok seperti Huawei, FiberHome dan ZTE untuk mereproduksi chip teknologi Amerika tanpa melanggar IP Amerika, dan pertarungan hukum mereka untuk pasar dunia bisa jadi tidak berkelanjutan. Sejauh ini, dalam persaingan chip berbasis material silikon, AS selalu berada pada posisi terdepan di dunia. Karena ketertinggalan Tiongkok dalam bidang chip high-end, negara tersebut telah ditekan oleh AS.

Meski Akademi Ilmu Pengetahuan Tiongkok telah mengklaim keberhasilannya dalam mengembangkan chip transitor optik 3nm, dan jalur produksi chip tabung telah dibangun di Beijing dan siap produksi, tapi belum terlihat wujudnya. Tiongkok masih sebagai importir chip terbesar di dunia sedangkan AS adalah eksportir chip terbesar di dunia. Sulitnya Fiberhome, Huawei dan ZTE mendapatkan chips untuk melanjutkan proyek pembangunan BTS 4G di Indonesia, juga salah satu bukti ketidakmampuan mereka mendapatkan chips di luar dan di dalam negerinya. Akibatnya proyek BTS 4G di Indonesia pun mangkrak, terjadinya korupsi yang melibatkan banyak pihak semakin memerparah keadaan.

Namun demikian, pemerintah RI memastikan proyek BTS 4G yang ambisius ini tetap jalan terus. Plt. Menkominfo Mahfud MD menyatakan masyarakat yang akan dirugikan jika pembangunan menara terhenti akibat skandal korupsi. Apalagi pembangunan BTS 4G merupakan salah satu dari proyek strategis nasional yang sudah dirintis sejak 2006. Menurutnya, pembangunan BTS 4G ini diperlukan guna menunjang kelancaran komunikasi masyarakat sehingga pemerintah menginginkan supaya program itu tetap dilanjutkan. Untuk itu tindakan hukum yang tegas akan ditegakkan terhadap para pelakunya, tak terkecuali pimpinan perusahaan bigtech asal Tiongkok yakni Fiberhome, Huawei dan ZTE.