Muslim Tiongkok Bentrok dengan Polisi Terkait Pembongkaran Masjid Secara Paksa di Yunnan

Alex Wu

Muslim Tiongkok di Provinsi Yunnan bentrok dengan polisi bersenjata dalam upaya menghentikan pembongkaran paksa sebuah masjid di daerah tersebut oleh rezim komunis.

Beberapa video yang viral di media sosial menunjukkan bahwa banyak pengunjuk rasa berkumpul di pintu masuk Masjid Najiaying di Kota Nagu, Kota Yuxi, provinsi barat daya Tiongkok, Yunnan pada 27 Mei.

Sejumlah besar polisi khusus yang dilengkapi dengan pentungan dan perisai anti huru-hara membentuk tembok manusia yang mengelilingi pintu masuk masjid untuk melarang orang-orang masuk.

Dalam video tersebut, beberapa pengunjuk rasa mencoba menerobos garis polisi, dan beberapa lainnya mendorong perancah untuk menghancurkan dinding luar masjid yang dibangun pada abad ke-13 tersebut.

Polisi menggunakan cara-cara kekerasan untuk membubarkan kerumunan massa, yang menyebabkan bentrokan sengit antara kedua pihak. Garis polisi sempat ditarik kembali, dan tim pembongkaran juga mundur untuk sementara waktu.

Diskusi mengenai insiden tersebut di platform media sosial Tiongkok dengan cepat disensor.

Seorang pengguna bernama Ma Ju telah memposting update dari insiden tersebut dengan video di Twitter, yang telah menarik perhatian dan laporan dari media-media besar di Barat.

Dalam salah sebuah unggahannya, Ma mengatakan bahwa pihak berwenang PKT mengirimkan sejumlah besar petugas polisi untuk disebar ke seluruh kota.

Kendaraan pelindung sinyal dari berbagai perusahaan telekomunikasi ditempatkan untuk mematikan koneksi ponsel dan internet di daerah tersebut.

“Lebih dari 30 orang ditangkap hari ini, dan beberapa orang direbut kembali dari polisi oleh pengunjuk rasa lainnya,” tulis Ma dalam sebuah postingan Twitter pada 27 Mei yang menunjukkan seorang pria diborgol dengan memar di dadanya, sementara seorang wanita dapat didengar mengeluhkan perlakuannya.

Pada 28 Mei, sebuah video menunjukkan bahwa di bawah pengawalan banyak polisi bersenjata, tim teknisi terus memasuki daerah Najiaying, mempersiapkan pembongkaran paksa.

Polisi Tiongkok setempat mengeluarkan pemberitahuan pada 28 Mei, yang menyatakan sebuah insiden yang “sangat mengganggu ketertiban sosial terjadi di Kota Nagu pada 27 Mei”, dan memberikan waktu hingga 6 Juni kepada para pengunjuk rasa untuk menyerahkan diri.

Ma mengatakan bahwa ia telah menerima ancaman pembunuhan karena memposting update dari insiden tersebut di Twitter pada 29 Mei beserta pesan-pesan ancaman yang diterimanya: “Saya pasti telah melakukan sesuatu yang benar. Dalam beberapa hari terakhir, saya telah menerima banyak pesan pribadi di Twitter yang mengancam akan membunuh saya.”

‘Sinisisasi’ Masjid

Yang Na (nama samaran), seorang pria Muslim Tionghoa yang memiliki teman di Najiaying, mengatakan kepada The Epoch Times pada 29 Mei, bahwa penyebab insiden tersebut adalah karena pihak berwenang komunis mengharuskan masjid tersebut dibuat dengan gaya Tiongkok, tetapi umat Islam tidak setuju.

Masjid Najiaying memiliki sejarah lebih dari 600 tahun, dengan bangunan saat ini selesai dibangun pada tahun 2004. Masjid ini memiliki empat lantai, memiliki kubah dan empat menara seremonial, dan dapat menampung lebih dari 3.000 orang. Pihak berwenang telah merencanakan untuk memindahkan kubah dan menara masjid.

Dalam beberapa tahun terakhir, otoritas Partai Komunis Tiongkok (PKT) yang berkuasa mendesak “sinisisasi” agama, yang mengharuskan masjid-masjid yang baru dibangun untuk tidak menggunakan kubah masjid bergaya Islam, melainkan kubah bergaya istana Tiongkok.

Yang mengatakan bahwa ada lebih dari 10.000 penduduk di Najiaying, yang sebagian besar adalah Muslim Hui. Ada sekitar seribu Muslim yang menjaga masjid selama 24 jam sehari.

Yang menjelaskan : “Sejak pagi hari 27 Mei, polisi khusus memblokir semua jalan di Najiaying Township; tidak ada yang bisa masuk, hanya bisa keluar.”

“Pada saat itu, setidaknya 1.000 polisi khusus memasuki kota dengan membawa senjata dan amunisi. Mereka mencoba menerobos masuk ke dalam masjid, tetapi para pengunjuk rasa setempat tidak mengizinkan mereka.

Tuntutan warga hanyalah agar tidak ada yang dihancurkan. Apalagi warga tidak melanggar hukum. Sekarang  umat Islam, bertekad untuk mati untuk itu, dan tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan. Jika beberapa orang lagi ditangkap, pertumpahan darah pasti akan terjadi. Sekarang ini telah meningkat ke tingkat mengirimkan polisi anti huru-hara, menggunakan cara-cara untuk menangani para pengacau kepada warga.

Yang menambahkan bahwa pihak berwenang kini telah memblokir berita tersebut.

Yang menuturkan : “Mereka tidak mengatakan apa yang terjadi dalam pemberitahuan polisi, tetapi hanya mengatakan bahwa hal itu mengganggu ketertiban sosial. Jika ada orang yang memposting pesan secara online, mereka akan menelepon dan mengancam mereka. Ia menerima telepon dari polisi, mengancam dirinya untuk tidak memposting apa pun tentang insiden itu.”

Selain itu, pemerintah telah memasang banyak kamera di masjid-masjid sebelum kejadian tersebut dan mengirim agen rahasia untuk berpura-pura menjadi Muslim yang sedang beribadah untuk mencari informasi.

The Epoch Times menelepon lebih dari selusin telepon seluler dan telepon rumah di Najiaying pada 29 Mei. Sebagian besar menunjukkan bahwa panggilan telah dijawab tetapi tidak ada yang menjawab. Telepon pemerintah Kabupaten Tonghai tidak dapat dihubungi.

Perhatian Internasional

Media Barat dan Timur Tengah telah melaporkan insiden tersebut dan memposting ulang video bentrokan tersebut.

Ma memperbarui pada 30 Mei dalam postingannya: “Karena perhatian media global, retweet dan imbauan Anda, pada tanggal 30 Mei waktu setempat, semuanya baik-baik saja untuk saat ini,” yang mengindikasikan bahwa penangkapan massal dan pertumpahan darah belum terjadi.

Ma memperbarui pada 30 Mei dalam postingannya: “Karena perhatian media global, retweet dan imbauan Anda, pada 30 Mei waktu setempat, semuanya baik-baik saja untuk saat ini,” yang mengindikasikan bahwa penangkapan massal dan pertumpahan darah belum terjadi.

Juru bicara World Uyghur Congress, Dilshat Rishit, mengatakan kepada The Epoch Times pada 29 Mei bahwa komunitas internasional harus mengakui tujuan PKT untuk mengambil hak masyarakat atas kepercayaan spiritual.

Rishit menuturkan : “PKT telah memperluas kebijakan ekstrem dalam memberantas kepercayaan spiritual dan menghancurkan masjid di Xinjiang terhadap warga Uighur ke seluruh wilayah Tiongkok.”

The Council on American-Islamic Relations (CAIR), organisasi advokasi dan hak-hak sipil Muslim terbesar di Amerika Serikat, meminta pemerintahan Biden pada 30 Mei untuk mengambil tindakan guna mencegah Tiongkok melakukan pembongkaran sebagian masjid dan terus menerus menindas minoritas Muslim dan praktik Islam di daratan Tiongkok. (asr)