Aksi Tentara Pembebasan Rusia, Kecemasan Terbesar Tiongkok Saat Menyerang Taiwan

Shi Shan

Setelah berlangsung setahun lebih, baru-baru ini Perang Rusia-Ukraina mengalami sejumlah situasi baru. Dua organisasi militer yang dibentuk warga Rusia, dari utara Ukraina menyerang masuk ke kawasan Belgorod di wilayah Rusia, dan menguasai sekitar 35 km persegi wilayah tersebut. Walau wilayahnya tidak luas, tetapi ini adalah untuk pertama kalinya wilayah kedaulatan Rusia dirampas dan dikuasai oleh musuh, maka dampaknya sangat besar. Kedua organisasi militer tersebut, yang satu adalah Legiun Pembebasan Rusia (Freedom of Russian Legion) dan yang satunya adalah Korps Relawan Rusia (Russian Volunteer Corps). Kedua organisasi itu dibentuk oleh orang-orang Rusia yang menentang pemerintahan Putin. Mayoritas kelompok relawan ini pada awalnya berada di Rusia, dan merasa tidak puas terhadap pemerintahan Putin, lalu menentang secara politik, namun kemudian ditindas dan melarikan diri ke Ukraina.

Pada 24 Mei lalu, Kemenhan Rusia mengeluarkan penyataan bahwa pasukan Rusia telah berhasil menghalau mundur “kelompok militer asal Ukraina” yang menyerang, dengan menewaskan 70 orang “serdadu Ukraina”, sisa pasukan telah melarikan diri kembali ke Ukraina. Pernyataan pihak Kemenhan Ukraina tak kalah menariknya, Ukraina membantah dengan menyatakan aksi militer di Belgorod kali ini tidak ada kaitannya dengan pihaknya.

Sementara pihak Legiun Pembebasan Rusia dan Korps Relawan Rusia terus menyebarkan berbagai informasi, termasuk berita tentang aksi mereka di dalam perbatasan Rusia.

Sejumlah media massa Eropa menyebutkan, kedua kelompok militer yang dibentuk oleh warga Rusia tersebut, adalah kaum “ekstrem kanan” asal Rusia yang melarikan diri ke Ukraina, dan didukung oleh Badan Intelijen Ukraina, misi utama mereka adalah mendapatkan segala intelijen militer yang berguna terkait pasukan Rusia. Oleh sebab itu aksi di Belgorod kali ini, memang benar bisa dikatakan sebagai suatu “operasi militer khusus” yang sejati.

Dilihat dari peta, Belgorod terletak di utara wilayah Kharkiv, Ukraina. Situasinya saat ini, pihak Ukraina sedang bersiap melakukan serangan balasan besar-besaran, sasarannya adalah merebut kembali empat wilayah di timur, serta Krimea di selatan Ukraina. Kekuatan militer utama Rusia, seharusnya ditempatkan di sekitarnya, untuk menghadapi serangan balasan Ukraina. Oleh sebab itu aksi yang tiba-tiba di utara ini, membuat orang merasa terkejut dadakan.

Yevgeny Viktorovich Prigozhin selaku pemimpin tentara bayaran Wagner yang menjadi kekuatan utama Rusia, dalam hal ini di media sosial mengkritik Tentara Rusia yang sama sekali tidak siap, sehingga terkesan sangat menyedihkan. Sekarang pihak luar siapapun tidak mengetahui bagaimana hasil akhir dari operasi militer ini? Apakah telah berakhir, atau akan terus berlanjut? Akan tetapi, dampak dari kejadian ini sebenarnya jauh melampaui sekedar sebuah operasi militer berskala kecil. Karena ini adalah kali pertama pasca PD-II ada kekuatan militer yang didukung negara asing yang berperang di dalam wilayah kedaulatan Rusia. Walaupun yang berperang adalah sama-sama orang Rusia.

Menariknya lagi adalah, pihak militer AS juga mengeluarkan pernyataan, dan pihak AS menegaskan, senjata yang digunakan oleh organisasi militer ini bukan senjata buatan AS, sepertinya merupakan senjata bikinan Uni Soviet. Jelas, pada saat ini AS tidak mau Perang Ukraina berkembang menjadi situasi AS berhadapan langsung dengan Rusia. Amerika boleh mendukung dari belakang, tetapi tidak berharap berperang langsung berhadapan dengan Rusia.

Sepertinya itulah mengapa Kemenhan Rusia begitu yakin aksi tersebut adalah aksi militer Ukraina, dan bukan aksi yang dilakukan oleh tentara Rusia. Di satu sisi Rusia tidak mau mengakui di dalam wilayahnya terdapat resistensi bersenjata, di sisi lain juga tidak berharap berhadapan langsung dengan AS. Faktanya, aksi militer seperti ini kemungkinan akan muncul lagi di wilayah Rusia yang lain, dan tidak hanya di perbatasan Rusia-Ukraina. Tentu saja, mengenai apakah kejadian serupa akan terus berkembang atau tidak, kuncinya terletak pada ruang lingkup dan intensitas perang ini sendiri, jika perang terus meluas, maka insiden serupa pasti akan terjadi lagi.

Di era 1970-an, pasukan AS ditarik dari Vietnam, tetapi telah kehilangan rezim Vietnam Selatan. Setelah AS sempat berperang belasan tahun di Vietnam, akhirnya disudahi dengan kekalahan total. Perang Vietnam pun menjadi stimulus yang sangat kuat bagi militer AS. Belasan tahun pasca perang, militer AS mengumpulkan segala pelajaran yang didapat selama Perang Vietnam dari berbagai lapisan, meliputi masalah persenjataan, taktik perang, koordinasi antar angkatan bersenjata, sistem koordinasi komando, tidak hanya pihak militer, dari berbagai laporan banyak wadah pemikir, tentu saja juga diperoleh hasil yang sangat banyak. Salah satu hasilnya adalah efektivitas dari Angkatan Udara.

Dalam Perang Vietnam, AS melakukan pengeboman yang sangat intens terhadap Vietnam Utara, tetapi dampaknya sangat kecil, dan Jalur Ho Chi Minh tidak berhasil diputus, dukungan materi dari Vietnam Utara terhadap gerilyawan komunis Vietnam Selatan masih terus berdatangan, sama sekali tidak efektif dalam menguras kekuatan Tentara Vietnam Utara. AS berinstrospeksi diri pasca perang, dan berhasil merampungkan riset persenjataan presisi AU, serta berbagai taktik dan teknik berperang.

Seperti diketahui, dalam Perang Teluk di awal 1990-an, lalu Perang Kosovo, AU Amerika telah memainkan fungsi yang mengesankan. Di Kosovo, NATO yang dipimpin oleh AS meraih kemenangan, tanpa mengerahkan pasukan darat, hanya menggunakan AU saja. Dalam Perang Teluk, AU Amerika melakukan serangan sebulan lebih, dan nyaris telah melumpuhkan seluruh kekuatan militer Irak.

Inilah hasil dari introspeksi diri AS pasca Perang Vietnam. Salah satu hal penting adalah, harus ada kerja sama dari darat. Namun dalam serangan udara di Irak maupun Kosovo, militer AS sama sekali tidak mengirim pasukan darat, melainkan secara optimal memanfaatkan tim operasi khusus berskala kecil yang bekerjasama dengan kekuatan resistensi lokal.

Di Kosovo terdapat Tentara Pembebasan Kosovo (KLA), di Irak ada militan Kurdi di utara, lalu di Afghanistan, di utara ada hulubalang setempat. Keberadaan kaum resistensi bersenjata lokal ini ibarat duri dalam daging, serba salah serba terjepit. Bila mereka menyerang dan merebut wilayah, jika dikirim pasukan untuk memberantasnya, pasukan akan terpapar di medan perang, akan menjadi peluang emas bagi AU Amerika, tapi jika tidak dikirim pasukan, maka kekuatan resistensi itu akan terus menyebar, dan menyebabkan goyahnya rezim berkuasa. Ini jika AS ikut terjun dalam perang. Dan untuk menghindari pihak AS terjun dalam perang, maka harus mengendalikan ruang lingkup dan intensitas perang.

Menurut penulis, inilah faktor ketidakpastian terbesar yang ditakuti Beijing jika menginvasi Taiwan, PKT tidak bisa menebak seberapa dalam AS akan ikut terlibat? Jika RRT lebih dulu menyerang pangkalan militer AS di Okinawa, maka pasti akan menyebabkan militer AS ikut berperang dengan kekuatan penuh, tetapi jika tidak menyerang militer AS dan Jepang di Okinawa, begitu AS mendadak campur tangan dalam perang, maka Beijing tidak hanya akan kalah, bahkan mungkin akan mengalami kekalahan yang teramat tragis.

Dulu penulis pernah membaca sebuah laporan dari pihak AS terkait perang di Selat Taiwan. Dalam laporan itu dijelaskan, jika RRT menginvasi Taiwan, maka AS harus turun tangan, jika tidak maka era AS akan berhenti. Jika ikut berperang, pada dasarnya ada tiga opsi strategis, yaitu hanya mempertahankan Taiwan, atau perang parsial (sebagian), atau perang berskala penuh. Menurut laporan tersebut, seharusnya perang berskala penuh.

Dalam hal taktik perang juga ada beberapa opsi, salah satunya adalah tidak mengirim pasukan darat memasuki wilayah Tiongkok, melainkan menggunakan AU mengobarkan perang berskala penuh terhadap RRT. Di dalamnya yang paling penting adalah membantu membentuk “kekuatan resistensi militer setempat” di barat Tiongkok. Yang dimaksud disini adalah Xinjiang dan Tibet.

Sampai disini, kita lantas teringat akan Legiun Pembebasan Rusia. tentusaja, sekarang AS tidak terjun langsung dalam pertempuran di Ukraina, tapi tanda-tandanya sudah mulai tampak. Sedangkan apabila RRT menyerang Taiwan, maka bukan lagi sekedar tanda-tanda, tetapi besar kemungkinan akan terjadi.

Luas wilayah Xinjiang adalah 1,6 juta km persegi, sejak dulu telah menjadi kekhawatiran rezim pusat. Tidak perlu membahas jauh, di akhir masa PD-II pada 1944, di utara Xinjiang muncul sebuah Negara Turkistan Timur, PKT menyebutnya “Revolusi Tiga Distrik” (Three Districts Revolution, red.), yang telah menguasai seluruh wilayah Dzungaria di utara Xinjiang. Yang patut dicermati adalah, Turkistan Timur ini bukan didirikan oleh suku minoritas di dalam wilayah Tiongkok. “Negara” tersebut dipimpin oleh Presiden Elihan Tore yang berdarah Uzbekistan, Jenderal Ishaq Beg Mononov selaku Kepala Staf Angkatan Bersenjata adalah dari etnis Tajik, dan Dalelkhan Sugirbayev selaku panglima tertinggi militer adalah dari etnis Kazakh. Tentu saja, waktu itu semuanya adalah bagian dari Republik Sosialis Uni Soviet, yang tentu saja didukung oleh Uni Soviet.

Kemudian antara Stalin dengan PKT tercapai kesepakatan, PKT menyetujui kemerdekaan Mongolia, sebagai gantinya Uni Soviet tidak lagi mendukung Turkistan Timur, sehingga PKT bisa mengambil kembali Xinjiang. Beberapa pemimpin Turkistan Timur di atas, menumpang pesawat Uni Soviet terbang ke Beijing dalam rangka untuk berunding, namun akhirnya pesawat tersebut mengalami naas, diumumkan semua penumpang pesawat tewas dalam kecelakaan tersebut. Faktanya mereka disekap KGB di Moskow, dan kemudian dieksekusi mati.

Dengan memahami latar belakang ini, maka akan lebih mudah untuk memahami mengapa Xi Jinping menggelar KTT Asia Tengah dengan skala tinggi, juga mendukung perekonomian lima negara Asia Tengah. Karena jika beberapa negara ini tidak ditenangkan, maka selamanya tidak akan pernah terwujud stabilitas di Xinjiang. Tapi negara-negara Asia Tengah itu hanya mementingkan uang, begitu AS memberikan lebih banyak uang, maka situasi pun akan segera berubah.

Kondisi di Tibet lebih rumit lagi. Masyarakat Tibet yang berdiam di India ada sekitar 1 juta jiwa, termasuk para diaspora Tibet yang melarikan diri ke India, juga orang Tibet yang disebut Tibet Selatan di Tiongkok, atau dikenal pula sebagai orang Arunachal di India. Di India terdapat kekuatan militer yang dibentuk oleh masyarakat Tibet, yang biasanya tampil dengan sosok pasukan patroli perbatasan, panji mereka selain menggunakan bendera India, ada pula bendera Tibet, dan dikabarkan jumlahnya mencapai 10.000 orang.

Sebelum 1972, di wilayah Tibet ada sebuah pasukan gerilya, yang disebut “Chushi Gangdruk”, berbasis di Nepal, dan terdiri dari orang-orang suku Kham, di baliknya didukung oleh CIA. Setelah Nixon menemui Mao Zedong di Beijing, kedua pihak mencapai kesepakatan secara diam-diam, pihak AS pun berhenti mendukung Chushi Gangdruk, dan PKT berhenti mendukung pasukan gerilya Maoist di Asia Tenggara. Sudah sejak lama Chushi Gangdruk tidak eksis sebagai organisasi militer, tapi di AS masih ada organisasi masyarakat yang menggunakan nama yang sama.

Jika RRT dan AS mengalami konfrontasi militer dalam skala penuh, pemberontak lokal seperti di Xinjiang dan Tibet dikhawatirkan akan segera muncul kembali. Dan pada saat itu, PKT akan menghadapi pilihan yang sangat sulit. Apakah akan mengirim pasukan membinasakan pemberontakan di wilayah yang jauh di pedalaman itu, atau membiarkan pasukan setempat menghadapinya? Para pemberontak lokal ini begitu mendapatkan bantuan teknologi tinggi, ditambah lagi adanya dukungan dari warga setempat, bagaimana pasukan RRT di daerah akan mampu menghadapinya. Jika mengharapkan pasukan besar dari pusat, maka pasti akan mengalami serangan udara, juga pasti akan mengalami perang menghadapi dua pasukan besar dari arah timur dan barat. Ini adalah suatu pemandangan yang dijabarkan dalam laporan tersebut di atas.

Kita kembali ke Legiun Pembebasan Rusia. Munculnya kekuatan militan semacam ini, sebenarnya adalah kekhawatiran terbesar PKT. Dan bagi Rusia, jika tidak ada Ukraina, maka orang-orang Rusia yang melarikan diri itu akan sangat sulit membangun suatu kekuatan militer.

Kondisi yang akan dihadapi PKT di masa mendatang sebenarnya sangat serupa, begitu perang skala penuh itu meletus, negara tetangga yang bermusuhan di sekitarnya akan berbaris, maka organisasi militer seperti Legiun Pembebasan Rusia bukan lagi didukung oleh negara-negara tersebut, melainkan akan didukung oleh AS. Pada saat itu, yang dihadapi oleh PKT sepertinya tak hanya sekedar masalah tiga front pertempuran atau empat front pertempuran saja.

Inilah masalah yang benar-benar dikhawatirkan oleh Beijing. (sud/whs)