Dapatkah India Menggantikan Tiongkok sebagai Kekuatan Manufaktur dan Ekonomi Global?

Venus Upadhayaya – The Epoch Times

Di tengah meningkatnya agresi partai komunis Tiongkok (PKT) yang mengancam tatanan global yang ada, India merupakan salah satu negara demokratis yang secara luas dilihat sebagai kekuatan baru dan penyeimbang terhadap Tiongkok. Perekonomian India yang tangguh telah menciptakan harapan, dengan perusahaan-perusahaan manufaktur yang mencari lokasi pabrik di luar Tiongkok, ada banyak desas-desus di media global tentang India yang akan menggantikan Tiongkok.

Para ahli telah mengatakan kepada The Epoch Times bahwa narasi India menggantikan Tiongkok terlalu dibesar-besarkan, dengan kenyataan yang lebih berbeda. India berada di lintasan pertumbuhannya yang unik – India harus mengidentifikasikan kekuatannya sendiri dan harus mengembangkan jalurnya sendiri menuju kemunculan global. Bagaimana India melakukan hal ini akan menyoroti kontribusinya terhadap perubahan tatanan dunia dan dengan demikian menandakan kepemimpinan globalnya.

“India menawarkan pilihan yang sangat mencolok dan berbeda dalam bidang ekonomi, keamanan, dan pemerintahan dari Tiongkok,”  kata Kaush Arha, peneliti senior di Krach Institute for Tech Diplomacy di Purdue dan peneliti senior di Atlantic Council, kepada The Epoch Times.

Perdana Menteri India Narendra Modi dijadwalkan akan mengunjungi Amerika Serikat pertengahan bulan ini dan berpidato di hadapan sidang gabungan Kongres. Arha mengatakan bahwa Modi dan menteri luar negerinya, Dr. S Jaishankar, dapat “secara kredibel” membuat argumen bahwa India tidak pernah lebih “relevan dan aktif” dibandingkan dalam sepuluh tahun terakhir.

“Hal ini harus tetap dipertahankan,” kata Arha, menambahkan bahwa perbedaan yang mencolok antara India dan Tiongkok terlihat jelas dalam pidato-pidato dari para pemimpin tertinggi mereka, Modi dan Xi Jinping.

“Pidato-pidato Xi penuh dengan dendam dan negatif serta kebencian. Pidato Modi bersifat optimis dan tidak mengoreksi kesalahan-kesalahan yang terjadi kemarin,” ujarnya.

Kebencian Tiongkok, yang dimaksud Arha adalah narasi Partai Komunis Tiongkok (PKT) yang berkuasa tentang “perjuangan nasional” untuk membalas “penghinaan” yang dihadapi oleh kekaisaran Tiongkok. Xi menggunakan istilah “perjuangan nasional” beberapa kali dalam pidatonya pada peringatan 100 tahun PKT pada 1 Juli 2021.

Mengacu pada periode setelah Perang Candu 1840, Xi mengatakan dalam pidatonya: “Negara mengalami penghinaan yang hebat, rakyat mengalami penderitaan yang luar biasa, dan peradaban Tiongkok terjerumus ke dalam kegelapan. Sejak saat itu, peremajaan nasional telah menjadi impian terbesar rakyat Tiongkok dan bangsa Tiongkok.”

India juga menghadapi dua abad penaklukan kolonial. Tetapi Arha mencatat bahwa India tidak berbicara kepada dunia seperti yang dilakukan oleh partai komunis Tiongkok. Ia mendefinisikan sikap India sebagai sikap yang ditandai dengan ketangguhan yang berbeda dengan kebencian Tiongkok.

Aparna Pande, seorang peneliti di Hudson Institute yang berbasis di Washington DC, mengatakan kepada The Epoch Times dalam sebuah pesan tertulis bahwa India sedang dirayu oleh hampir semua negara di dunia.

Pande berujar : “Tahun 2023 dipandang sebagai Tahun India. Apakah India akan menerjemahkannya menjadi pertumbuhan ekonomi masih harus dilihat.”

Arha mengatakan bahwa dunia melihat India dibandingkan dengan Tiongkok karena ketahanan India lebih menarik dibandingkan dengan kebencian Tiongkok. Penguncian COVID yang sewenang-wenang dari PKT yang mengirimkan gelombang kejut di seluruh rantai pasokan dan perdagangan global.

“India saat ini tidak memenuhi syarat sebagai pesaing ekonomi bagi Tiongkok dengan pijakan yang sama, melainkan sebagai ekonomi besar alternatif yang menarik dalam portofolio yang beragam. India bersaing dengan negara-negara sahabat lainnya untuk menarik bisnis menjauh dari Tiongkok – misalnya Vietnam.”

Pande percaya bahwa India dapat menggantikan Tiongkok. Namun untuk mewujudkan hal itu, banyak pekerjaan yang harus dilakukan.

“India tahu apa yang harus dilakukan, para ekonom dan pembuat kebijakan tahu apa yang harus dilakukan. Reformasi diperlukan dan tanpa reformasi, India tidak dapat tumbuh dengan cepat. India tidak dapat meniru negara lain – India harus menempuh jalannya sendiri,” katanya.

Keuntungan yang Ditawarkan oleh India

Para ahli telah mempertimbangkan apakah India secara ekonomi dapat menggantikan atau menyaingi Tiongkok. Sementara perdebatan tentang topik ini sebagian besar dipimpin oleh narasi geopolitik, media pemerintah Tiongkok juga ikut mengatakan bahwa India jauh tertinggal.

Para analis telah mengatakan kepada The Epoch Times bahwa setiap kali sebuah negara bangkit menjadi negara besar, negara tersebut melakukannya dengan kekuatan uniknya sendiri dibandingkan dengan konteks historis dan kontemporernya.

“India menyaingi Tiongkok secara ekonomi terlalu dibesar-besarkan. India pada saat ini tidak menyaingi Tiongkok tetapi menempatkan dirinya sebagai sebuah alternatif yang menarik. India memiliki saingan-saingan lain seperti Jepang, Korea Selatan, Vietnam, Australia (untuk mineral-mineral penting), dan Indonesia,” ujar Arha, dengan menambahkan bahwa India memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan Tiongkok dan para pesaingnya yang lain.

Salah satu keunggulannya, menurut dia, adalah faktor geopolitik yang mengiringi tren ekonomi.

“Pendorong pertumbuhan India adalah kekhawatiran para pelaku bisnis terkemuka bahwa mereka mungkin akan menderita akibat ketergantungan yang berlebihan pada Tiongkok.” Kekhawatiran tentang Tiongkok ini diperparah oleh faktor-faktor seperti transfer teknologi paksa dan penguncian sewenang-wenang di bawah rezim PKT.

Dunia telah berubah menjadi khawatir terhadap Tiongkok karena pendekatan terhadap ekonomi global yang ditunjukkan oleh PKT selama pandemi COVID, seraya menambahkan bahwa India di sisi lain memiliki ukuran dan beberapa keuntungan yang melekat ketika menawarkan platform manufaktur alternatif.

India memiliki “industri teknologi terkemuka yang didukung oleh tenaga kerja teknologi besar yang fasih berbahasa Inggris, “dan merupakan negara demokrasi yang didukung oleh populasi muda yang lebih selaras dan tidak sewenang-wenang.”

Pande menyoroti tantangan-tantangan yang dihadapi India dalam perjalanannya untuk menarik perusahaan-perusahaan manufaktur.

“Tenaga kerja India tidak memiliki keahlian atau pendidikan seperti tenaga kerja di Asia Tenggara, sehingga yang akan datang adalah tenaga kerja di sektor manufaktur kelas bawah, bukan kelas atas. Ponsel Apple dirakit, bukan dibuat. Dan, hanya 10 persen tenaga kerja India yang terlatih dibandingkan dengan 60 persen di sebagian besar negara.

Kedua, menurut Pande, ada kebutuhan akan lebih banyak wanita dalam angkatan kerja India.

“Indonesia merupakan salah satu negara dengan persentase perempuan terendah dalam angkatan kerja dan banyak perusahaan manufaktur global yang menginginkan pekerja perempuan. Mayoritas pekerja tekstil di manapun di dunia adalah wanita. Persentase wanita di India dalam angkatan kerja telah menurun dari 40 persen di tahun 1990-an menjadi sekitar 20 persen saat ini,” kata Pande.

Arha mengatakan bahwa saat ini, sistem pendidikan India “agak tidak terhubung” dengan industri yang sedang berkembang dan ada kebutuhan untuk menyesuaikan pendidikan, terutama pendidikan sekolah menengah dan kejuruan, sebagai pengumpan ke industri.

Masalah peningkatan keterampilan tenaga kerja India yang besar akan melibatkan daerah pedesaannya, meskipun urbanisasi meningkat, terus menjadi rumah bagi mayoritas orang India. Hal ini berarti bahwa kebangkitan ekonomi India akan terus mendorong urbanisasi dari demografi pedesaan terbesar di dunia.

Menurut Arha, hal ini akan membutuhkan pendekatan inklusif terhadap pembangunan infrastruktur India, yang berarti, bersama dengan infrastruktur fisiknya yang sangat diperlukan, India juga membutuhkan pembangunan infrastruktur sosial dan digitalnya.

Pande mengatakan bahwa India membutuhkan reformasi ekonomi mikro “generasi kedua” yang akan meningkatkan efisiensi dan daya saing dari institusi-institusi dan infrastruktur yang ada di India.

“Semua ini berarti bahwa India perlu mengimplementasikan reformasi untuk memudahkan perusahaan-perusahaan domestik dan asing untuk beroperasi dan berinvestasi dan menghasilkan uang.”

Tanpa hal ini, India tidak dapat tumbuh seperti yang dibayangkannya untuk berkembang.

Kekuatan Super Global Digital

Arha percaya bahwa kemunculan ekonomi India akan didorong oleh digitalisasi ekonomi yang cepat dan terintegrasi ke dalam ekonomi digital global yang tidak dikurung oleh IT di balik tembok api seperti yang dilakukan oleh PKT.

“India dapat menjadi kekuatan regional dan global dalam hal data. Ekonomi akan berpusat pada data. AI (kecerdasan buatan) akan menjadi lebih transformatif daripada jaringan 5G.” Di sini dicatat peluang bagi India untuk menjadi pusat Indo-Pasifik untuk aliran data terpercaya.

Ia mengatakan bahwa ini akan menjadi contoh dari India yang bermain dengan kekuatannya sendiri dan sebuah kesempatan untuk memainkan peran yang sangat penting dalam memimpin negara-negara berkembang.

“Revolusi komputasi berbasis data: itulah keunggulan India dibandingkan Tiongkok dan bahkan seluruh dunia. Belajar dari pengalaman Ukraina, warga negara yang diberdayakan secara digital dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap pertahanan dan keamanan nasional.”

Komputasi edge merupakan teknologi mutakhir yang memanfaatkan data dan analitik di edge jaringan, menurut Sahar Tahvili, seorang peneliti AI yang memiliki gelar doktor di bidang rekayasa perangkat lunak dan penulis buku “Artificial Intelligence Methods of Optimization of the Software Testing Process.”

“Alih-alih mengirim data ke infrastruktur cloud terpusat untuk diproses, komputasi edge memungkinkan data diproses dan dianalisis lebih dekat ke tempat data tersebut dihasilkan atau dikonsumsi. Pendekatan ini memiliki potensi yang sangat besar untuk merevolusi pengetahuan dengan memungkinkan pemrosesan volume data yang lebih besar secara efisien.” Ia seraya menambahkan bahwa edge computing dapat mendorong perubahan transformatif di berbagai sektor ekonomi.

Dengan memanfaatkan kekuatan edge computing, organisasi dapat mengalami peningkatan efisiensi, kelincahan, dan daya saing karena teknologi ini dapat memberdayakan bisnis untuk mengekstrak wawasan berharga dari data secara real time, yang mengarah pada pengambilan keputusan yang lebih terinformasi dan kemampuan untuk beradaptasi dengan cepat terhadap keadaan yang berubah-ubah, menurut Tahvili.

“Seiring dengan perkembangan edge computing, dampaknya akan terasa di berbagai industri seperti manufaktur, transportasi, perawatan kesehatan, dan kota pintar,” ujarnya. “Kemungkinannya sangat luas, mulai dari pemantauan dan analisis kinerja mesin secara real-time hingga memungkinkan kendaraan otonom dan menggerakkan infrastruktur cerdas.”

Teknologi ini berpotensi mengubah berbagai sektor ekonomi, merevolusi pengetahuan dan mendorong berbagai inovasi yang berdampak besar dan menjadikan India sebagai pusat data dan analisis data, tambah Tahvili.