Kekuasaan Putin Tergerus oleh Pemberontakan, Analisis : Semua Orang di Sekitar Xi Jinping Mirip Prigozhin

NTD

Pemberontakan yang diluncurkan oleh Yevgeny Prigozhin, orang kepercayaan Putin dan pemimpin Wagner Group berakhir secara dramatis dalam sehari, tetapi dengan cepat menarik perhatian dunia luar dan menghubungkannya dengan otoritas Beijing. Yaita Akio, seorang media senior mengatakan bahwa semua orang yang berada di sekitar Xi Jinping tampak seperti Prigozhin.

Pada 24 Juni, Wagner Goup melancarkan pemberontakan militer, dan pasukannya sudah bergerak maju sampai hanya berjarak sejauh 200 kilometer dari Ibu kota Moskow. Di bawah mediasi Presiden Belarusia Aleksandr Lukashenko, pemberontakan berakhir dalam 24 jam. Namun dampak dari insiden tersebut tidak bisa diremehkan.

Pada 25 Juni, orang media senior etnis Jepang bernama Yaita Akio memposting tulisannya di Facebook yang menyebutkan bahwa pemberontakan Wagner hanya berlangsung 24 jam dan berakhir dengan tergesa-gesa. Pasukan Wagner batal terus melaju ke Moskow. Pemimpinnya Prigozhin pergi ke Belarusia, dan pemerintah Putin juga menyatakan bahwa dirinya tidak akan menuntut pertanggungjawaban pidana atas pembelotan tersebut. Tampaknya kedua belah pihak telah membuat kompromi tertentu.

Yaita Akio menyebutkan bahwa alasan kudeta Wagner kali ini mengalami antiklimaks lebih dikarenakan baik Prigozhin maupun Putin sama-sama tidak memiliki garis bawah. Prigozhin takut setelah 25.000 orang pasukan yang dipimpinnya bergegas ke Moskow setelah menempuh jarak ribuan mil, lalu menemui perlawanan keras dari tentara regular Rusia dan gagal menerobos kota dalam waktu singkat, mungkin akan menghadapi masalah perbekalan dan moral pasukan yang menurun. Bagaimanapun, pasukan Wagner yang terdiri dari para narapidana tidak memiliki rasa kesetiaan dan misi yang kuat, begitu pasukannya berhasil dilumpuhkan, ia sendiri pun harus menghadapi konsekuensi yang tidak ringan.

“Apa yang ditakuti Putin adalah bahwa pemberontak Wagner akan merembet ke masyarakat dalam negeri akibat Perang Rusia – Ukraina telah berlangsung selama lebih dari setahun, selain menyebabkan masalah ekonomi yang serius, juga jika begitu ketidakpuasan publik pecah, dan semakin banyak orang akan bergabung dalam barisan pemberontak, mungkin situasinya akan sulit dikendalikan. Oleh karena itu, kedua belah pihak sama-sama takut mempertaruhkan keberanian, sehingga muncullah kompromi yang disebutkan di atas.”

Pemberontakan Prigozhin menarik perhatian internasional. Pada 24 Juni, otoritas Partai Komunis Tiongkok (PKT) tetap membisu. Sampai 25 Juni malam Kementerian Luar Negeri Tiongkok baru mengeluarkan pernyataan yang isinya adalah itu (insiden) merupakan urusan dalam negeri Rusia, dan Tiongkok mendukung segala upaya Rusia dalam menjaga stabilitas nasional.

Sejak pecahnya Perang Rusia – Ukraina, PKT selalu mengklaim tetap bersikap netral, tetapi negara-negara Barat mengkritik Beijing karena selain menolak mengutuk Moskow, malahan membangun kemitraan strategis yang erat dengan Rusia.

Insiden pemberontakan Prigozhin kali ini seharusnya juga membuat Zhongnanhai sangat gugup.

Yaita Akio percaya bahwa kudeta pasukan Wagner ini telah memberikan pukulan besar bagi rezim Putin. Perang Rusia – Ukraina mungkin masih akan berlanjut untuk beberapa waktu lagi, tetapi Putin benar-benar kehilangan modal untuk membalikkan situasi. Bagi dunia, ini adalah hal yang hal baik. Tetapi bagi Xi Jinping, berarti biaya untuk menyerang Taiwan telah meningkat. Di masa depan, ketika dia melihat-lihat daftar jenderal Tentara Pembebasan Rakyat (PLA), dia mungkin terkejut menemukan bahwa semua jenderal-jenderal itu terlihat seperti Prigozhin.

Artikel komentator politik Wang Youqun yang dimuat “Epoch Times” pada 26 Juni menyebutkan, bahwa “perubahan dramatis” yang terjadi pada pemberontakan itu, dalam arti tertentu, adalah pelajaran paling berharga dari Tuhan untuk Xi Jinping yang hendak melancarkan “Penyatuan Taiwan dengan kekerasan.”

Penulis percaya bahwa dalam beberapa tahun terakhir, beberapa kekuatan ekstremis dalam PKT telah mendorong Xi Jinping untuk mengambil risiko “menyatukan Taiwan dengan paksa” untuk membangun apa yang mereka sebut sebagai “pencapaian yang bersejarah”. Namun Tuhan yang baik demi mencegah Xi Jinping melakukan kesalahan besar di Selat Taiwan, membiarkan Xi menyaksikan sendiri akibat dari Presiden Rusia Vladimir Putin menginvasi Ukraina dan jatuh ke dalam krisis terbesar dalam 24 tahun kekuasaannya. Drama sejarah ini juga telah memberi Xi Jinping pelajaran yang paling nyata, meskipun entah Xi Jinping dapat atau tidak mengambil hikmahnya. (sin)