Investasi Tiongkok Gusur Kampung Adat di Pulau Rempang-Galang, Batam, Kepri

Oleh: Fadjar Pratikto, wartawan The Epoch Times Indonesia

Pemerintah Indonesia tetap bersikeras untuk merelokasi warga Pulang Rempang dan Galang yang menjadi korban pengembangan Rempang Eco City untuk pembangunan pabrik kaca terbesar kedua di dunia yang merupakan investasi dari Tiongkok. Tim terpadu yang terdiri dari TNI, Polisi, Badan Pengelolaan Batam dan Satpol PP akan memastikan pengosongan kawasan Pulau Rempang, Kepulauan Riau sebelum 28 September 2023. Karena tanggal 28 September ini Pulau Rempang sudah harus clean and clear untuk diserahkan kepada pengembang PT Makmur Elok Graha yang bermitra dengan Xinyi International Investment dari Tiongkok. Selain pengosongan, pengukuran dan pematokan juga akan terus dilakukan di lokasi tersebut.

Penolakan dari sejumlah kalangan atas relokasi pulau Rempang dan Galang tak dihiraukan. Sebelumnya Lembaga Adat Melayu (LAM) Kepri telah mengecam sikap represif aparat keamanan terhadap warga Pulau Rempang dan Galang yang menolak relokasi  pada 7 dan 8 September 2023 lalu. Lembaga Adat Melayu Provinsi Kepri mengeluarkan maklumat  yang dibacakan langsung oleh ketuanya: Abdul Razak di Tanjungpinang pada 9 September 2023. Mereka mengutuk keras tindakan intimidasi dan kekerasan yang dilakukan oleh tim gabungan terhadap masyarakat yang menolak relokasi, yang membuat warga banyak yang mengalami cedera, trauma hingga kerugian materil.  Kecaman serupa disampaikan oleh Aliansi Mahasiswa Kota Batam.

Seperti diberitakan, setidaknya enam warga ditangkap, dan sejumlah warga termasuk perempuan dan anak-anak menjadi korban tembakan gas air mata yang dilancarkan aparat gabungan TNI dan Polri saat menghadapi penolakan warga Rempang Galang pada 7 September 2023. Tindakan itu dilakukan saat aparat memaksa masuk ke Pulau Rempang untuk memasang patok batas. Saat aparat mulai masuk terjadi lemparan batu dari arah warga yang kemudian disambut oleh gas air mata yang ditembakkan oleh aparat.

Aparat gabungan terus merengsek masuk dan menangkap beberapa warga. Mereka juga masuk ke kawasan sekolah di SMP 33 Galang dan SD 24 Galang. Gas air mata pun ditembakan ke arah sekolah-sekolah tersebut. Akibatnya guru dan siswa sekolah tersebut larut terbirit-birit  keluar dari sekolah. Beberapa dari mereka lari ke atas bukit-bukit yang ada di Rempang. Ada 11 orang murid yang dilarikan ke rumah sakit, dan langsung mendapat  perawatan.

*Proyek Strategis Nasional*

Awalnya para warga yang tinggal di 16 kampung adat di Rempang Galang, Kota Batam, Kepulauan Riau (Kepri) hendak direlokasi dalam pembangunan proyek strategis nasional bernama Rempang Eco City. Proyek ini disiapkan pemerintah pusat melalui kerja sama antara Badan Pengelolaan (BP) Batam dan PT Makmur Elok Graha (MEG) milik Tommy Winata pada 2004. Selama ini Tommy Winata dikenal sebagai pemilik dari kawasan perkantoran SCBD (Sudirman Central Business District) Jakarta, sekaligus bos Artha Graha Grup. Ia merupakan seorang pengusaha yang terkenal memiliki gurita bisnis di berbagai sektor mulai dari bisnis properti, perbankan, perkebunan, hingga infrastruktur, selain itu Tomy juga sering di indentik dengan kelompok 9 Naga. Kekayaan Tommy ditaksir sekitar USD900 juta atau setara Rp12 triliun. Dalam pengelolaan Rempang Eco City, PT MEG mendapatkan konsesi selama 80 tahun.

Pulau Rempang diproyeksikan akan dijadikan sebagai Mesin Ekonomi Baru Indonesia. Mengutip situs BP Batam, kawasan ekonomi ini rencananya dikembangkan di lahan seluas 7.572 hektare atau sekitar 45,89 persen dari total luas Pulau Rempang 16.500 hektare.

Kawasan ekonomi ini diestimasikan akan memperoleh investasi sebesar Rp381 triliun hingga tahun 2080, dan akan menyerap tenaga kerja lebih dari 300 ribu orang. Dalam rencana pembangunannya, Pulau Rempang  akan dijadikan sebagai kawasan industri, perdagangan dan wisata. Tujuannya mendongkrak pertumbuhan perekonomian dan peningkatan daya saing Indonesia dengan Malaysia dan Singapura. Tujuh zona yang nanti akan dikembangkan antara lain zona industri, zona agro-wisata, zona pemukiman dan komersial, zona pariwisata, zona hutan dan pembangkit listrik tenaga surya, zona margasatwa dan alam serta zona cagar budaya.

Pengembangan Pulau Rempang diawali dengan investasi produsen kaca terkemuka dari Tiongkok pada  akhir Juli 2023 bersamaan dengan kunjungan Presiden Joko Widodo ke Tiongkok. Saat itu Xinyi International  Investment Limited dan PT Makmur Elok Graha telah menandatangani nota kesepakatan terkait rencana investasi itu di Chengdu, Tiongkok. Perusahaan  ini akan membangun fasilitas hilirisasi pasir kuarsa dan pasir silika serta ekosistem rantai pasok industri kaca dan kaca panel surya. Xinyi Group merupakan perusahaan asal Tiongkok yang bergerak di bidang pembuatan kaca dan panel surya. Sebelumnya perusahaan ini telah memiliki pabrik kaca terintegrasi terbesar di dunia yang ada di Tiongkok. Indonesia akan menjadi titik lokasi pabrik Xinyi Group terbesar kedua. Total investasi yang akan digelondorkan dari proyek di Kawasan Rempang ini sekitar USD11,5 Miliar atau sekitar Rp175 triliun dengan total penyerapan tenaga kerja sebanyak 35 ribu orang.

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia sudah mengunjungi secara langsung kawasan yang akan menjadi lokasi pembangunan pabrik kaca terintegrasi itu pada 13 Agustus 2023 lalu. Kunjungan ini merupakan tindak lanjut arahan Presiden Jokowi untuk segera melaksanakan pengembangan Kawasan Rempang sepulang dari kunjungan ke Tiongkok akhir Jali lalu. Pihaknya mengaku hanya diberikan waktu dua bulan untuk segera melakukan implementasi investasinya. 

Untuk itu, warga yang tinggal di Rempang perlu direlokasi. Namun sebagian besar masyarakat adat menolak tinggalkan kampung halamannya. Selain itu, imbas dari proyek ini dikhawatirkan mereka akan kehilangan ruang hidupnya. Bagi warga yang menolak relokasi, Rempang dan sekitarnya adalah pulau bersejarah bagi nenek moyangnya, dan keturunannya kelak.  Warga Rempang dan Galang sendiri terdiri dari Suku Melayu, Suku Orang Laut dan Suku Orang Darat, yang telah bermukim di pulau itu sejak 1834, atau setidaknya sudah lebih dari satu abad lalu. Jumlah masyarakat adat yang terdampak proyek ini diperkirakan antara 7.000 – 10.000 jiwa.

Ketua Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Rempang dan Galang, Gerisman Ahmad dalam beberapa kesempatan menegaskan bahwa warga kampung tidak menolak pembangunan Rempang Eco City, tetapi menolak direlokasi. Warga mempersilahkan pemerintah melakukan pembangunan di luar kampung mereka. Sejak 1834, kata Gerisman, negara tidak pernah hadir untuk masyarakat adat Tempatan di Rempang. Mereka tidak kunjung mendapatkan legalitas tanah meskipun sudah diajukan. Tiba-tiba sekarang kampung mereka mau digusur untuk investasi asing dari Tiongkok. Tentu saja mereka menolak relokasi, pada 23 Agustus lalu, ribuan warga dari pulau Rempang dan Galang berunjuk rasa di depan Kantor BP Batam.

*Sikap Pemerintah*

Atas insiden kekerasan yang terjadi dalam proses relokasi warga Rempang dan Galang pada 7-8 September lalu, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menjelaskan bahwa BP Batam selaku pengelola kawasan telah melakukan sosialisasi, mulai dari musyawarah, mempersiapkan relokasi, termasuk ganti rugi terhadap masyarakat yang telah menggunakan lahan. Namun demikian, karena ada aksi, maka dilakukan upaya penertiban. Menurutnya, Polri tetap akan berupaya melakukan penyelesaian melalui musyawarah mufakat menjadi prioritas sehingga masalah itu bisa betul-betul bisa diselesaikan.

Pada hari yang sama, BP Batam mengimbau agar masyarakat tidak terprovokasi dengan isu terkait aksi represif yang dilakukan aparat gabungan. Menurut Kepala Biro Humas Promosi dan Protokol BP Batam, Ariastuty Sirait, masyarakat yang mengatasnamakan warga Rempang terlebih dulu melempar batu dan botol kaca ke arah personal keamanan yang akan memasuki kawasan kampung adat.

BACA JUGA : Amnesty Internasional Indonesia Kecam Kekerasan Hingga Penangkapan oleh Aparat kepada Masyarakat di Pulau Rempang-Galang

Di sisi lain, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Riau, Boy Jerry Even Sembiring yang ikut mengadvokasi warga Rempang-Galang menyayangkan terjadinya peristiwa itu. Aktivis ini mengatakan kepolisian telah “menakut-nakuti” sebagian masyarakat yang “vokal” menolak relokasi. Ia menilai semestinya proyek investasi tidak mesti mengorbankan masyarakat adat. Persoalan ini, kata dia, selalu berulang dalam kasus konflik agraria karena ketiadaan persetujuan dari masyarakat adat.

Namun pemerintah punya alasan lain. Menurut Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam)  Muhammad Rudi “tidak memungkinkan” kawasan industri dibangun berdampingan dengan permukiman warga.

Karena di lokasi tersebut sesuai peruntukkan akan dibangun industri pabrik kaca dan solar panel semata terbesar kedua di dunia. Pemerintah juga sudah mempersiapkan hak hunian buat warga di Kampung Nelayan Modern seluas 471 hektar. Lokasinya tidak jauh dari kampung sebelumnya dan masih berada di satu bibir Pantai. Total ada 3.000 kavling yang akan dibangun.

Masyarakat yang akan memperoleh hak hunian dibagi menjadi beberapa kategori. Pertama, mereka yang dikategorikan warga kampung lama di luar kawasan hutan negara (APL). Kedua, warga kampung lama di kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK), dan ketiga warga di luar kampung lama di APL. Mereka akan memperoleh hunian tipe 45 dengan nilai Rp120 juta, dan maksimum 500 meter persegi, biaya sewa rumah selama masa pembangunan hunian, dan biaya hidup ditanggung sesuai ketentuan. Satu rumah terdampak akan diganti dengan satu hunian baru.

Warga yang terdampak juga akan menerima fasilitas hunian sementara dari BP Batam, termasuk biaya hidup selama relokasi sementara Rp1.034.636/orang dalam satu KK (maksimal tiga orang dalam satu KK). Biaya ini termasuk biaya air, listrik dan kebutuhan lainnya. Fasilitas mobilisasi pemindahan dari hunian ke hunian relokasi sementara akan difasilitasi oleh BP Batam. Tersedia layanan kesehatan dan pelayanan keamanan. Di kawasan hunian relokasi nantinya juga akan dilengkapi fasilitas pendidikan, layanan kesehatan, olahraga, ibadah, sosial, dan dermaga.

Kawasan hunian juga akan dielevasi menjadi Kampung Wisata Unggulan yang mewakili budaya melayu, berdaya saing secara ekonomi dan berkesinambungan bagi masa depan generasi.

Terkait dengan sosialisasinya, Kepala BP Batam, Muhammad Rudi juga mengklaim sudah dimulai sejak April 2023, melalui media massa, media sosial, siaran pers resmi, hingga dibentuk tim yang langsung datang untuk melakukan sosialiasi ke masyarakat sampai saat ini. Ia juga mengatakan proyek ini ditindaklanjuti “secara serius, hati-hati dan selalu membuka ruang bagi masyarakat Rempang untuk berdialog dan berdiskusi. Hal ini sekaligus menjadi bantahannya atas tudingan kelompok masyarakat sipil bahwa sosialisasi dilakukan secara tidak transparan.

BACA JUGA : 16 Kampung Melayu Tua di Rempang Terancam Digusur, Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Kekerasan dan Pembangunan Kawasan Rempang Eco-City

Belakangan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD meminta Polri berhati-hati dalam menangani persoalan relokasi di Pulau Rempang. Ia meminta  persoalan itu ditangani dengan pendekatan yang humanis, bukan dengan kekerasan. Mahfud menyadari persoalan relokasi itu sangat rumit.

Masalah relokasi tersebut juga mendapat perhatian Edi Kurniawan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).  Menurutnya dari awal penetapan proyek ini tidak melalui konsultasi atau tidak melibatkan partisipasi masyarakat yang terdampak langsung dari proyek ini. Masyarakat juga kaget, tiba-tiba ada proyek besar investasi dari Tiongkok. Cara seperti itu lanjutnya yang biasa digunakan dalam mempersiapkan proyek strategis nasional. Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada 2022 terdapat 32 letusan konflik agraria, 11 di antaranya terkait dengan PSN. Luasan konflik mencapai 102 ribu hektar dan berdampak pada 28 ribu keluarga.*****