Asal Usul Rambut Ginger Ditemukan pada Hewan Berusia 10 Juta Tahun yang Mengejutkan

Etindonesia. Para ilmuwan telah membuat lompatan besar dalam menemukan asal usul rambut ginger – pada katak berumur 10 juta tahun.

Ahli paleontologi di University College Cork menemukan bukti paling awal adanya pheomelanin, pigmen yang menghasilkan warna ginger – merah, pada spesimen kuno.

Studi ini menandai terobosan dalam analisis molekuler fosil, yang akan membantu merekonstruksi warna asli spesies yang punah.

“Temuan ini sangat menarik karena menempatkan ahli paleontologi pada posisi yang lebih baik dalam mendeteksi pigmen melanin yang berbeda pada lebih banyak fosil,” kata Dr. Tiffany Slater, yang memimpin penelitian bersama Profesor Maria McNamara.

“Ini akan memberikan gambaran yang lebih akurat tentang warna hewan purba dan akan menjawab pertanyaan penting tentang evolusi warna pada hewan. Para ilmuwan masih belum mengetahui bagaimana – atau mengapa – phaeomelanin berevolusi karena beracun bagi hewan, namun catatan fosil mungkin bisa mengungkap misteri tersebut.”

Pheomelanin adalah salah satu dari dua bentuk melanin yang ditemukan pada vertebrata seperti mamalia, burung, dan reptil. Bentuk yang lebih umum, eumelanin, memiliki berbagai fungsi positif, termasuk melindungi sel saat terkena sinar UV.

Namun, pheomelanin bersifat fototoksik, dan bila terkena cahaya dapat memperkuat proses yang terlibat dalam kerusakan DNA akibat sinar Matahari. Ini juga menggunakan antioksidan utama.

Selain terlibat dalam pola warna yang dapat membantu kamuflase, alasan di balik evolusi pheomelanin masih menjadi misteri.

Pada manusia penyakit ini masih sangat jarang – kurang dari 2% populasi dunia mempunyai rambut merah.

Namun sekarang, setelah menemukan jejak-jejak pigmen jauh lebih awal dalam catatan fosil, asal-usulnya mungkin bisa lebih dipahami.

“Fosil selalu berubah akibat kerusakan akibat panas dan tekanan selama penguburan, tapi itu tidak berarti kita kehilangan semua informasi biomolekuler asli,” kata Profesor McNamara.

“Eksperimen fosilisasi kami adalah kunci untuk memahami sifat kimia dari fosil, dan membuktikan bahwa jejak biomolekul dapat bertahan jika dimasak selama proses fosilisasi.”

Tim tersebut melakukan eksperimen laboratorium pada bulu hitam, merah, dan putih untuk melacak bagaimana pigmen phaeomelanin terdegradasi selama proses fosilisasi, sehingga mendukung interpretasi mereka terhadap kimia fosil.

“Ada potensi besar untuk mengeksplorasi evolusi biokimia hewan dengan menggunakan catatan fosil, ketika kita memperhitungkan perubahan kimia selama proses fosilisasi.”

Studi ini dipublikasikan di jurnal Nature Communications. (yn)

Sumber: metro