Kuliner Tiongkok: Suatu Sejarah Lain (2)

Guang Yu

Baru pada 1980-an dan 1990-an setelah reformasi keterbukaan, kekurangan pangan mulai berkurang secara bertahap, khususnya daging tidak lagi langka, masyarakat mulai mengalami kemajuan dari yang tadinya hanya makan daging pada tahun baru saja, menjadi makan daging setiap bulan, setiap minggu atau bahkan setiap hari, pada saat itu setiap orang juga secara bertahap mulai mengejar selera. Keluarga yang menyukai makanan mulai belajar cara membuat masakan baru di dapur mereka sendiri, dan para tetangga senang berinteraksi mengenai kuliner satu sama lain. 

Restoran dengan berbagai kelas telah bermunculan di pasar, namun makan di luar masih menjadi sebuah kemewahan bagi keluarga kelas pekerja biasa. Bagaimana restoran besar bisa bertahan? 

Dana publik untuk makan dan minum menjadi andalan mutlak. Mereka yang bisa menikmati santapan kelas atas umumnya adalah pemegang kekuasaan atau bos dan pengusaha yang telah menghasilkan banyak uang hasil berkolusi dengan penguasa yang mereka andalkan.

Keluarga biasa mulai memiliki sisa uang di kantong mereka, mulut anak-anak juga menjadi rakus, makanan ringan mulai menjamur. Itu adalah era dimana komoditas semakin melimpah dan era produk palsu dan murahan yang tersebar luas, keamanan pangan bagaikan awan gelap yang menyelimuti seluruh industri pangan.  

Penulis masih ingat masa masa di sekolah dasar, toko kecil di depan pintu masuk sekolah sangat makmur, teman-teman sekolah saling berebut menggunakan uang jajannya untuk membeli makanan ringan tanpa kemasan atau dalam kemasan kecil tanpa label yang jelas. Pihak sekolah pernah memperingatkan siswanya untuk tidak sembarangan membeli produk Sanwu (= Tiga Tanpa yaitu: Produk tanpa tanggal produksi, produsen, atau alamat produksi) di toko yang tidak memiliki izin dari dinas kesehatan, namun keesokan harinya toko-toko itu memajang izin usaha dan izin kesehatan, meskipun mereka masih menjual produk-produk yang sama. 

Seiring dengan semakin banyaknya kekacauan keamanan pangan yang terungkap: Daging gelonggong (yang disuntik air), clenbuterol (atau “leptin” = nama umum untuk beberapa jenis obat hewan ‘Beta-adrenergic agonist’  yang terutama digunakan untuk mendorong pertumbuhan daging tanpa lemak pada ternak. Klor yang paling umum adalah ractopamine. Red.), hormon, penghilang bulu daging hewan menggunakan bahan aspal, limbah ikan dan udang, telur bebek merah Sudan, jamur putih yang diputihkan dengan belerang, limbah minyak, daging sapi dan kambing palsu, dan lain lain. Dalam lingkungan seperti itu, banyak orang merasa tidak aman dengan bahan-bahan yang tidak dipilih dan disiapkan sendiri, serta mempertahankan sikap menolak terhadap restoran kelas bawah dan warung pinggir jalan. Bukannya tidak mampu membelinya, melainkan tidak berani memakannya.

Untuk membeli bahan pangan yang aman, masyarakat terpaksa harus mengikuti beberapa pengalaman: Diupayakan tidak membeli makanan olahan; sedapat mungkin untuk tidak makan dan minum di warung pinggir jalan dan toko-toko kecil; diusahakan membeli produk dari merek ternama. Tetapi yang namanya merek beken sering kali hanya produk yang banyak diiklankan, apakah kualitas produknya pasti bagus? 

Hal terakhir yang menghancurkan kepercayaan publik adalah susu formula bayi. Susu bubuk bayi seharusnya menjadi produk yang paling bernilai dan paling kecil kemungkinannya untuk timbulnya masalah, namun ternyata justru ada masalah, bukan hanya sekali tapi dua kali (kasus hydrocephalus / bayi berkepala besar dan bayi penderita kencing batu), yang terlibat bukan hanya merek kecil, tetapi juga ada industri susu terkemuka di RRT seperti Sanlu. 

Insiden susu bubuk bayi telah benar-benar menempatkan industri makanan Tiongkok pada pilar rasa malu dan masyarakat tidak lagi memiliki ilusi tentang keamanan pangan di Tiongkok. 

Untuk para pejabat disediakan makanan produk khusus, orang kaya bisa dengan mudah memilih produk impor, lalu bagaimana dengan rakyat kecil? Mereka tak berdaya, makan dan minum seadanya, dianggap bersih jika tidak kelihatan dengan mata kepala sendiri, sekalian mengolok diri sendiri bahwa sudah ditempa dan anti segala jenis racun dari daratan Tiongkok.

Meskipun budaya kuliner Tiongkok sangat luas dan mendalam, delapan jenis kuliner utamanya terkenal di dunia (benarkah?), tetapi merek ma-min yang terkenal tidak banyak. Terutama pada abad yang lalu, ketika berbicara tentang merek ma-min apakah yang terkenal di Tiongkok, mereka tidak lain adalah McDonald’s dan KFC. Merek makanan cepat saji yang diimpor dari Barat ini pada awalnya dianggap sebagai merek mewah kelas atas, dan kini telah menjadi makanan yang populer dan terjangkau, meskipun posisi mereka di benak masyarakat telah berubah, tetapi mereka tetap mempertahankan kesuksesan komersial selama beberapa dekade ini, hal ini sangat jarang terjadi bagi industri makanan dari dalam negeri. Pendapat penulis bahwa ada beberapa alasan mengapa mereka begitu sukses: Kualitas yang stabil (rasa dan mutu), harga yang stabil (penurunan dari barang mewah ke makanan publik mencerminkan stabilitas harga) dan jaminan kebersihan yang unggul. Saat ini, burger dan ayam goreng tersebut tidak lagi menjadi makanan lezat bagi masyarakat RRT, namun jujukan pertama banyak orang ketika berdinas luar atau saat bepergian masih tetap makanan cepat saji luar negeri tersebut, hal ini demi terjaminnya keamanan dan kebersihan.

Memasuki abad ke-21, memang jumlah keluarga kelas menengah di Tiongkok mengalami peningkatan yang cukup signifikan, banyak orang yang telah melewati tahap kenyang dan mulai mengejar makanan lezat, berbagai jenis restoran jajanan di jalanan dan gang perkotaan pun menjadi lebih melimpah. Faktanya, kepercayaan banyak orang Tiongkok terhadap kuliner Tiongkok juga terbentuk selama periode ini. Namun bagi rakyat biasa, apakah kualitas makanan di meja mereka telah berubah? 

Makanan siswa adalah yang paling representatif. Berdasarkan pengalaman pribadi penulis, dari akhir abad lalu hingga awal abad ini, makanan biasa di kantin sekolah menengah dan universitas berharga antara 2 yuan hingga 5 yuan. Sekarang hampir dua puluh tahun telah berlalu, ragam hidangan di kantin-kantin ini tidak banyak meningkat, malahan harganya yang melonjak, makanan biasa saja bisa berlabel antara 7 yuan hingga 20 yuan. Kenaikan harganya sangat mengejutkan, tekanan finansial yang ditimbulkannya terhadap keluarga pelajar juga sangat besar. Banyak mahasiswa mengeluh secara online bahwa keluarga mereka hanya menyediakan biaya hidup sebesar 1.000 yuan sebulan, teman-teman sekelas mereka menyatakan simpati. Namun perlu Anda ketahui bahwa masih ada 600 juta orang di Tiongkok yang pendapatan bulanannya kurang dari 1.000 yuan! Tapi meski makanannya mahal, kualitasnya masih belum terjamin, bukankah kasus kepala tikus dari kantin x dinyatakan sebagai leher bebek dan masakan siap saji dengan umur simpan satu tahun masih merupakan makanan umum di kampus-kampus di Tiongkok?

Sepanjang sejarah makanan Tiongkok modern, kelaparan adalah kenangan yang tak terhapuskan dari generasi tua, dan generasi paruh baya juga sangat terpengaruh oleh kelangkaan materi di masa lalu. Kelaparan yang menimpa sebagian besar orang dan berlangsung paling lama dalam sejarah ini bukan disebabkan oleh perang, bencana alam atau eksploitasi oleh tuan tanah. 

Akar penyebab bencana yang terjadi di masa damai ini berasal dari sistem dan nilai-nilai yang menyimpang. Di masa lalu, PKT suka mengadakan kegiatan untuk menunjukkan keunggulan kepemimpinannya. Seorang petani tua pernah mengenang kehidupannya saat bekerja di rumah tuan tanah tempo dulu, terutama ketika sang tuan tanah membagikan arak, daging dan bacon (daging babi asap) kepada mereka saat Hari Sibuk Tani dan Tahun Baru, sampai sekarang pun setiap kali teringat hal itu ia masih sangat mendambakan hari-hari tersebut hingga tak terasa air liurnya meleleh keluar, entah sudah berapa lama tidak dapat menikmati lagi makanan itu……… 

Dampak kelaparan dan kekurangan pangan juga sangat memengaruhi perilaku dan kebiasaan beberapa generasi rakyat. Beberapa manula juga suka menyimpan makanan, dan enggan membuangnya meskipun sudah kedaluwarsa dan rusak; banyak orang di daratan Tiongkok yang memiliki mentalitas yang sangat menyimpang ketika makan di resto cepat saji, bukan karena berniat mencicipi kuliner, tetapi hanya karena ingin makan makanan yang mahal, dan berusaha makan sebanyak mungkin agar kembali modal, meskipun hal itu bisa menyebabkan kerusakan saluran pencernaan juga tidak mau rugi; penilaian terhadap makanan seringkali didasarkan pada kecukupan porsi dan jumlah daging, bukan pada keseimbangan dan campuran nutrisi yang sehat.

Berbicara soal rasa makanan, sebenarnya kuliner Tiongkok juga tidak perlu dipuji terlalu tinggi. Memang benar bahwa Tiongkok memiliki wilayah yang luas dan pola makannya sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat lain, sehingga menghasilkan variasi makanan Tiongkok yang beragam. 

Namun, tanah dan air menghidupi masyarakat ditempat itu, kebiasaan makan setiap orang sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempat mereka dibesarkan, banyak orang yang tidak terbiasa dengan rasanya setelah lama meninggalkan kampung halaman. Boleh dikatakan bahwa berbagai daerah di Tiongkok mempunyai makanan lezatnya masing-masing, seperti halnya berbagai daerah di dunia juga mempunyai makanan khasnya masing-masing. Banyak orang Tionghoa yang tidak bisa mentolerir makan makanan Barat dalam jangka waktu panjang, sebenarnya banyak orang Barat yang juga tidak tahan makan makanan oriental terus-menerus. Hal ini tidak ada perbedaan antara superior dan inferior, merupakan sikap yang wajar untuk mencicipi dan mengapresiasi makanan dari tempat lain dan luar negeri.

Orang-orang yang pernah ke Jepang, Korea Selatan, Singapura, Selandia Baru, Australia, Amerika Serikat dan Eropa mempunyai pengalaman seperti ini: Anda bisa pergi ke restoran kelas atas untuk menikmati hidangan berbintang, Anda bisa pergi ke restoran biasa untuk mencicipi makanan khas lokal, Anda dapat mencoba jajanan pinggir jalan di warung makan, Anda juga dapat pergi ke pasar dan supermarket untuk membeli bahan-bahan lokal dan memasaknya sendiri, tak peduli di mana pun Anda makan bahwa semuanya memiliki jaminan keamanan dan kebersihan. Menurut penulis, selain rasa dan kelezatan, rasa aman tanpa rasa khawatir ini adalah bagian yang lebih penting dari budaya pangan. 

Ketika Tiongkok juga bisa mencapai hal ini, belum terlambat untuk membicarakan status budaya makanan Tiongkok di dunia. Adapun hari ini? Masih sulit bagi keluarga biasa untuk mendapatkan bahan-bahan yang bergizi seimbang, aman dan terjangkau; kuliner kelas menengah ke bawah di pasar tidak dapat dijamin kesehatan dan kebersihannya; kelompok masyarakat yang lebih rentan (bayi, pelajar, dan lain-lain) dijadikan mangsa oleh makanan sampah nan kotor. Ini adalah wujud dari kurangnya peradaban dasar, bagaimana bisa memiliki kebudayaan?  (Lin/Whs)