Tiongkok Memperbaharui Belt and Road Initiative Saat Peminjam Menghadapi Krisis Solvabilitas

Apakah perubahan pada inisiatif infrastruktur global akan membantu atau merugikan peminjam negara berkembang?

 Andrew Moran

Sebuah studi komprehensif baru menemukan bahwa Tiongkok sedang merombak proyek Belt and Road Initiative (BRI) yang sudah berlangsung  selama satu dekade, sebuah skema infrastruktur global yang telah menginvestasikan milyaran dolar ke negara-negara berkembang.

Menurut AidData, sebuah laboratorium riset di Universitas William & Mary, para pemimpin Tiongkok sedang berusaha untuk “mengurangi risiko” dengan menyesuaikan inisiatif pinjaman di seluruh dunia untuk mengurangi risiko tidak terbayarnya pinjaman. Beijing juga berusaha untuk membatasi kerusakan reputasinya di pasar-pasar negara berkembang, karena Gallup World Poll baru-baru ini menemukan bahwa peringkat ketidaksetujuan rata-rata di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah telah melonjak sejak tahun 2019.

Laporan tersebut menemukan bahwa pemerintah Tiongkok sedang menangani risiko kinerja proyek dan meminimalkan paparan terhadap elemen-elemen environmental, social dan governance (ESG).

“Beijing telah meluncurkan upaya yang luas untuk mengurangi risiko BRI dengan memfokuskan kembali waktu, uang, dan perhatiannya pada peminjam yang tertekan, proyek-proyek yang bermasalah, dan sumber-sumber reaksi publik di Global South,” kata laporan tersebut. Mereka belajar dari kesalahan-kesalahannya dan menjadi manajer krisis internasional yang semakin mahir.”

Lima puluh lima persen dari pinjaman yang terkait dengan BRI sedang dalam tahap pembayaran, diproyeksikan akan meningkat menjadi 75 persen pada tahun 2030. Total utang yang belum dilunasi dari para peminjam di negara-negara berkembang, tidak termasuk bunga, mencapai $1,5 triliun. Selain itu, pembayaran tertunggak telah meroket selama setahun terakhir.

Isu yang berkembang di Tiongkok adalah bahwa 80 persen dari portofolio pinjaman luar negerinya mendukung negara-negara yang mengalami kesulitan keuangan. Karena jumlah peminjam yang mengalami krisis solvabilitas meningkat, para pemberi pinjaman milik negara di Tiongkok telah memberikan denda yang lebih tinggi untuk keterlambatan pembayaran, naik dari 3% menjadi 8,7%. Kenaikan yang sangat besar ini telah menerima banyak sekali kritik, namun Tiongkok membela tindakannya dengan mengatakan bahwa mereka telah mempertahankan pembicaraan yang “positif” dan konstruktif dengan para peserta BRI.

“Beijing menemukan pijakannya sebagai penagih utang internasional pada saat banyak peminjam terbesarnya tidak likuid atau bangkrut,” kata para peneliti.

Menanggapi kekhawatiran yang meningkat ini, Tiongkok telah memangkas investasinya ke negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, dari $117 miliar per tahun antara tahun 2013 dan 2017 menjadi $79 miliar pada tahun 2021.

Di sisi lain, para peminjam mungkin akan mencari pinjaman darurat dan metode pembayaran jangka pendek demi menutupi atau membiayai kembali utang yang jatuh tempo. Pihak-pihak ini “harus waspada terhadap bahaya menukar utang yang lebih murah dengan utang yang lebih mahal.”

Tanggapan Global terhadap BRI

Tiongkok terus menjadi sumber pembiayaan pembangunan terbesar di dunia, melebihi negara-negara G7 dan pemberi pinjaman multilateral lainnya. Namun, dengan Amerika Serikat dan mitra-mitra utamanya yang ingin mengikis niat baik Tiongkok di seluruh dunia, hal ini secara bertahap berubah ketika seluruh G7 menghabiskan dana sebesar $84 miliar pada tahun 2021.

Penulis studi memperingatkan bahwa para pembuat kebijakan komunitas internasional tidak menyadari perubahan yang dilakukan Tiongkok terhadap BRI. Hal ini berpotensi “menimbulkan risiko bersaing dengan versi BRI yang sudah tidak ada lagi,” tambah laporan tersebut.

“Dalam jangka panjang, tidak jelas apakah AS dan sekutunya memiliki kekuatan finansial untuk bersaing secara dolar demi dolar dengan Beijing,” kata laporan itu. 

“G7 memiliki sejarah menjanjikan terlalu banyak dan kurang memberikan peningkatan bersih dalam pengeluaran pembangunan internasional. Beijing, sebaliknya, memiliki sumber kekuatan finansial nyata yang memungkinkannya untuk menghindari membuat janji-janji yang tidak dapat ditepati: cadangan devisa yang jauh lebih besar daripada cadangan devisa resmi bank sentralnya.”

Sebagai bagian dari upaya pemerintahan saat ini untuk mengurangi risiko dari Tiongkok, Gedung Putih telah terlibat dalam Kerangka Kerja Ekonomi Indo-Pasifik untuk Kemakmuran (Indo-Pacific Economic Framework for Prosperity/IPEF). Para pengamat menyatakan bahwa ini adalah penerus tidak resmi dari Kemitraan Trans-Pasifik (TPP). Yang lain menyatakan bahwa IPEF mencoba menawarkan alternatif untuk BRI.

“Menata ulang TPP, memperkuat IPEF, memperluas USMCA [yang menggantikan NAFTA], atau memulai dari awal adalah opsi-opsi yang patut dipertimbangkan secara serius untuk memastikan bahwa Amerika Serikat dapat memberikan tawaran ekonomi yang berarti bagi Indo-Pasifik, serta alternatif bagi Tiongkok,” tulis Wendy Cutler, wakil presiden Asia Society Policy Institute (ASPI).

Pada saat yang sama, Tiongkok telah menanggapi kampanye yang dipimpin oleh AS untuk mendapatkan pengaruh di kawasan Indo-Pasifik dan tempat-tempat lain.

Sebagai contoh, para pemimpin Tiongkok telah mencari peran dalam Kemitraan Trans-Pasifik Komprehensif dan Progresif (CPTPP). Kesepakatan ini terutama dibuat oleh Amerika Serikat. Atau, sebagai contoh lain, Tiongkok telah berusaha memperbarui kesepakatan perdagangannya dengan sepuluh anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dengan berkonsentrasi pada perdagangan digital dan ekonomi hijau.

Pendanaan untuk IMF dan Bank Dunia

Dalam beberapa bulan terakhir, para pejabat Gedung Putih telah melobi Kongres untuk meningkatkan pendanaan bagi Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan organisasi-organisasi dunia lainnya untuk melawan kehadiran Tiongkok yang semakin meningkat dan telah membentuk kebijakan di lembaga-lembaga ini.

Tampil di hadapan Komite Jasa Keuangan DPR AS pada  Juni, Menteri Keuangan Janet Yellen menjelaskan kepada para anggota parlemen bahwa meningkatkan kapasitas pinjaman Amerika kepada kelompok-kelompok ini dapat berfungsi “sebagai penyeimbang yang penting untuk pinjaman yang tidak transparan dan tidak berkelanjutan dari Tiongkok.”

Para kritikus dari Partai Republik menentang proposal-proposal ini, dengan alasan bahwa Amerika Serikat telah gagal membujuk IMF untuk melawan pemerintah Tiongkok.

“Jika IMF terus membiarkan Beijing berlarut-larut dalam pembicaraan restrukturisasi dengan para peminjamnya, maka tidak akan ada banyak alasan untuk mendapatkan sumber daya IMF tambahan di akhir tahun ini,” ujar Perwakilan French Hill, wakil ketua Komite Jasa Keuangan DPR AS, kepada Yellen.

Selain itu, karena Amerika Serikat mendorong IMF untuk memperluas pundi-pundi pinjamannya, negara-negara anggota IMF, seperti Tiongkok dan Brasil, khawatir bahwa kepemilikan saham mereka tidak akan cukup selaras.

Saat ini, Amerika Serikat adalah pemegang saham terbesar IMF, dengan 16,5% hak suara. Tiongkok, yang menyumbang 18% dari PDB global, memiliki sedikit lebih dari 6% hak suara IMF. (asr)

# Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia versi Online/Daring, Solvabilitas mengartikan Berdasarkan kemampuan perusahaan untuk membayar utang-utangnya karena jumlah aktivanya melebihi utang-utangnya