Lima Kabar Buruk Bertubi-tubi, Beijing Babak Belur

Zhou Xiaohui

Sastrawan Dinasti Ming yakni Feng Menglong menulis kisah berjudul “《醒世恆言》Xing Shi Heng Yan” (Stories to Awaken the World, red.) tentang bencana yang datang biasanya tidak berjalan sendiri, dan pada bagian akhir disimpulkan sebagai berikut: “Atap bocor menyongsong malam-malam penuh hujan, kapal terlambat tiba menyongsong pula angin haluan”. 

Kondisi ini tidak cukup hanya diungkapkan dengan kata “tragis” saja. Saat ini begitulah suasana hati para petinggi Zhongnanhai (Partai Komunis Tiongkok), karena selama dua tahun terakhir ini, satu persatu berita buruk berdatangan silih berganti, yang membuat babak belur. Beberapa “berita buruk” yang belakangan ini telah menerpa penghuni Zhongnanhai adalah sebagai berikut:

Berita buruk pertama adalah, pada 6 Desember lalu Pemerintah Italia memberitahukan secara resmi penguasa RRT bahwa Italia memutuskan mundur dari program “Belt and Road Initiative” yang diprakarsai oleh mereka.

Kantor berita Reuters mengutip pernyataan dari nara sumber pemerintah Italia yang mengatakan bahwa, Pemerintah Italia bahkan sudah mempertimbangkan keputusannya ini mungkin dapat menimbulkan rasa tidak puas dari Beijing yang kemudian akan mengambil tindakan pembalasan ekonomi terhadap Italia.

Italia mulai bergabung dalam program “One Belt One Road” (OBOR, yang kini diubah: BRI) sejak 2019, hingga kini juga merupakan satu-satunya negara Barat yang ikut ambil bagian dalam program tersebut. Akan tetapi, perdana menteri Italia saat ini Giorgia Meloni begitu menjabat langsung menyatakan niatnya untuk mundur dari program BRI, lantaran Italia tidak memperoleh hasil yang diharapkan setelah bergabung.

Ini adalah untuk kedua kalinya Italia menghantamkan gada pada PKT dan pemimpinnya, setelah pada Oktober 2019 lalu di saat Presiden Italia Sergio Mattarella dalam kunjungannya ke AS secara terbuka menyatakan dukungannya pada AS, serta melindungi pasar terbuka yang adil, dan mengumumkan meninggalkan 5G dari Huawei.

Perlu diketahui, pada Maret 2019, saat pemimpin PKT Xi Jinping berkunjung ke tiga negara di Eropa, Italia sebagai salah satu negara G7 merupakan pemberhentiannya yang pertama, karena Italia merupakan negara yang paling diincar untuk digandeng oleh Beijing, sementara Italia yang kala itu mengalami kesulitan ekonomi juga berharap akan memperoleh dana dari mereka. Ibarat gayung bersambut, Giuseppe Conte yang kala itu menjabat sebagai PM Italia pun menandatangani MOU program “BRI” dengan Xi Jinping, peristiwa tersebut telah memicu rasa tidak puas Amerika dan juga negara Uni Eropa.

Pada 19 Maret, Komisi Eropa lewat laporan “EU-China: Strategic Outlook”, menyatakan telah dilakukannya penyesuaian kebijakan terhadap RRT, dengan mengambil sikap keras yang memposisikan Beijing sebagai “pesaing ekonomi” di bidang pengembangan 5G dan bidang krusial lainnya, serta menetapkan RRT sebagai “pesaing institusional” di bidang politik, serta menyatakan bahwa akan menempuh aturan pengawasan yang lebih ketat terhadap investasi RRT di Eropa.

Di bawah peringatan dari AS dan penyesuaian strategi Uni Eropa, Pemerintah Italia yang “masih berupaya mempertahankan hubungan dengan negara sekutu Uni Eropa dan juga dengan Amerika”, walaupun Italia telah menandatangani MOU yang sifatnya tidak mengikat, tapi telah menghapus aturan tentang kerjasama teknologi dan komunikasi di dalam MOU. Sehingga MOU semacam ini jelas tidak mampu memuaskan ambisi PKT.

Hanya setengah tahun setelah MOU ditandatangani, Presiden Italia secara resmi mengumumkan meninggalkan Huawei, dan sekarang PM Italia juga memilih untuk mundur dari program “BRI”, ini berarti program BRI dari RRT di Eropa kembali terhambat, padahal forum BRI yang ketiga yang diadakan PKT di Beijing pada Oktober lalu, pemimpin negara yang menghadiri forum telah jauh berkurang, kondisi ini menunjukkan program BRI yang didorong PKT telah diwaspadai oleh setiap negara, dan trik tipuan yang dimainkan PKT sangat sulit untuk diteruskan.

Terhadap keputusan terbaru Italia ini, saat ini belum terlihat adanya respon terbuka dari Beijing, tetapi apakah Zhongnanhai akan merespon dengan sikap keras? Melihat Zhongnanhai tidak memiliki cukup kepercayaan diri untuk bersikap keras, sementara tahun depan Italia akan mendapat giliran menjadi negara pemimpin kelompok G7, sepertinya Beijing hanya bisa “pasrah” menerima kenyataan ini. Mengenai apakah masih berniat mengatur penyambutan bagi Meloni yang akan datang berkunjung, masih sulit dipastikan.

Berita buruk kedua adalah, lembaga pemeringkat internasional Moody’s baru-baru ini telah menurunkan peringkat kredibilitas (Sovereign Credit Rating) bagi Tiongkok, Hong Kong, dan Makau dari peringkat “stabil” turun menjadi “negatif”, sekaligus juga menurunkan kredibilitas 8 bank Tiongkok dari peringkat “stabil” turun menjadi “negatif”.

Bursa saham Tiongkok dan Hong Kong terus merosot, bursa Tiongkok telah jatuh menembus 3.000 poin. Ini berarti harapan pemimpin PKT untuk menarik sebanyak mungkin investor, telah pupus pula. Coba bayangkan, siapakah yang berani menginvestasikan modalnya di pasar yang diperkirakan akan menjadi “negatif”? Sementara itu merosotnya Hong Kong yang dulu pernah mendapat julukan “Pearl of the Orient” juga terdampak langsung dari merosotnya ekonomi di daratan Tiongkok.

Terhadap hal ini, Kemenkeu dan Kemenlu RRT tidak memperlihatkan sikap “serigala perang” mereka, pihak Kemenkeu hanya menyatakan kekecewaannya terhadap keputusan Moody’s, dan menyatakan “perekonomian akan mempertahankan rebound dan tren yang positif,”; “risiko properti dan pemerintah daerah dapat dikendalikan”, serta “kekhawatiran Moody’s terhadap masa depan pertumbuhan ekonomi Tiongkok adalah tidak perlu” dan lain sebagainya. Tidak ada alasan lain, semua karena kehilangan kepercayaan diri, karena betapa buruknya kondisi perekonomian di Tiongkok, dan para pejabat PKT sendirilah yang paling memahaminya.

Berita buruk ketiga adalah, tim Presiden Argentina terpilih Javier Milei membenarkan, Argentina tidak akan bergabung dalam jajaran negara BRICS, bertolak belakang dengan presiden sebelumnya berikut para pengikutnya yang sangat mendukung sikap menjadi anggota BRICS.

Seminggu sebelum tim Milei mengumumkan perihal ini, Xi Jinping sempat menitipkan pada Dubes RRT untuk Argentina atas terpilihnya Milei ucapan selamat darinya, lewat calon kuat yang akan menjabat sebagai Menkeu merangkap Menlu Argentina yakni Diana Mondino. “Sikap merendah” Xi Jinping menuai “tanggapan dingin”.

Berita buruk keempat adalah, Mendag AS Gina Raimondo pada forum 2 Desember lalu, secara terbuka menyatakan PKT adalah “ancaman terbesar” sepanjang sejarah AS, dan bukan teman.

Tak lama sebelumnya Raimondo yang baru saja kembali dari Beijing menyebutkan, “Setiap hari bangun tidur PKT selalu memikirkan segala cara untuk melewati pembatasan ekspor kita, oleh sebab itu setiap detik setiap saat, kita harus selalu sadar, bersama dengan sahabat kita, Belanda, Jepang, dan Eropa, memperkuat pembatasan, dan lebih memperketat penegakan hukum.”

Dia pun secara langsung menyebut nama Nvidia, menekankan setahun terakhir ini Nvidia tetap memasok produk yang ditingkatkan secara khusus bagi PKT, kali ini AS memperluas ruang lingkup pembatasan cip, jika perusahaan membuat rancangan cip baru untuk melampaui batasan ekspor, dan membuat Beijing bisa memperoleh teknologi AI, maka ia akan “melakukan pembatasan pada hari kedua”. Nvidia pun segera menyatakan siap menaati aturan. Jalur impor cip teknologi tinggi PKT sekali lagi akan terhambat, terhadap hal ini, Beijing hanya bisa diam.

Berita buruk kelima adalah, Komisi Urusan Luar Negeri DPR AS pada 29 November lalu meloloskan “HKETO Certification Act”.

Isi RUU tersebut adalah jika Presiden Biden menilai Hong Kong tidak lagi memperoleh otonomi tingkat tinggi, maka HKETO seharusnya tidak lagi mendapatkan perlakuan diplomatik berupa hak Istimewa dan kekebalan hukum, serta akan ditutup. RUU tak lama lagi akan diserahkan untuk ditinjau oleh seluruh anggota DPR AS.

Hal ini dengan sendirinya membuat berang PKT. Tak lama berselang, pemerintah Hong Kong dan Kantor Komisaris Kemenlu RRT di Hong Kong pun melontarkan kecaman keras, “Mendesak AS agar dengan segera menghentikan tindakannya.” Tetapi itu pun hanya sekedar gertak sambal, tanpa ada tindakan nyata, sementara itu pihak AS pun sama sekali tidak menghiraukannya.

Berita buruk selama sepuluh hari terakhir yang disebut di atas, bagi sang pemimpin partai semuanya bukanlah hal sepele di tengah kondisi ekonomi yang memprihatinkan ini, juga merupakan masalah pelik yang sulit untuk diselesaikan. Selain itu, karena situasi dan kondisi dirinya sendiri, sekarang PKT harus berpikir panjang jika hendak memperlihatkan sikap serigala perangnya. Belum lama ini, media massa Jerman mengutip komentar Menlu Lithuania yang telah membenarkan, bahwa PKT telah mencabut sebagian besar tekanan ekonominya terhadap Lithuania, sebelumnya Lithuania telah dikenakan sanksi dagang dan ekonomi oleh PKT selama 2 tahun akibat menempatkan kantor perwakilannya di “Taiwan”, namun Lithuania tidak tunduk. Dari sini bisa dilihat, kepercayaan diri PKT untuk bersikap keras sudah tidak ada lagi. Sedangkan serangkaian hantaman yang telah dialami oleh PKT, bukan merupakan awal, bukan pula akhir, yang lebih tragis masih akan menyusul lagi. (sud/whs)