Abraham Lincoln Dibunuh, Kemerdekaan dan Kebebasan Ditempa dengan Darah

Jiang Feng

Ada juga Presiden AS yang takut istri, siapa itu? Lincoln. Abraham Lincoln yang dilahirkan dari keluarga miskin sangat takut pada istrinya. Semua orang mengetahui bahwa Gedung Putih adalah rumah bagi presiden AS. Tetapi begitu First Lady memelototkan matanya, maka Presiden Lincoln pun akan dengan patuh pergi ke sebuah rumah kecil yang disebut Lincoln’s Cottage.

Di cottage ini ia telah mengkomandoi sejumlah pertempuran yang tersohor, dan menulis banyak artikel yang terkenal dalam sejarah. Lincoln’s Cottage ini terletak di Washington, dan sudah menjadi bangunan cagar budaya peninggalan sejarah nasional, cottage ini adalah bukti kuat betapa takutnya Lincoln pada istrinya.

Menikahi “First Lady”

Pada saat keduanya masih berpacaran, adalah Lincoln yang mengejar Mary Todd. Waktu itu Mary dihadapkan pada dua pilihan: Seorang pengacara miskin bernama Lincoln yang bertubuh jangkung, dan orang baru dalam politik; serta anggota kongres politisi kaya Stephen A. Douglas. Mary menolak lamaran Douglas, sang politisi kaya, dan dia berkata: “Saya akan menjadi First Lady, bukan Nyonya Douglas.” Tidak tahu kenapa Mary merasakan bahwa Lincolnlah yang dapat membawa dirinya memasuki Gedung Putih.

Istri Presiden AS Abraham Lincoln, Mary yang sangat “power full”. (Ho/The National Archives/AFP)

Di tengah kondisi perang yang setiap saat bisa meletus, situasi pemilu presiden tahun 1860 di Amerika Serikat luar biasa panas. Sementara Douglas adalah capres dari Partai Demokrat, sedangkan Lincoln adalah capres dari Partai Republik. Lagi-lagi kali ini adalah duel antara Lincoln melawan Douglas.

Pada 6 November 1860, hasil pemilu terungkap: Lincoln menang, dan ia benar-benar berhasil membawa Mary masuk ke Gedung Putih. Tetapi 180 lembar surat suara electoral college (lembaga pemilih, red.), dan 40% surat suara popular vote (suara publik, red.), telah menjadikan Lincoln sebagai presiden dengan perolehan suara paling sedikit sepanjang sejarah. Ini menandakan perpecahan besar di tengah masyarakat AS telah dimulai.

“Beritahu Kabar Buruknya Lebih Dulu!”

Dengan menumpang kereta api Lincoln meninggalkan kampung halaman, di sepanjang perjalanan ke ibu kota untuk menjabat, berita buruk mengiringinya tanpa henti. Baru saja tiba di negara bagian New York, Selatan mengumumkan kemerdekaannya, dan memilih seorang presiden yang lain. Dari Philadelphia sampai ke Washington, berjalan pada siang hari ada orang yang hendak membunuhnya, maka terpaksa berjalan di malam hari. Orang-orang Partai Demokrat menertawakannya tidak bernyali, dan tidak berani menghadapi masyarakat. Dalam sejarah AS tidak seorang pun presiden AS seperti Lincoln, yang baru saja menjabat, maka berbagai krisis telah mengintainya. Di hari kedua saat pidato pelantikannya, Pemberontak Selatan telah mengepung benteng federal Fort Sumter di South Carolina.

Suatu pagi pada 12 April 1861, Lincoln baru saja bangun tidur, Kepala Staf berkata padanya, “Ada kabar baik dan kabar buruk, mana yang ingin Anda dengarkan lebih dulu?”

Presiden Lincoln menjawab, “Hei, aku tidak sesial itu bukan? Kau masih saja bercanda, katakan kabar buruk lebih dulu.” Kepala Staf berkata, “Fort Sumter di Selatan telah dibombardir oleh Pemberontak Selatan, perang telah meletus.” Lincoln memejamkan matanya, “Katakan kabar baiknya.” Kepala staf menjawab, “Istri Anda Nyonya Lincoln telah berangkat, segera akan tiba di Washington.” Kedua mata Lincoln membelalak, Ya Tuhan, Nyonya Lincoln lebih sulit diatasi daripada perang ini, jadi lebih baik selesaikan masalah perang lebih dulu.

Maka pada hari itu juga Lincoln mengumumkan: Tujuh negara bagian di selatan adalah negara bagian pemberontak, kita mulai menyusun pasukan untuk meredam pemberontakan. Begitu perintah Lincoln diturunkan, mantan rektor Akademi Militer West Point yang berasal dari negara bagian Virginia yakni Robert Edward Lee, berikut sejumlah perwira lain beserta siswa terbaik akademi militer yang berasal dari selatan, semuanya kembali ke selatan, untuk berperang demi kampung halamannya masing-masing.

Memang cukup menarik, AS tidak menahan para perwira itu, apalagi menjelekkan mereka sebagai pengkhianat negara segala. Lincoln melepaskan para elite itu. Mereka menyusun dan memimpin pasukan yang paling kuat di selatan, membuat impian utara untuk mengakhiri perang dalam beberapa minggu pupus sudah, perang saudara yang kejam itu terus berkepanjangan hingga empat tahun lamanya.

“Seseorang Harus Pergi Ke Tempat Yang Seharusnya Ditujunya”

Pada 9 April 1865, Pihak Selatan yang terkuras keuangan dan dukungan personelnya, telah melangkah ke akhir perang. Panglima Pasukan Selatan Robert Lee telah menandatangani perjanjian menyerah kepada lawannya, yakni Jenderal Grant. Di Washington, ketika orang-orang mendengar berita bahwa Pasukan Selatan menyerah, semua orang bersorak sorai datang ke Gedung Putih untuk memberikan selamat. First Lady Mary dengan gembira berkata pada tamu yang berdatangan: Ouvert du champagne, artinya buka sampanye, dan merayakan menyerahnya musuh. “Eh… Eh… Eh…”, Lincoln menyela perkataan istrinya itu, “Kita boleh minum sampanye, tapi…” Lincoln yang begitu takut istrinya itu, tak dinyana berani memotong perkataan sang istri! Dengan tulus ia berkata pada semua tamu, “Perang telah berakhir, tetapi disini tidak ada musuh, mereka semua adalah saudara kita, adalah rekan setanah air kita.”

Namun bukanlah setiap orang bisa melepaskan dendamnya. John Wilkes Booth, seorang aktor yang terkenal, juga seorang pendukung perbudakan di selatan, berniat membunuh Lincoln.

Lincoln berkata: “Seorang pria harus pergi ke mana dia seharusnya pergi.” Gambar tersebut menunjukkan ilustrasi yang menggambarkan pembunuhan Lincoln dan istrinya saat menonton pertunjukan di Teater Daft pada tanggal 14 April 1865. (Koleksi Kean/Getty Images)

Pada 14 April 1865, hari itu adalah hari Jum’at terakhir sebelum Paskah, di kalender tertulis: hari peringatan Penyaliban Yesus Kristus. John Booth mendengar kabar, malam itu Lincoln akan ke Ford’s Theatre untuk menonton opera. Booth mengeluarkan sepucuk pistol Derringer .410, ini adalah sebuah senjata mudah dibawa yang diproduksi oleh Biro Persenjataan Philadelphia, keseluruhan pistol itu tidak lebih besar dari telapak tangan, dengan casing logam dari kuningan, sama seperti pemiliknya, yang memancarkan cahaya dingin di bawah sorotan lampu minyak.

Pada pukul 10 pagi, Lincoln mengadakan rapat pembangunan kembali pasca perang, usai rapat, di luar kebiasaan Lincoln berkata pada Menteri Perang Edwin Stanton: “Malam ini saya akan pergi menonton opera di Ford’s Theatre, aturlah seorang polisi yang cakap sebagai pengawal.” Tetapi polisi yang bisa dipercaya sudah ada tugas, terpaksa seorang perwira militer bernama John Frederick Parker, dan Parker ini terkenal sebagai pemabuk.

Pada siang hari, di luar kebiasaan Presiden Lincoln menemui seorang wanita kulit hitam bernama Nancy yang telah membuat keributan di depan pintu. Senja harinya tiba-tiba Lincoln berkata pada pelayannya, “Saya percaya ada orang yang hendak membunuh saya.” Semua orang yang ada pada saat itu terkejut. Karena sejak Lincoln mulai menjabat dirinya terus menerus mendapatkan ancaman pembunuhan, tapi ia selalu menganggapnya angin lalu, akan tetapi, kali ini ia sendiri yang mengemukakan hal itu. Untuk kewaspadaan, pelayannya mengusulkan agar dirinya membatalkan rencana menonton opera. Tetapi presiden justru dengan entengnya berkata, “Karena sudah ada pengumuman bahwa kami akan kesana, maka sebaiknya tidak mengecewakan masyarakat. Tahukah Anda? Seseorang pasti akan pergi ke tempat yang seharusnya ditujunya.” Pasca kejadian itu orang-orang mengenang kembali kata-kata sang presiden, baru memahami makna perkataannya itu.

Malam itu, Lincoln dan istrinya tiba di Ford’s Theatre sesuai janji. Seribu orang penonton di sana berdiri bersorak menyambutnya. Perang baru saja usai, masyarakat menyambut presiden yang agung itu dengan penuh hormat.

Pertunjukan Henry Reed Rathbone telah dimulai, tidak ada yang memerhatikan bahwa kunci pintu ruang VIP Presiden Lincoln sudah dirusak, pada dasarnya sudah tidak bisa dikunci dari dalam. Saat senja tiba, John Booth muncul ibarat roh gentayangan, ia menunggu sampai adegan kedua pada babak ketiga, aktor akan melontarkan suatu lelucon, pada saat itu seluruh gedung akan tertawa tiada henti, waktu itulah saat yang tepat untuk beraksi. Parker yang berada di luar ruang VIP di lantai dua mulai kumat kecanduan alkoholnya. Ia memutuskan mencari tempat yang sepi, untuk menikmati whisky yang dibawanya. Maka, ia pun meninggalkan presidennya, yakni orang paling agung di dunia saat itu, selama 10 menit, dan dalam 10 menit itu Lincoln bagaikan anak kecil tak berdaya yang sedang larut dalam tawanya di tengah pertunjukan komedi.

Tibalah adegan kedua babak ketiga, Booth bergerak ibarat angin berhembus, seketika itu juga ia tiba di lantai dua. Kalimat adegan itu pun terucap, dan benar saja semua penonton tertawa terbahak-bahak, begitu pula dengan Presiden Lincoln juga ikut tertawa. John Booth langsung membuka pintu belakang ruang VIP Lincoln. Booth dengan santai berjalan mendekati Lincoln, lalu sebutir peluru tembaga berdiameter setengah inci ditembakkan ke otak belakang sang presiden.

Lincoln tidak meninggal dunia di gedung opera, tapi juga tidak sempat dilarikan ke rumah sakit atau Gedung Putih, ia dipindahkan ke sebuah rumah yakni Petersen House di seberang gedung opera, sekarang tempat ini dijadikan museum, di dalamnya tersimpan ranjang kecil berukuran 1,75 meter dimana Lincoln terbaring untuk terakhir kalinya. Dalam gema doa orang-orang, roh Lincoln diam-diam telah meninggalkan tubuhnya, membawa serta gayanya yang humoris sejak lahir, dalam diam ia memandang tubuh dengan tinggi badan 1,93 meter itu dari angkasa, melihat penampilan terakhirnya terbaring di tengah dunia manusia.

Dalam pidatonya untuk mengenang pertempuran Gettysburg, Lincoln mengatakan “Semoga kita bisa membuat negara ini memperoleh kelahiran kembali yang bebas, dengan dipenuhi berkah pemberian Tuhan, dan membuat pemerintah yang dimiliki oleh rakyat, dijalankan oleh rakyat, dan dinikmati oleh rakyat ini, abadi selamanya”.

Lincoln mengingat hari terakhir dalam kehidupannya, yang hanya menemui seorang rakyat jelata, hanya saja, karena wanita yang datang ke depan pintunya itu bernama Nancy, dan ibu Lincoln juga bernama Nancy. Lincoln mengetahui, Tuhan telah mengatur seorang wanita yang memiliki nama yang sama dengan ibunya untuk menengok dirinya pada hari terakhir dalam hidupnya. Di hari itu, roh seorang Lincoln yang agung telah pergi untuk selamanya, dengan lirih ia berseru: Mama, Mama, tunggulah aku di surga, aku segera datang. (sud/whs)