Tiongkok Sedang Menghadapi Deflasi Terburuk Dalam 14 Tahun Terakhir

oleh Chen Ting

Indeks Harga Konsumen Tiongkok telah menunjukkan penurunan berkelanjutan sejak 2009. Pada saat yang sama, momentum pertumbuhan ekspor Tiongkok juga melemah, hal ini dapat menjadi pendorong yang akan menjerumuskan ekonomi Tiongkok ke dalam lingkaran setan deflasi.

Data yang dirilis Biro Statistik Nasional Tiongkok pada Jumat (12 Januari) menunjukkan bahwa Indeks Harga Konsumen (CPI) pada  Desember 2023 turun 0,3% year-on-year (YoY). Meskipun penurunannya menyempit 0,2 poin persentase dari bulan sebelumnya, tetapi sudah selama 3 bulan berturut-turut berada dalam wilayah deflasi.

Diantaranya, indeks harga pangan turun 3,7%, sedikit lebih baik dibandingkan dengan penurunan 4,2% yang terjadi pada bulan November 2023. CPI Inti bila tidak termasuk harga pangan dan energi, naik 0,6% YoY. CPI keseluruhan tahun 2023 naik 0,2%, jauh di bawah target resmi yang sekitar 3%.

Indeks harga produsen (PPI) turun 2,7%. Akibat lemahnya permintaan domestik dan internasional, maka indeks PPI ini terus menunjukkan penurunannya selama lebih dari 1 tahun.

Sementara itu, ekspor Tiongkok yang menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi Tiongkok pada 2023 menunjukkan penurunan sebanyak 4,6% YoY, ini adalah penurunan pertama sejak 2016. Menurunnya momentum pertumbuhan ekspor kembali menjadi pukulan berat bagi negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia ini.

Menurut data yang dirilis oleh Administrasi Umum Kepabeanan Tiongkok pada Jumat, meskipun ekspor pada  Desember 2023 menunjukkan adanya peningkatan sebesar 2,3% YoY, tetapi terjadinya hal ini sebagian disebabkan oleh rendahnya data ekspor pada  Desember 2022, akibat berkecamuknya COVID-19 di seluruh Tiongkok, dan rezim Beijing menerapkan kebijakan “Nol kasus” dalam mencegah penyebarannya. Sehingga ekspor Tiongkok secara keseluruhan turun hampir 10%.

Raymond Yeung, Kepala Ekonom ANZ mengatakan kepada Bloomberg : “Tiongkok perlu mengambil tindakan yang berani untuk memutus siklus deflasi, jika tidak maka Tiongkok akan jatuh ke dalam lingkaran setan deflasi.”

Ketika tekanan harga terus berlanjut, perusahaan-perusahaan terpaksa menurunkan harga jual, dan pekerja migran juga terkena pemotongan gaji yang signifikan, tambahnya.

Deflasi yang terus berlanjut juga berdampak pada turunnya nilai produk ekspor Tiongkok. Pada  Oktober tahun lalu, indeks harga ekspor telah mencapai titik terendah baru sejak 2006 dan hanya naik tipis pada November 2023.

Pada saat yang sama, industri real estate Tiongkok masih lesu, sehingga dapat mengurangi pengeluaran rumah tangga dan meningkatkan tekanan harga.

Ditambah dengan melemahnya ekspor dan turunnya harga yang mengurangi pendapatan dunia usaha, hal ini dapat semakin berdampak pada upah dan keuntungan. Deflasi juga dapat meningkatkan beban utang dan mendorong konsumen menunda pembelanjaan.

Mengingat hal ini, banyak analis percaya bahwa Bank Sentral Tiongkok mungkin sedang mengupayakan penurunan suku bunga kebijakannya. Meskipun hal ini tidak akan berdampak besar pada peningkatan permintaan, namun hal ini dapat mengurangi tekanan pembiayaan utang.

Mengingat Partai Komunis Tiongkok akan menyelenggarakan Kongres Rakyat Nasional, maka minggu-minggu mendatang kemungkinan besar akan menjadi periode kritis bagi pengambilan kebijakan untuk menentukan apa saja target pertumbuhan ekonomi 2024. (sin)