Penggunaan Pajak Rokok dan DBHCHT Untuk Penguatan Implementasi Kawasan Tanpa Rokok

SURABAYA – Merokok merupakan penyebab kematian utama di dunia yang dapat dicegah. World Health Organization melaporkan bahwa epidemi merokok telah menyebabkan lebih dari lima juta orang meninggal sebagai perokok aktif dan sekitar 600.000 orang meninggal akibat terpapar asap rokok orang lain (perokok pasif) setiap tahun. 

Saat ini, lebih dari 60 juta penduduk Indonesia merupakan perokok aktif. Jumlah ini terus bertambah dari tahun ke tahun dan menempatkan Indonesia di peringkat ketiga di dunia setelah Tiongkok  dan India (IAKMI, 2020). Angka perokok remaja juga terus meningkat dari tahun ke tahun. 

Menurut Riskesdas dari 2007 sampai 2018 menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan perokok di kalangan remaja, terutama perokok wanita. Rokok merupakan bahaya yang mengancam anak, remaja dan wanita Indonesia. 

Konsumsi rokok merupakan salah satu faktor risiko utama terjadinya berbagai penyakit tidak menular seperti penyakit jantung koroner, stroke, kanker, penyakit paru kronik dan diabetes melitus yang merupakan penyebab kematian utama di dunia, termasuk Indonesia. Jumlah ini terus bertambah dari tahun ke tahun dan Meskipun bahaya dari merokok sudah sangat jelas namun prevalensi perokok di Indonesia terus meningkat.

Penetapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) merupakan upaya pemerintah untuk melindungi masyarakat dari Asap Rokok Orang Lain dan menjamin hak setiap orang menghirup udara bersih dan sehat. 

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan mengamanatkan bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita Bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

Pelaksanaan penegakan Kawasan Tanpa Rokok membutuhkan dana yang harus dikeluarkan oleh Pemerintah daerah melalui Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Dalam pelaksanaanya, pemerintah daerah dapat menggunakan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) dan pajak rokok. Namun belum banyak daerah yang telah memiliki peraturan daerah terkait KTR memanfaatkan dana tersebut.

Penggunaan DBHCHT dan pajak rokok dapat menjadi peluang untuk peningkatan optimalisasi jangkauan KTR di Kabupaten/Kota di Jawa Timur. Hal ini didukung oleh kebijakan Pemerintah Indonesia mengenai peningkatan tarif cukai rokok dengan kenaikan rata- rata sekitar 12% pada tahun 2021.

 Tujuan dari kebijakan ini tidak hanya untuk mengendalikan konsumsi rokok, tetapi juga mempertimbangkan dampak kesehatan yang akan ditimbulkan. Penggunaan DBHCHT di beberapa daerah digunakan untuk meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan Universial Health Coverage, Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), dan non kesehatan seperti peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan dibidang cukai dan pemberantasan barang kena cukai ilegal  (Ahsan, 2022). 

Namun belum banyak daerah yang memanfaatkan DBHCHT dan pajak rokok untuk optimalisasi pelaksanaan KTR di mana KTR saat ini menjadi salah satu upaya untuk mengendalikan asap rokok khususnya pada perokok pasif sekaligus mendukung gaya hidup yang lebih sehat di tengah masyarakat khususnya perokok untuk menahan diri agar tidak merokok di sembarang tempat.

Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga (Unair) Surabaya dalam mendukung penerapan serta penegakan regulasi Kawasan Tanpa Rokok (KTR) terus digencarkan. Bertempat di Swiss Belinn Hotel, Surabaya. 

Pada Rabu ( 24/1/2024 ) kegiatan yang dikemas dengan Acara Workshop bertemakan ” Penggunaan Pajak Rokok dan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau untuk Penguatan Implementasi Kawasan Tanpa Rokok” dihadiri Research Group Tobacco Control ( RGTC ) FKM, Dr. Santi Martini, dr., M.Kes, Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau ( Kementrian Kesehatan ), dr. Bemget Saragih,E.epid, Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Dr. Abdillah Ahsan, Dinas Kesehatan Kabupaten Klungkung I Ketut Ardana,S.KM,M.Si, Biro Perekonomian dan Setda Provinsi Jawa Timur, Abdul Haris Hidayat,S.P, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, dr. Faridha Cahyani.

Dr. Santi Martini, dr., M.Kes, mengungkapkan, di Negara Indonesia yang hampir 80 persen di wilayah Kabupaten/Kota, dari 514 sudah memiliki regulasi penerapan tentang tembakau. 

”Ada Perda, SK Bupati, Perwali, dan Pergub yang sudah mempunyai regulasi yang terkait pengendalian tembakau,” kata Santi Martini ditemui usai Pembukaan Workshop penerapan Regulasi KTR. 

“Penegakannya ini yang harus dijaga,karena tidak hanya sekedar punya peraturan, tapi bagaimana peraturan ini bisa diterapkan,” lanjutnya.

Di Jawa Timur ada 38 daerah yang sudah menerapkan KTR, sedangkan 3 daerah lain belum yaitu Ponorogo, Bojonegoro dan Pasuruan. (Aml)