Visi Sosialis dari Forum Ekonomi Dunia

Antonio Graceffo

Forum Ekonomi Dunia (WEF) mempertemukan para pemimpin dunia dan taipan bisnis untuk membangun masa depan yang sosialis dan distopia bagi kita semua.

Forum Ekonomi Dunia (WEF) menggelar pertemuan tahunannya pada 15-19 Januari di Davos, Swiss, dengan tema “Rebuilding Trust” atau “Membangun Kembali Kepercayaan”. Istilah “membangun kembali” mungkin menyiratkan bahwa pernah ada kepercayaan terhadap WEF. Namun, kaum konservatif secara konsisten melihat pertemuan para elit global ini sebagai langkah untuk memaksakan tatanan sosial global mereka.

Klaus Schwab, pendiri dan ketua eksekutif kelompok ini, mengatakan kepada Majalah Time pada 11 Januari: “Saya akan membedakan antara ‘elit’ dan ‘pengambil keputusan’. Kami tidak menganggap diri kami sebagai organisasi elit; kami melihat diri kami sebagai organisasi yang menyatukan para pengambil keputusan di bidang politik, bisnis, dan masyarakat sipil.”

Terlepas dari penolakan Schwab terhadap istilah “elit”, tidak dapat dipungkiri bahwa para peserta WEF memiliki kekuatan pengambilan keputusan yang signifikan. Banyak di antara mereka adalah kepala negara atau pejabat tinggi pemerintah di negara-negara demokrasi, yang menimbulkan kekhawatiran di antara para pemilih mengenai legitimasi perwakilan mereka dalam pertemuan yang bersifat global dan hanya dihadiri oleh para undangan. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang kewenangan yang dimiliki oleh para pejabat dan pegawai negeri yang terpilih ini – yang didukung oleh uang pembayar pajak – untuk membuat keputusan yang mungkin bertentangan dengan preferensi orang-orang yang mereka wakili.

Ursula von der Leyen, presiden Komisi Eropa, berbicara dalam forum tersebut mengenai Undang-Undang Artificial Intelligence Uni Eropa, dan menegaskan bahwa undang-undang tersebut akan membangun “kepercayaan dengan melihat kasus-kasus berisiko tinggi seperti identifikasi biometrik secara real-time.” 

Namun, dorongan untuk identifikasi biometrik justru merupakan salah satu area di mana WEF menghadapi defisit kepercayaan dengan kaum konservatif secara global-sebuah sentimen yang digaungkan oleh American Civil Liberties Union (ACLU).

Perdana Menteri Tiongkok Li Qiang, seorang anak didik pemimpin Tiongkok Xi Jinping, memberikan sebuah presentasi, menyoroti pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang diklaim sebesar 5,2% di tahun sebelumnya dan mendorong investasi di negara tersebut. Presentasinya melengkapi presentasi dari von der Leyen, yang menekankan pentingnya mengurangi risiko tanpa menganjurkan decoupling sepenuhnya dari Tiongkok.

Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg juga hadir di sana, mencari dukungan untuk Ukraina, seperti halnya Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy. Penasihat keamanan nasional AS Jake Sullivan juga hadir, menawarkan “pesan harapan” dan kolaborasi sementara gagal untuk menghadapi Iran, Yaman, Tiongkok, atau negara manapun yang mengancam Amerika Serikat. Dalam sesi yang berjudul “Mengamankan Dunia yang Tidak Aman,” panel tersebut lebih fokus pada kritik terhadap Israel dan menyerukan gencatan senjata di Gaza daripada mempertanyakan Qatar atau Iran mengenai peran mereka sebagai negara sponsor terorisme.

Ironisnya, tahun ini, WEF mengundang Kevin D. Roberts dari Heritage Foundation, yang menulis, “Kaum Marxis yang terkenal munafik dan mengaku dirinya sendiri ingin mendengar dari Heritage Foundation bagaimana mereka dapat ‘membangun kembali kepercayaan’ dengan rakyat Amerika.” Roberts menyimpulkan bahwa tidak ada misteri mengapa orang tidak mempercayai para elit global. Hal ini semata-mata “karena mereka membenci kita” dan “menggunakan kekuatan mereka untuk melemahkan kita.”

Organisasi ini mendukung berbagai kebijakan destruktif yang mana, jika diterapkan, akan mengubah dunia menjadi mimpi buruk sosialis. WEF menganggap perubahan iklim sebagai risiko global terbesar dalam 10 tahun ke depan dan menganggap kelambanan dalam menghadapi perubahan iklim sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Istilah “ekosida” digunakan oleh WEF untuk menggambarkan perusakan lingkungan, yang mencakup kegiatan seperti pertanian, perikanan, dan pengambilan keuntungan. Selain itu, mereka mengadvokasi agar ekosida diakui sebagai kejahatan internasional.

Pengurangan pertanian sejalan dengan agenda iklim WEF, yang bertujuan untuk mengurangi “emisi dari pertanian.” Pada saat yang sama, WEF berpendapat bahwa makan daging “buruk bagi lingkungan,” sehingga tidak jelas apa yang mereka inginkan untuk dimakan oleh manusia.

WEF mengadvokasi dua konsep yang kontroversial: kemitraan publik-swasta dan kolaborasi berbagai pemangku kepentingan, yang juga dikenal sebagai kapitalisme pemangku kepentingan. Para penentangnya memandang pendekatan-pendekatan ini sebagai ancaman potensial terhadap demokrasi, kebebasan individu, dan kemerdekaan, dan menganggapnya sebagai langkah menuju sosialisme. Kemitraan publik-swasta mirip dengan apa yang terjadi dengan mandat vaksin selama pandemi COVID-19. Sulit bagi pemerintah federal untuk mengesahkan mandat masker atau vaksin secara nasional, tetapi perusahaan swasta mampu memberlakukan pembatasan serta mendukung agenda pemerintah.

Skenario ini menimbulkan kekhawatiran tentang tindakan potensial di bidang perubahan iklim atau memerangi disinformasi-isu yang diidentifikasi oleh WEF sebagai risiko global terbesar selama dua tahun ke depan. Hal ini dapat mengarah pada pemberlakuan pembatasan energi hijau bagi pemilik rumah atau penyensoran media dan media sosial, bahkan jika mayoritas Kongres menentang pengesahan undang-undang serupa.

Dalam Laporan Risiko tahunan mereka, WEF membahas masalah informasi yang salah, dengan menyatakan: “Bahkan ketika penyebaran misinformasi dan disinformasi yang berbahaya mengancam kohesi masyarakat, ada risiko bahwa beberapa pemerintah akan bertindak terlalu lambat, menghadapi tarik-ulur antara mencegah misinformasi dan melindungi kebebasan berbicara. Sementara itu, pemerintah yang represif dapat menggunakan kontrol regulasi yang lebih ketat untuk mengikis hak asasi manusia.”

Asumsi yang mendasari adalah bahwa WEF mencari solusi global dengan menentukan keseimbangan yang tepat antara kebebasan dan pembatasan untuk memerangi misinformasi, terlepas dari perspektif masing-masing pemerintah atau konstituen mereka tentang kompromi yang tepat antara hak dan perlindungan.

WEF memuji upaya penyensoran yang ditingkatkan oleh Uni Eropa, dengan menyatakan, “Uni Eropa, misalnya, pada musim semi ini menyetujui undang-undang penting yang akan mengharuskan perusahaan teknologi besar untuk lebih ketat mengawasi platform mereka dari ujaran kebencian, disinformasi, dan materi berbahaya.” Mereka mendesak negara-negara lain untuk mengikuti contoh ini.

Kapitalisme pemangku kepentingan berpendapat bahwa pemilik perusahaan tidak boleh bebas mengambil keputusan tanpa meminta masukan dari pemerintah, masyarakat, dan pihak-pihak yang merasakan dampak dari tindakan perusahaan terhadap mereka. 

Lebih jauh lagi, paham ini menyatakan bahwa “keuntungan yang berlebihan” berkontribusi pada ketidaksetaraan. WEF seolah-olah akan menentukan ambang batas keuntungan yang berlebihan dan kemudian memutuskan distribusi yang lebih adil daripada membayar dividen kepada para pemegang saham.

Kapitalisme pemegang saham akan menjadi lonceng kematian bagi para pengusaha, karena para owner tidak lagi dapat merencanakan dan membuat keputusan untuk perusahaan mereka sendiri. Karena premis dasar dari teori bisnis WEF adalah bahwa perusahaan tidak boleh berfokus pada menghasilkan keuntungan, hasil dari keputusan pemangku kepentingan akan mendorong perusahaan ke dalam kerugian.

Jika WEF mencapai tujuannya, kita mungkin akan menemukan diri kita berada di dunia ID biometrik, menghadapi potensi penuntutan karena melanggar pembatasan yang diberlakukan WEF pada pertanian. Perusahaan-perusahaan akan memaksakan agenda pemerintah, menghindari parlemen. Selain itu, WEF akan mendikte seberapa besar kebebasan pers yang seharusnya kita miliki dan seberapa besar keuntungan yang harus diperoleh pengusaha. (asr)

Antonio Graceffo, Ph.D., adalah seorang analis ekonomi Tiongkok yang telah menghabiskan lebih dari 20 tahun di Asia. Bapak Graceffo adalah lulusan Universitas Olahraga Shanghai, meraih gelar MBA Tiongkok dari Universitas Shanghai Jiaotong, dan saat ini mempelajari pertahanan nasional di Universitas Militer Amerika. Dia adalah penulis “Beyond the Belt and Road: China’s Global Economic Expansion” (2019).