Dari Terpilihnya Lai Ching-te Menelaah “Mimpi Taiwan” dan “Mimpi Tiongkok”

Yuan Bin

“Jika di Tiongkok, dan Anda adalah putra dari seorang pekerja tambang, ayah meninggal di usia dini, ibu harus membesarkan 6 anak seorang diri. Perkirakan apa karir Anda sekarang? Benar, di sejumlah tempat, Anda bisa saja menjadi presiden!” Ini adalah postingan seorang warganet pada situs Weibo (di daratan) Tiongkok, setelah mengetahui William Lai Ching-te terpilih sebagai Presiden Republik Tiongkok (Taiwan) yang ke-16.

Tidak perlu dipertanyakan lagi, yang ia maksudkan dengan “di sejumlah tempat” itu adalah di Taiwan, dan “putra seorang pekerja tambang” yang bisa menjadi presiden yang dimaksud adalah Lai Ching-te. Dalam pemilu primer internal Partai Progresif Demokrat (DPP) pada 2019 ketika persaingan antara Tsai dan Lai begitu sengit, Lai Ching-te diwawancarai televisi dan ditanya soal julukan “cucu emas Taiwan” yang diberikan padanya, Lai Ching-te pun menjawab, “Saya tidak pernah merasa cucu emas, karena saya dilahirkan di keluarga miskin, masa kecil saya tidak makan dengan menggunakan sendok emas.”

Lai Ching-te Memang Benar Dilahirkan dari Keluarga Miskin 

Penulis sempat secara khusus memeriksa riwayat hidup Lai Ching-te, dan ia dilahirkan di sebuah keluarga pekerja tambang, serta sejak kecil ia tumbuh dewasa di kawasan kumuh. 

Pada usia 2 tahun, ayahnya meninggal dunia akibat kecelakaan. Setelah itu sang ibu seorang diri harus membesarkan 6 anaknya, bahkan berhasil mendidik Lai Ching-tee menjadi pelajar teladan di National Taiwan University dan Harvard University. Setelah lulus dari perguruan tinggi, Lai Ching-te menjadi dokter. 

Kemudian, ia terjun ke dunia politik setelah ia menjadi penyelenggara umum Asosiasi Dukungan Dokter Nasional tim kampanye Chen Ding-nan saat mencalonkan diri sebagai Gubernur Taiwan, ia lebih dulu menjabat sebagai perwakilan Majelis Nasional, anggota legislatif, Walikota Tainan, Perdana Menteri (kepala kabinet), dan terakhir sebagai Wakil Presiden Republik Tiongkok (Taiwan).

Di medsos X (dulu Twitter) luar negeri beredar perkenalan diri William Lai Ching-te dalam ajang kampanye pemilu, ia menjelaskan dirinya adalah putra seorang pekerja tambang dan bangga dengan latar belakangnya tersebut. 

Sebenarnya, yang memiliki latar belakang dan kehidupan seperti ini bukan hanya Lai Ching-te seorang. Presiden Republik Tiongkok yang ke-10 dan ke-11 yakni Chen Shui-bian juga berasal dari keluarga miskin, dilahirkan di Desa Guantian Kabupaten Tainan di sebuah keluarga petani yang miskin, status keluarganya tergolong keluarga miskin kelas 3, yaitu paling miskin di antara yang miskin. Kali ini setelah hasil pemilu presiden Taiwan dirilis, latar belakang Lai Ching-te membuat banyak warga (daratan) Tiongkok merasa sangat tersentuh.

Seorang warganet berkata, “Lai Ching-te terpilih sebagai pemimpin Taiwan, saya merasa tak ada yang istimewa, tidak senang juga tidak terkejut, karena siapa pun sama saja. Saya terkejut, karena ayahnya adalah seorang pekerja tambang batu bara biasa, yang hanya menggali batu bara, dan tidak ada latar belakang apapun. Itu pun belum seberapa, di usia 2 tahun ia telah kehilangan ayahnya, 6 orang bersaudara dibesarkan ibunya seorang diri, bahkan bisa mendidiknya sampai menjadi dokter. Di generasi kami ada yang memiliki 3-4 bersaudara, ada pula sampai 6-7 bersaudara, tapi banyak di antaranya yang meninggal karena kelaparan, sakit, atau meninggal di usia muda; banyak juga saudara seusia yang dijual karena orang tuanya tidak sanggup membesarkannya, seorang wanita mampu membesarkan 6 anak, beban seberat ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan ‘rajin’ saja. Terlebih lagi berhasil mendidiknya menjadi mahasiswa, apalagi seorang mahasiswa kedokteran. Saat ini bagi kita sekolah kedokteran sangat menguras biaya dan waktu. Poin pentingnya adalah, jika Taiwan tidak memberikan jaminan kehidupan bagi setiap keluarga, diperkirakan Lai Ching-te paling-paling hanya akan mewarisi profesi ayahnya, yakni menjadi pekerja tambang setelah tamat sekolah menengah.”

Ada pula warganet yang berkata, “Membesarkan 6 anak, sama sekali tidak mungkin dilakukan tanpa adanya sistem pengobatan yang baik dan jaminan sosial yang baik. Sekarang di Dinasti Langit (maksudnya: RRT, Red.) memeriksakan demam saja susah, sedikitnya 800-900, jika tidak jangan coba-coba ke rumah sakit.” Seorang influencer medsos menulis di Weibo, “Seorang anak dari keluarga pekerja tambang dibesarkan orang tua tunggal, setelah berhasil menjadi dokter lalu meninggalkan profesinya dan terjun ke politik selama 30 tahun, yang memulai karir dari perwakilan akar rumput hingga anggota legislatif, sampai wakil presiden, sampai terpilih menjadi ‘presiden’, tanpa bicara soal pendirian politiknya, ada semacam rasa alam semesta paralel yang tidak nyata.”

Mengapa “ada semacam rasa alam semesta paralel yang tidak nyata”? 

Karena sama-sama etnis Tionghoa, tapi yang hidup di Taiwan dengan yang hidup di daratan Tiongkok boleh dibilang mengalami nasib yang sangat berbeda.

Di Tiongkok hari ini, kekuasaan sepenuhnya dimonopoli oleh kaum elite Merah (PKT), yang kelasnya sudah ditetapkan. Sesepuh PKT Chen Yun (salah satu pemimpin paling berpengaruh di RRT 1980-an dan 1990-an. Red.) pernah mengatakan: “Sepertinya anak keturunan kita lebih bisa diandalkan, dan tidak akan menggali kubur leluhurnya sendiri.” Ia mengeklaim, “Tanah air ini adalah hasil perjuangan kita, dan oleh karena itu pula seharusnya yang mewarisi tanah air ini adalah keturunan kita.” 

Ia juga menyebutkan, satu keluarga petinggi PKT setidaknya harus ada satu orang penerus kekuasaan, dan gerakan ini mendapat persetujuan dari Deng Xiaoping. Maka berdasarkan maksud Chen dan Deng, Departemen Organisasi Komite Pusat RRT menerbitkan dokumen yang menjadi kebijakan resmi: setiap keluarga petinggi PKT akan ada satu orang yang diatur menjadi kader pejabat, sedangkan selebihnya meraup kekayaan “di masyarakat”, para pejabat daerah pun menirunya, dan berpatokan pada kebijakan ini. Maka di Tiongkok dari atas sampai ke bawah terbentuklah kelompok elite milik keluarga yang dipimpin oleh beberapa keluarga besar tertentu dan menjadi kompleks, yang memonopoli dan mewarisi turun temurun kekuasaan politik seluruh negeri. Para princelings atau keturunan pejabat generasi kedua dan ketiga PKT yang tidak kebagian jabatan di pemerintahan, akan berbisnis dan menjadi konglomerat, yang menguasai hampir semua urat nadi perekonomian negara.

Keturunan dari kelas bawah seperti Willliam Lai Ching-te, di Tiongkok saat ini sama sekali tak mungkin dapat memasuki masyarakat kelas atas, terlebih lagi tidak mungkin menjadi pemimpin negara, mayoritas dari mereka hanya akan menjadi korban yang diperas dan ditindas, menjadi pekerja tambang atau budak, mungkin pemungut sampah, mungkin juga menjadi pengantar gofood bekerja kelelahan sampai mati, mungkin terbunuh karena membela HAM, mungkin juga bernasib seperti Yang Gailan (karena himpitan ekonomi, seorang ibu muda di Provinsi Gansu membunuh 4 anaknya yang kemudian bunuh diri pada 2016. Red.) atau menjadi kaum papa yang dihidupi negara. Kaum yang beruntung dengan jumlah teramat kecil, bisa menjadi ketua distrik saja sudah sangat beruntung.

Dengan kata lain, legenda kehidupan Lai Ching-te hanya mungkin terjadi di Taiwan, dan tak akan mungkin bisa terjadi di daratan Tiongkok. Seperti seorang warganet yang menyesali, “Pada masyarakat yang beradab terdapat kesetaraan dan penghormatan pada orang lain, putra seorang pekerja tambang pun bisa menjadi presiden. Sementara itu di negara PKT, bisakah mempunyai kesempatan ‘melayani rakyat’, harus melihat reinkarnasi berikutnya.” “Negara yang tidak memiliki surat suara: Naga melahirkan naga, burung Hong (fenghuang = burung mitologi Tiongkok, red.) melahirkan burung Hong, putra pekerja tambang menggali lubang. Namun Lai Ching-te, putra seorang pekerja tambang, telah terpilih menjadi Presiden Republik Tiongkok. Surat suara: dapat membuat ayam cemani berubah menjadi burung Hong.”

Ada yang Bertanya Apa itu “Mimpi Taiwan”? Apa Pula “Mimpi Tiongkok”?

Lai Ching-te terpilih menjadi presiden adalah sebuah jawaban yang sangat jelas.

Apa itu “mimpi Taiwan” (Taiwan dream, red.)? Yaitu mimpi akan kesetaraan dan keadilan, yakni mimpi indah dimana warga dapat hidup dengan penuh martabat.

Apa itu “mimpi Tiongkok” (China dream, red.) di bawah kekuasaan PKT? Itu adalah mimpi dimana kekuasaan menguasai segalanya, yakni mimpi indah para keluarga Merah. Bagi masyarakat luas Tiongkok, mimpi seperti itu hanya merupakan sebuah mimpi buruk yang sesungguhnya! (sud/whs)