Bentrokan Meletus di Perbatasan Armenia–Azerbaijan, Mempertaruhkan Perundingan Damai

Adam Morrow

Kekerasan lintas batas antara Armenia dan Azerbaijan kembali meletus pada minggu ini, setelah beberapa bulan hubungan antara musuh regional yang sudah lama berlangsung relatif tenang.

Pada 13 Februari, Kementerian Pertahanan Armenia mengatakan empat tentaranya tewas—dan beberapa lainnya terluka—ketika pos perbatasan mereka diserang oleh pasukan Azerbaijan.

Menurut kementerian Armenia, insiden mematikan terjadi di dekat desa perbatasan Nerkin Hand di provinsi Syunik selatan Armenia.

Dalam unggahan di media sosial, Edmon Marukyan, duta besar Kementerian Luar Negeri Armenia, menuduh Azerbaijan “melanjutkan agresi ilegal  tidak beralasan terhadap Republik Armenia.”

Pihak  Azerbaijan sejak itu mengonfirmasi insiden tersebut, yang digambarkan sebagai “operasi pembalasan” yang dilancarkan sebagai respon atas tembakan lintas batas sebelumnya yang dilakukan pasukan Armenia yang melukai seorang tentara Azerbaijan.

“Sebagai akibat dari operasi tersebut, pos tempur militer Armenia di dekat pemukiman Nerkin Hand, tempat tentara kami ditembaki kemarin [12 Februari], hancur total,” kata Lembaga Perbatasan Negara Azerbaijan dalam sebuah pernyataan.

“Provokasi” lebih lanjut yang dilakukan Armenia akan ditanggapi dengan “tindakan tegas,” tambahnya.

Menurut kementerian pertahanan Azerbaijan, pasukan Armenia melepaskan tembakan ke posisi Azerbaijan di distrik Tovuz barat laut—kira-kira 400 mil sebelah utara Nerkin Hand—pada malam 12 Februari. Yerevan, pada bagiannya, membantah pernyataan Baku.

The Epoch Times tidak dapat memverifikasi secara independen klaim yang dibuat oleh kedua belah pihak.

Insiden ini adalah yang pertama sejak akhir tahun lalu ketika kedua pihak yang bermusuhan sejak lama mulai mengadakan perundingan damai yang bertujuan mengakhiri permusuhan kedua negara selama tiga dekade.

Konflik Pasca-Soviet

Azerbaijan dan Armenia, keduanya bekas republik sosialis Soviet, kan tetapi menjadi musuh bebuyutan sejak runtuhnya Uni Soviet pada awal tahun 1990an.

Pada 1994, kelompok separatis Armenia—yang didukung oleh militer Armenia—merebut kendali wilayah pegunungan Nagorno-Karabakh, beserta wilayah sekitarnya.

Meskipun sebagian besar wilayah Nagorno-Karabakh dihuni oleh etnis Armenia, wilayah tersebut diakui secara internasional sebagai bagian dari Azerbaijan.

Pada  2020, kedua negara terlibat perang besar terkait Nagorno-Karabakh yang berakhir dengan perjanjian gencatan senjata yang ditengahi Moskow.

Konflik enam minggu tersebut membuat Azerbaijan menguasai wilayah tersebut, beserta wilayah sekitarnya.

Armenia adalah anggota lama Organisasi Perjanjian Keamanan Kolektif, sebuah blok keamanan beranggotakan enam negara  yang dipimpin oleh Rusia.

Namun Moskow juga menjaga hubungan baik dengan Baku, yang memungkinkannya memainkan peran mediasi antara kedua negara Kaukasus Selatan tersebut.

September lalu, Azerbaijan melancarkan serangan militer yang berhasil menetralisir kelompok separatis Armenia yang berbasis di Karabakh dan menjadikan wilayah tersebut berada di bawah kendali penuhnya.

Serangan 24 jam tersebut,  juga berakhir dengan gencatan senjata yang ditengahi Moskow, menyebabkan puluhan ribu warga etnis Armenia di wilayah tersebut mengungsi ke negara tetangga Armenia.

Sejak itu, Baku dan Yerevan berupaya mencapai kesepakatan damai yang pasti—dengan bantuan Rusia—yang bertujuan untuk mengakhiri perselisihan yang telah berlangsung selama puluhan tahun.

Kedua  pihak mengatakan mereka menginginkan perdamaian tetapi masih belum sepakat mengenai berbagai isu, termasuk demarkasi perbatasan sepanjang sekitar 620 mil.

Baku juga ingin membangun koridor transportasi melalui wilayah Armenia, menghubungkan Azerbaijan dengan eksklave Nakhchivan, yang terletak di antara Iran dan Turki.

Armenia bersikeras mempertahankan kendali penuh atas semua jaringan transportasi yang melintasi wilayahnya.

‘Pukulan Serius’ terhadap Prospek Perdamaian

Dalam beberapa bulan terakhir, perbatasan kedua negara yang dijaga ketat militer masih tetap tenang.

Namun demikian, perundingan perdamaian terus gagal, dan kedua belah pihak saling menuduh satu sama lain berusaha menyabotase proses diplomatik yang penuh tantangan.

Menyusul bentrokan perbatasan terbaru, Kementerian Luar Negeri Armenia menuduh Baku “mencari alasan  meningkatkan eskalasi” untuk menggagalkan perundingan perdamaian.

“Kepemimpinan Azerbaijan secara konsisten berusaha menggagalkan upaya mereka yang mencoba meningkatkan stabilitas dan keamanan Kaukasus Selatan dengan maksud untuk melanjutkan perundingan [perdamaian],” katanya dalam sebuah pernyataan.

Kementerian Luar Negeri Azerbaijan menyebut kejadian kekerasan lintas batas terbaru ini sebagai “pukulan serius” terhadap proses perdamaian yang sudah rapuh.

Baku, katanya, “berkomitmen terhadap proses perdamaian dan menyerukan pihak Armenia menahan diri dari eskalasi militer yang akan membahayakan upaya  mencapai tujuan tersebut.”

Moskow  telah mendesak kedua belah pihak untuk menahan diri semaksimal mungkin agar tidak semakin membahayakan proses perdamaian.

“Kami menyerukan kedua belah pihak  menghindari tindakan apa pun yang dapat dianggap provokatif,” kata juru bicara Kremlin Dmitry Peskov pada 13 Februari.

Gejolak yang terjadi di perbatasan baru-baru ini, katanya kepada wartawan, “tidak memajukan proses [perdamaian], juga tidak membawa kita lebih dekat pada penandatanganan perjanjian damai.”

Moskow, tambahnya, “akan terus memantau situasi dengan cermat sambil tetap menjalin kontak dengan kedua belah pihak.”

Reuters berkontribusi pada laporan ini.