Tiongkok Masih Terjebak dalam Deflasi Meski Sudah Mencetak Uang Sebanyak RMB.54 Triliun, Ke Mana Dana itu ?

 oleh Chang Chun

Dalam beberapa tahun terakhir, Beijing terus mencetak uang dalam jumlah besar untuk merangsang perekonomian. Namun indeks harga konsumen (IHK) nasional masih saja menurun dari tahun ke tahun, dan meningkatkan tekanan deflasi. Para ahli percaya bahwa tingkat keparahan dari penurunan permintaan domestik Tiongkok mungkin jauh di luar prediksi dunia luar.

Data terbaru yang baru dirilis oleh Biro Statistik Nasional Tiongkok menunjukkan bahwa pada  Januari 2024, Indeks Harga Konsumen (IHK) nasional menurun 0,8% Y0Y, yang merupakan penurunan terbesar dalam 14 tahun terakhir. Namun, mengingat data yang dirilis otoritas Tiongkok selalu kurang valid, diyakini situasi sebenarnya mungkin jauh lebih buruk.

Data statistik menunjukkan bahwa harga pangan bulan Januari tahun ini turun sebesar 5,9% YOY. Faktor utama pendorong penurunan IHK di antaranya adalah harga daging babi, sayuran, dan buah-buahan segar yang masing-masing turun sebesar 17,3%, 12,7% dan 9,1%.

Ada pun hal yang menarik dari data resmi tersebut adalah, saldo jumlah uang beredar (M2) Tiongkok pada akhir tahun 2023 adalah RMN.292,27 triliun. Saldo M2 akhir tahun 2022 adalah RMB.266,43 triliun. Dan saldo M2 akhir tahun 2021 adalah RMB.238,29 triliun.

Dengan kata lain, Partai Komunis Tiongkok telah mengeluarkan sejumlah besar mata uang tambahan antara tahun 2021 hingga 2023. Jadi jumlah uang beredar (M2) Tiongkok telah bertambah sekitar RMB.54 triliun dalam 2 tahun terakhir.

Dalam hal ini, kolumnis Epoch Times Wang He mengatakan, bahwa sistem keuangan Tiongkok sangat berbeda dengan sistem keuangan Barat. Sudah sejak lama Beijing mengandalkan uang beredar dalam jumlah besar untuk merangsang pertumbuhan ekonomi. M2 mereka bisa mencapai 2 kali lipat PDB Tiongkok. Sedangkan M2 Amerika Serikat hanya 80% atau 90% dari PDB-nya. Terutama sejak tahun 2022 di mana kekacauan melanda perekonomian Tiongkok, otoritas komunis Tiongkok semakin gencar mencetak uang untuk mengurangi rasio cadangan bank.

Wang He mengatakan : “Namun pada kenyataannya, uang yang dicetak dan diedarkan ke pasar itu tidak mendorong perbaikan ekonomi Tiongkok, kecuali menganggur dalam sistem keuangan karena tidak masuk ke perekonomian riil.”

Data statistik resmi Tiongkok menunjukkan bahwa jumlah tambahan pinjaman baru pada akhir tahun 2023 tercatat sebesar RMB.22,75 triliun, dan jumlah tambahan simpanan baru tercatat sebesar RMB.25,74 triliun. Artinya, jumlah simpanan melebihi jumlah pinjaman.

Wang He yakin bahwa hal ini menunjukkan bahwa sejumlah besar dana itu cuma “ganti baju” dan tetap mengendap pada sistem keuangan, tetapi tidak memasuki perekonomian riil.

“Saat ini, baik perusahaan, perbankan, bahkan investor asing telah kehilangan kepercayaan terhadap perekonomian Tiongkok. Tanpa kepercayaan ini, uang yang berada di tangan juga tidak akan dibelanjakan. Jadi efek dan kebijakan moneter PKT mencetak uang untuk menambah uang beredar (M2) sampai lebih dari RMB.50 triliun dalam 2 tahun terakhir ternyata tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Yang berarti seluruh kebijakan keuangan dan ekonomi Tiongkok itu sudah tidak berfungsi,” katanya.

Selain itu, Wang He juga menyebutkan bahwa pendapatan masyarakat Tiongkok pada umumnya menurun sehingga mereka sangat berhati-hati dalam membelanjakan uang. Meskipun ada sebagian kecil orang berduit, tetapi mereka tidak ingin membelanjakan uangnya. Dalam situasi seperti itu, tingkat konsumsi pasti menurun sehingga harga tidak bisa naik.

Wang He mengatakan : “Hal ini menunjukkan bahwa seluruh perekonomian Tiongkok telah memasuki kondisi kontraksi. Ini adalah hal yang sangat buruk. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa perekonomian Tiongkok saat ini sudah berada dalam tahap menyusut. Ingat ! ini data resmi lho ! Situasi yang sebenarnya mungkin lebih buruk lagi.”

Dunia luar telah memperhatikan fakta bahwa Beijing mengeluarkan sejumlah besar mata uang renminbi, namun tidak terjadi kenaikan harga barang di pasar yang biasa akan muncul dalam kondisi normal, melainkan harga barang menurun sebagaimana gejala deflasi.

Sejak tahun lalu, Indeks Harga Konsumen Tiongkok telah menunjukkan tren penurunan dari tahun ke tahun, yang menyoroti meningkatnya tekanan deflasi.

Pakar keuangan Taiwan Edward Huang mengatakan : “Jika uang sebanyak itu diguyurkan ke pasar, masuk akal jika harga barang-barang naik. Namun, situasi yang diharapkan tidak terjadi, malahan sebaliknya. Hal ini memberitahu kita bahwa perekonomian Tiongkok telah memasuki situasi deflasi mirip sekali yang dialami Jepang pada akhir tahun 1990-an”.

Edward Huang mengatakan bahwa ketika Jepang mengalami resesi ekonomi, ia juga mencetak uang dalam jumlah besar, mata uang yen mengalami depresiasi terus-menerus, suku bunga terus menurun, dan harga barang anjlok karena pembeli berkurang. Kini perekonomian Tiongkok menunjukkan tanda-tanda seperti itu, dan situasinya sangat serius.

“Akibat terus mencetak uang adalah menciptakan situasi deflasi, saya khawatir hal ini memberitahu kita bahwa masalah perekonomian Tiongkok ternyata jauh lebih serius daripada yang kita bayangkan,” kata Edward Huang.

Selain itu, data statistik resmi Tiongkok juga mengungkapkan bahwa indeks harga produsen industri (PPI) nasional Januari tahun ini juga turun baik dibandingkan dari bulan ke bulan maupun dari tahun ke tahun. Turun 0,2% MOM dan 2,5 % YOY. (sin)