Penilaian dan Angan-Angan IMF Terhadap Perekonomian Tiongkok

Roger Garside

Pada awal  2007, Perdana Menteri Tiongkok saat itu Wen Jiabao pernah mengutarakan : “Pertumbuhan ekonomi Tiongkok tidak stabil, tidak ada keseimbangan, tidak dikoordinasikan dengan baik sehingga tidak akan berkelanjutan.”

Peringatan mengerikan Wen Jiabao itu sempat mengejutkan banyak pakar asing urusan Tiongkok. Meskipun Dana Moneter Internasional (IMF) dalam laporan tahunannya yang dirilis baru-baru ini mengakui, bahwa betapa tepatnya penilaian Wen Jiabao pada saat itu.

Diagnosis IMF terhadap permasalahan ekonomi Tiongkok sangat tajam, usulan solusi untuk mencegah krisis juga luar biasa, dan peringatan IMF mengenai risiko kerugian jika solusi tersebut tidak dilakukan sangat tepat.

Namun, apakah solusi yang diusulkan IMF efektif?

Sebelum menjawab pertanyaan ini, pertama-tama kita perlu meninjau terlebih dahulu masalah ekonomi yang paling mungkin membawa konsekuensi politik yang serius bagi rezim komunis Tiongkok, yakni krisis fiskal pemerintah daerah Tiongkok.

Dana Moneter Internasional (IMF) dengan istilah yang samar menggambarkan kesulitan ekonomi yang dihadapi rezim Beijing. Sebelum pecahnya krisis industri real estate pada 2021 – 2022, 40% pendapatan pemerintah daerah berasal dari penjualan tanah kepada perusahaan pengembang. Namun sekarang, penjualan tersebut telah anjlok. IMF memperingatkan : “Permintaan terhadap perumahan baru dalam 10 tahun ke depan diperkirakan akan turun hampir 50% … Di beberapa daerah, penyesuaiannya mungkin lebih besar.”

Lebih lanjut, “Tingkat pembangunan perumahan baru dalam 10 tahun ke depan masih berada di bawah kebutuhan dasar perumahan, karena sebagian dari permintaan masih dapat dipenuhi oleh rumah yang pembangunannya terbengkalai, atau rumah selesai dibangun yang masuk kelebihan persediaan, dan rumah kosong pembelian investasi yang ditawarkan lewat pasar sekunder”. Dengan demikian berarti, bahwa di masa mendatang, prospek penjualan tanah sebagai sumber pendapatan pemerintah daerah nyaris redup.

Runtuhnya sumber pendapatan ini juga menimbulkan masalah lain, yaitu pemerintah daerah jadi harus sangat bergantung pada pembiayaan utang. Dana Moneter Internasional mencatat : “Kecuali pemerintah daerah beberapa provinsi kaya, sebagian besar pemerintah daerah provinsi di Tiongkok sudah memiliki utang yang berada jauh di atas patokan resmi 60% PDB-daerah …. Celakanya, model bisnis pemerintah daerah dalam banyak kasus adalah yang tidak berkelanjutan, lantaran tidak memiliki dana operasional”.

Banyak pemerintah daerah pada dasarnya berada dalam situasi utang lebih besar daripada modal alias berstatus bangkrut. Julien Garran, mitra di perusahaan teknologi “Micro Strategy” yang berbasis di Virginia, telah menunjukkan bahwa rezim komunis Tiongkok sudah tidak mampu lagi memberikan dana talangan kepada pemerintah daerah karena masalahnya terlalu besar : Ia memperkirakan bahwa masalahnya melebihi 100% PDB-nya. Pemerintah juga tidak dapat menyelesaikan masalah ini melalui inflasi, karena hal ini dapat membahayakan kemampuan mata uang renminbi.

Pemerintah daerah terpaksa menggunakan skema Ponzi, sejenis penipuan keuangan untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka. Ketika program-program ini menemui jalan buntu (karena rata-rata jatuh tempo utang LGFV (Local Government Financing Vihicle) atau Alat Pembiayaan Pemerintah Daerah adalah sekitar 3 tahun, mereka akan memberhentikan karyawan, menutup layanan, menghentikan proyek infrastruktur, dan menemui kegagalan dalam membayar kembali dana kepada pemegang obligasi mereka. Selain itu, deposan di bank-bank kecil tidak dapat menarik kembali simpanan mereka, investor produk keuangan yang berkaitan dengan pembiayaan pemerintah daerah akan kehilangan modalnya, perusahaan-perusahaan yang mengandalkan pembiayaan pemerintah daerah akan bangkrut, pengangguran akan meningkat tajam, dan berbagai permasalahan akan menyusul.

Apakah rezim komunis Tiongkok tidak mampu mencegah terjadinya hal ini ? 

Dana Moneter Internasional (IMF) telah mengusulkan beberapa solusi teknokratis untuk mengatasi berbagai masalah dalam perekonomian Tiongkok yang dapat diterapkan dalam kerangka politik Partai Komunis Tiongkok saat ini. 

Selain itu juga mengusulkan tindakan-tindakan lain yang berada di luar kerangka ini. IMF berusaha menutupi niat mereka dengan nada tenang, namun siapa pun yang jeli dapat melihat bahwa ada sifat politik yang kuat di balik beberapa langkah yang direkomendasikan.

Rekomendasi yang paling penting di antaranya adalah privatisasi perusahaan milik negara, penggantian rencana negara dengan kekuatan pasar, perdagangan bebas, dan menghentikan perlindungan perusahaan Tiongkok dari persaingan asing, dan lainnya. PKT tidak pernah sepenuhnya menerima rekomendasi-rekomendasi ini, karena tidak ada keraguan bahwa rekomendasi tersebut akan melemahkan monopoli kekuasaan politik PKT.

Ada yang berpendapat bahwa kebijakan-kebijakan ini juga dapat dilaksanakan tanpa perubahan politik yang sistemik, tapi itu  sebenarnya hanyalah khayalan belaka. Kasihan kepada para penulis laporan ini, karena kerangka acuan Dana Moneter Internasional bahkan tidak mengizinkan mereka menyebutkan perlunya perubahan politik di Tiongkok.

Meskipun semua orang tahu bahwa “satu-satunya harapan keselamatan Tiongkok adalah revolusi politik”, tetapi Dana Moneter Internasional (IMF) tidak berani menyatakan hal ini secara terbuka, dan sebagian besar komentator asing juga bersikap wait and see.

Namun demikian, apa yang akan terjadi tidak bisa dihindari. Seiring dengan berjalannya skema Ponzi, krisis pendanaan di pemerintah daerah juga akan semakin parah. Setelah 3 hingga 5 tahun, warga sipil Tiongkok akan kehilangan simpanan mereka di bank, investor kehilangan modal, pengusaha yang kehilangan keuntungan perusahaan, para pekerja yang kehilangan pekerjaan dan tidak memiliki tunjangan hidup yang memadai. Mereka yang diliputi oleh amarah berpotensi menjadi sumber kerusuhan yang bakal terjadi di mana-mana, petugas keamanan negara pun tidak mampu mengatasi situasi ini, karena yang kehilangan simpanan hasil kerja keras mereka juga termasuk para tentara, polisi, dan aparat keamanan.

Belasan tahun silam, rakyat Tiongkok telah memberi toleransi kepada rezim yang kuat secara politik namun terus meningkatkan taraf hidup masyarakatnya, namun mereka tidak akan mentolerir pemerintahan otoriter yang membuat masyarakatnya menjadi miskin. 

Selama beberapa dekade, elit penguasa Tiongkok sepakat dengan pandangan Wen Jiabao bahwa pertumbuhan ekonomi Tiongkok tidak stabil, tidak ada keseimbangan, tidak dikoordinasikan dengan baik sehingga tidak akan berkelanjutan. Namun senang lantaran bisa mengambil keuntungan darinya. Oleh karena itu, mereka menilai bahwa, harapan terbaik untuk mempertahankan sisa kekayaan dan kekuasaan, serta menyelamatkan negara mereka adalah dengan memimpin gerakan reformasi.

Para elit penguasa ini akan memobilisasi massa yang marah, menuntut kebebasan pers untuk meminta pertanggungjawaban Partai Komunis Tiongkok, menuntut peradilan yang independen untuk membela hak-hak mereka, dan menuntut agar militer, polisi, dan dinas keamanan untuk bersetia kepada negara dan rakyat, bukan kepada pemilik kepentingan, partai politik. 

Singkatnya, sebuah revolusi politik yang dipimpin oleh elit penguasa segera akan tiba.

Roger Garside, mantan diplomat Inggris di Tiongkok, pakar masalah Tiongkok, bankir pembangunan terkenal dan konsultan pasar modal, penulis “China Coup : The Great Leap to Freedom, 2021, dan “Coming Alive : China After Mao (1981)”.

Artikel original : IMF on China’s Economic : True Diagnosis, Fantasy Treatment, and Then What ?