Media Inggris Bongkar Rahasia Rusia yang Menggelar  Latihan Senjata Nuklir untuk Menghadapi PKT

Dalam hubungan internasional, Tiongkok dan Rusia tampaknya bersahabat seperti “saudara angkat” dan bersama-sama berperang melawan dunia demokrasi Barat. Namun demikian, bocornya dokumen rahasia militer terbaru menunjukkan bahwa militer Rusia telah melakukan pelatihan untuk berbagai skenario agresi Tiongkok, termasuk latihan penggunaan senjata nuklir taktis

Wang Ziqi/Yi Ru/Zhong Yuan

Tahun ini menandai peringatan 75 tahun terjalinnya hubungan diplomatik antara Tiongkok dan Rusia. Dari  26 hingga 27 Februari, dalam rangka peringatan kedua Perang Rusia-Ukraina, Sun Weidong, Wakil Menteri Luar Negeri Partai Komunis Tiongkok, langsung ke Rusia untuk mengadakan Konsultasi Wakil Menteri Luar Negeri Tiongkok-Rusia. 

Sun Weidong menyatakan bahwa hubungan Tiongkok-Rusia berada pada periode terbaik dalam sejarah, mereka perlu memperkuat komunikasi dan koordinasi dalam urusan Asia-Pasifik.

Financial Times melaporkan pada  28 Februari, berdasarkan 29 dokumen rahasia yang bocor, bahwa militer Rusia telah melakukan latihan untuk menggunakan senjata nuklir taktis pada tahap awal konflik dengan kekuatan dunia, termasuk Partai Komunis Tiongkok.

File militer Rusia ini dibuat dari 2008 hingga 2014. Para ahli yang telah melihat dan memverifikasi dokumen tersebut menunjukkan bahwa ambang batas penggunaan senjata nuklir taktis yang diungkapkan dalam dokumen tersebut lebih rendah dari apa yang sebelumnya diakui secara publik oleh Rusia. Meskipun dirumuskan satu dekade lalu, doktrin ini tetap penting bagi doktrin militer Rusia saat ini.

Dokumen-dokumen ini mengungkapkan kecurigaan Moskow terhadap Beijing, terlepas dari kenyataan bahwa Rusia dan Tiongkok telah berjanji pada  2001 untuk tidak menjadi yang pertama menggunakan senjata nuklir terhadap satu sama lain. Distrik militer timur Rusia telah melatih berbagai skenario invasi Komunis Tiongkok. Latihan ini memberikan wawasan tentang bagaimana Rusia melatih pasukannya untuk menggunakan senjata nuklir dalam serangan pertama dalam kondisi medan perang tertentu. Salah satu latihan menunjukkan bahwa Rusia dapat merespons dengan serangan nuklir taktis untuk menghentikan gelombang kedua invasi Tiongkok.

Yao-Yuan Yeh, ketua profesor studi internasional di Universitas St. Thomas di Amerika Serikat, mengatakan bahwa secara historis, Tiongkok dan Rusia selalu memiliki perselisihan teritorial. Meskipun hubungan bilateral telah semakin dalam, bukan berarti hubungan mereka akan selalu baik-baik saja.

 “Sebagai contoh, ketika perang Ukraina-Rusia berlangsung, Rusia mengerahkan sebagian besar kemampuan militernya ke Ukraina, yang menghasilkan pertahanan yang relatif lemah di Siberia. Apakah mungkin pintu akan dibiarkan terbuka lebar untuk tingkat agresi Tiongkok tertentu? Skenario seperti itu bukan tidak mungkin,” ujarnya.

Shen Mingshi, peneliti dan direktur Institut Penelitian Keamanan Pertahanan Nasional Taiwan, mengatakan bahwa berita ini tidak mengejutkan. Hubungan antara Tiongkok dan Rusia didasarkan pada kepentingan bersama.

Shen Mingshi juga mengatakan sejak Xi Jinping berkuasa pada  2012, dia selalu menekankan bahwa Tiongkok kuat dan terus memperluas kedaulatan teritorialnya. Oleh karena itu, Amerika Serikat telah memulainya menganggap Tiongkok sebagai kekuatan yang sedang meningkat.  Sekarang dikarenakan Rusia menginvasi Ukraina, Rusia memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap NATO dan Eropa, sehingga tampaknya Amerika Serikat kini menghadapi dua musuh bersama.”

Shen Mingshi menilai bahwa hanya ketika kepentingan bersama sudah tidak ada lagi, barulah ada kemungkinan konflik antara Rusia dan Tiongkok.

Shen Mingshi menjelaskan kerja sama strategis antara Tiongkok dan Rusia saat ini sangat erat, bahkan lebih erat dibandingkan negara-negara yang  menandatangani perjanjian aliansi. Tentu saja, ini adalah pernyataan yang terdengar sangat muluk-muluk. Pada dasarnya kedua negara tidak akan membentuk aliansi. Pasalnya, jika kedua negara telah membentuk aliansi, maka sekarang Tiongkok semestinya mengirimkan pasukan untuk ikut serta dalam perang Rusia di Ukraina. Saya dapat membantu Anda dalam keadaan yang menguntungkan, tetapi jika tidak baik bagi saya,  saya tidak mau terlibat dalam perang denganmu.”

Ye Yaoyuan mencontohkan, Tiongkok dan Rusia tidak saling percaya, terutama nilai-nilai bersama yang dibangun di antara para diktator yang sebenarnya sangat rapuh.

“Ini tidak seperti Eropa dan Amerika Serikat. Mereka berkomunikasi satu sama lain melalui nilai-nilai demokrasi. Bukan hanya karena para pemimpinnya memiliki nilai-nilai tersebut, tetapi masyarakat juga memiliki nilai-nilai tersebut. Jadi dalam hal kebijakan luar negeri,  menjadi lebih mudah bagi kedua belah pihak untuk bekerja sama. Bahkan ketika seorang diktator menghadapi kesulitan, dia akan meninggalkan nilai-nilai bersama tersebut. Dia sama sekali tidak peduli apakah mitra kerja samanya adalah negara demokratis atau negara diktator,” katanya.

Albeck dari International Institute for Strategic Studies (IISS) menunjukkan bahwa meskipun Moskow memiliki hubungan yang lebih dekat dengan Beijing setelah perang, Moskow terus memperkuat pertahanan timurnya dan banyak dari sistem persenjataan ini memiliki jangkauan yang hanya dapat menyerang Tiongkok.

Namun demikian, Partai Komunis Tiongkok mengklaim tidak punya alasan untuk meragukan Moskow dan Rusia tidak menanggapi permintaan komentar media.

“Dari sudut pandang Tiongkok, mengakui dokumen semacam itu tidak akan ada gunanya. Tentu saja, dokumen semacam itu harus disangkal terlebih dahulu,  kemudian memikirkan tata letak strategis secara pribadi,” ujarnya.

Ye Yaoyuan mengatakan, terlepas dari apakah berita ini telah memperburuk perasaan antara Tiongkok dan Rusia, penting bagi kedua belah pihak terus  memainkan drama setidaknya pada tahap ini. (Hui)