Putu Sastrani Titaranti (Sastrani) : Menemukan Jalan Sejati di Saat Pandemi

‘I don’t try to follow trends, I believe I have my little path,’

ELKA HUNTER

Kata Sastrani ketika ditanya tentang prinsipnya bermusik Sebagai seorang penyanyi Solois Soprano, bisa dibilang ia sangat setia secara ‘penuh seluruh’ terhadap genre musik klasik. Anugerah suara emas yang diberikan Tuhan kemungkinan besar bisa menghantarkan- nya menjadi seorang diva pop di Indonesia, kalau saja ia sedikit menggoyahkan ‘iman musik-nya’ terhadap klasik. Sastrani pernah bilang se-ngepop-ngepop-nya dia adalah Broadway. Wanita kelahiran Jakarta, 15 November 1988 mengaku bahwa musik klasik bukan pilihan hidupnya. Lebih tepatnya mungkin pilihan alam.

“Bukan milih sih, Pak. Dari kecil itu saya sudah nyanyi begini … Karena kalau saya dengar rekaman saya dari kecil (karena saya mulai menyanyi dari umur 4 tahun), kata ibu saya, saya nyanyi kaya seriosa-seriosa gitu … Pokoknya dari kecil, saya ndak suka sama yang band-band gitu … Saya dari kecil suka dengarnya keroncong. Itu keroncongnya yang lawassssss gitu, yang masih seriosa … Saya ndenger– innya Opera … Saya ndengerinnya klasik … Saya dari kecil ndak milih … Bukannya saya memfokuskan ke bidang klasik, tapi memang dari kecil hati saya ke sana,” ungkapnya saat ditanya kenapa ia begitu setia pada musik klasik.

Awalnya ia menyanyi klasik secara otodidak. Baru ia mengenal teknik Bel Canto ketika kuliah di Institute Kesenian Jakarta (IKJ) 2006 – 2010 di jurusan musik, bidang studi vocal performance. Kuliah musik ternyata bukan cita-citanya, ia sebenarnya ingin masuk Fakultas Psikologi. Namun, terhalang nilai pelajaran eksak- tanya yang kurang. Pilihan keduanya adalah sinematografi. Ini dimotivasi karena ayahnya sendiri orang film dan karena ia senang sinematografi. Lagi-lagi, karena skill menggambarnya kurang, ia tidak berhasil masuk jurusan tersebut.

Akhirnya, tantenya mendaftarkannya di kuliah vokal di IKJ. Motivasinya sederhana, ‘daripada tidak kuliah.’ Karena semasa SMP dan SMA, Sastrani meraih segudang prestasi di bidang seni dan olah raga, ia mendapat beasiswa dari sekolahnya. Secara bakat ia punya potensi besar di vokal namun ilmu dasarnya, misalnya baca partitur, belum begitu dalam, walaupun ia sempat ambil kursus di bidang itu.

Di IKJ-lah, ia mulai dilatih teknik Bel Canto. Tapi ia sempat minder namun akhirnya sangat termotivasi untuk mengejar ketertinggalan, ketika ia melihat teman-teman kuliahnya sudah bisa menulis partitur, dan menguasai teori. Itulah yang membuatnya belajar keras berlipat- lipat untuk mengejar ketertinggalan. Dia mengambil les tambahan di Gita Swara di bawah asuhan Chatherine Leimena. Dia mengatakan bahwa ia sangat gila-gilaan mengejar ketertinggalan. Setiap hari ia berlatih sampai 8 jam.

Tapi anehnya ketika ditanya apa mimpinya sebenarnya? Ternyata ia tidak ingin jadi penyanyi. ”Main Film. Saya ndak ada pikiran menjadi penyanyi, Pak.Nggak ada. Pemain filmkah atau apalah?

Karena saya tahu jadi pemain seriosa duitnya nggak ada, gitu kan? Tapi nggak tahu kenapa ya saya tidak tertarik dengan bidang yang lain. Mungkin saya cross over ya? cross over ke tradisi ke jazz apalah. Tapi saya tetap dengan pakem saya ndak berubah. Teknik saya tidak saya ubah tetap dengan teknik itu, gitu,” ungkapnya. 

Ketika ditanya bahwa mungkin ada skenario besar dibalik itu yang perlu ia sadari, ia mengatakan, “Mungkin kali ya … Karena waktu itu saya juga latihannya setengah mati, kan? Paling banter se- pop-pop-nya saya ke Broadway. Itu yang paling pop buat saya … Di luar Broadway saya ndak mau ambil. Misalkan Bapak Googling tentang saya, saya sama si ini dan saya sama si itu … Tapi tetap dengan teknik saya. Saya nyanyi Jazz misalnya, yang kemarin ya … saya nyanyi jazz … (kalau nyanyi klasik ndak ada duitnya). Saya nyanyi Jazz cross over sama ini … Tapi tetep pakem saya, saya pakai. Makanya waktu itu saya penyanyi pertama yang di Java Jazz waktu itu. Pokoknya jazz gitulah ya … 2010 waktu itu mulainya … Dari sejak itu mulai cross over Klasik sama Pop gitu.”

Pandemi Membuatnya Menemukan Jalan Sejati

Sastrani mulai karir musiknya pada 2007– 2008 sebagai Soloist Soprano di Cikini Klasika Orchestra. Pada 2008 – 2011 ia bekerja di Indonesian Youth Orchestra, sebagai Vocal instructor and Basic Piano. Pada 2011, ia direkrut oleh Franky Raden, seorang Etnomusichologist and Composer, untuk menjadi Soloist Soprano-nya di orkestra tradisi yang unik yaitu Indonesian National Orchestra (INO). Selanjutnya di 2011 – 2017, ia berkolaborasi dengan beberapa musisi dan komposer Jazz untuk mengombinasikan musik jazz dan klasik yang menghasilkan Aria Opera and Broadway repertoires dengan spektrum yang berbeda. Konsep ini nampak pada Java Jazz (2011 – 2015), Jazz Goes to Campus dan the World Youth Jazz Festival. 

Pada 2013 – 2018 ia menjadi Soloist Soprano untuk Twilight Orchestra, yang dikonduktori oleh Addie MS.

Sastrani mengatakan bahwa sebelum ia menemukan sebuah jalan pencerahan atau jalan sejati ia mengatakan bahwa ia adalah orang yang ambisius. Ia banyak pengejaran dan target pencapaian. “Mengejar banget untuk tampil di sini, tampil di situ. Kalau nggak (tercapai, red) stress, karena persaingannya gede gitu. Orang butuh uang, harus punya uang untuk bisa bawa dia ke sini-situ. Contoh deh misalnya penyanyi X bapaknya kaya raya, Pak. Bapaknya super kaya raya. Di sisi lain kan saya ndak kaya. Tapi saya punya talenta, makanya saya getol ke sini – ke sini. Nggak ada habisnya gitu … Nah itu kalau misalkan saya ndak dapat, saya frustasi. Karena saya ngerasa saya salah lahir. Kayaknya saya salah lahir di sini (Indonesia). Itulah perasaannya.”

Pada 2020, ia bertemu dengan musisi Eros Djarot setelah 12 tahun tidak bertemu. Sang musisi ketika bertemu dengan sosok bertalenta seperti Sastrani sangat gembira. Sastrani direkut menjadi bagian Eros Djarot’s Masterpieces yang ingin menghadirkan kembali soundtracks legendaris BADAI PASTI BERLALU. Sedianya proyek itu akan berlangsung sampai 2021. Namun segala planning itu gagal karena pandemi. Proyek pandemi yang dihadirkan oleh Tuhan untuk suatu tujuan tertentu, membuat seketika kehidupan musisi seperti Sastrani mengalami titik nadir. Sastrani mengalami frustasi memikirkan bagaimana seseorang musisi seperti dia bisa bertahan di masa pandemi ini.

Tapi memang benar, bahwa ‘selalu ada hikmah dibalik sebuah peristiwa,’ kembali lagi pikirannya bertanya-tanya akan sebuah jalan yang bisa membuatnya terbebas dari segala keterikatan. Jalan sejati yang selalu ia idam-idamkan sejak kecil. Ia mengaku telah banyak mempelajari berbagai ajaran untuk bisa menjawab pertanyaan hidupnya. Namun tak kunjung menemukan yang klik dengan hatinya.

“Di titik itu saya mikir apa yang bisa bikin saya melepas segala keterikatan (walaupun belum bertemu Dafa loh) yang bisa lepas keterikatan hati, tapi yang bisa membuat saya tetap bisa bermusik, apa ya? Kok capek banget ya jadi manusia? Saya pikir gitu. Apa yang bisa bikin saya mencapai tingkat spiritual tertentu tapi ndak neko-neko, nggak aneh-aneh, nggak pakai ritual-ritual kayak orang-orang,” tuturnya sambil menahan isak tangis.

Saat di posisi paling tertekan itu, ia bertemu seorang praktisi Falun Dafa yang sebenarnya sering ia jumpai tapi jarang berbicara intens. Praktisi itu sebenarnya sangat paham perjuangannya A-Z. Karena ia pernah bekerja di event organizer pada acara-acara jazz. Di tengah kondisi frustasi itu, ia akhirnya intens bercerita keluh kesahnya. Praktisi itu akhirnya membahas sedikit tentang prinsip timbal balik karma. Sastrani merasa menemukan klik. Pada momen itu ia mendapatkan brosur Falun Dafa dari praktisi tersebut. Dari brosur warna kuning itu ia merasakan jalan pencerahan itu sudah di depan mata dan sebentar lagi ia akan menemukannya.

“Terus saya baca tuh, tulisan ‘Sejati Baik Sabar.’ Pas saya baca tulisan itu pak, itu langsung ada kayak tombol … Klik … Rumah mati lampu. Tahu-tahu tombol saklar dinyalain … byarrr. Akhirnya, jadi terang rumahnya. Itu yang saya rasain …” kisahnya sembari sangat bersemangat dan terharu.

Akhirnya ia berhasil bergabung dengan tempat latihan di sebuah taman di bilangan Menteng Bintaro, Tangerang Selatan.  Ia ikuti prosesi latihan 5 perangkat latihan Falun Dafa. Ia sempat merasakan sakit saat duduk meditasi di perangkat lima.

“Itu kaki meskipun setengah jam, kaki rasanya kaya sendi di patah-patahin… Sakitnya luar biasa … Tapi selesai perangkat lima. Pas saya bangun badan itu enteng pak … rasanya kayak ngambang … Badan itu enteng kayak kapas … Bener-bener enteng seenteng-entengnya … kayak bisa terbang rasanya, ” kenangnya dengan penuh haru sekaligus gembira.

Setelahnya ia mulai larut membaca buku Zhuan Falun. Usai membaca ceramah pertama ia merasa 70 persen pertanyaan hidupnya terjawab. Ia merasa prinsip-prinsip yang tertulis dalam buku Zhuan Falun benar semuanya. Ia merasa ini yang dia cari sejak kecil.

“Karena, awalnya saya mau melepas dendam … Saya mau melepas kebencian pada satu orang … tapi bagaimana caranya … Pas baca ceramah itu … Rasanya senang, senang banget, gitu …” tuturnya dengan penekanan kata ‘senang’ intonasinya yang sangat panjang seolah ia lagi nyanyi seriosa dengan nada yang memanjang.

Setelah yakin dan mantap dengan jalan sejatinya, rupanya Sastrani berubah drastis dalam pandangan hidup, prinsip hidup, dan sikap hidup. Lamat-lamat ia mulai menemukan alasan keberadaan- nya, kenapa ia setia di jalur musik klasik. Mulai bisa merangkai puzzle kehidupan selama ini dan menemukan panggilan hidupnya. Selain itu, ia tidak egois dengan jalan sejatinya yang mengubah hidupnya ia rajin berbagi pengalaman dan bahkan jadi moderator di acara Webinar Pengenalan Falun Dafa yang sudah digelar lebih dari 100 episode yang dimulai sejak merebaknya Covid19 yang menelan nyawa 50.000, orang Indonesia. Ia nampaknya ingin menjadi salah satu lilin yang menyala saat pekatnya pendemi.

Talenta yang diberikan oleh Tuhan berupa suara emasnya, kini sudah tahu tujuannya. “Sejak jadi kultivator saya sadari bahwa bakat yang saya punya … Itu bukan untuk mencari uang. Yang saya punya untuk menyanyikan hal-hal yang baik. Untuk menyanyikan hal-hal yang indah. Untuk menyanyikan lagu-lagu Dafa. Pas sudah saya sadarin itu. Saya tenang banget rasanya begitu. Apalagi saya dari dulu pengen banget kan partitur ShenYun. Secara tidak sengaja … Saya ketemu NTD Classic … Ada partitur-partitur Shifu di situ, langsung saya download, saya pelajarin … Sampai akhirnya pusat mempercayakan saya lagu-lagu dari mereka ya. Ya, saya makin sadar, bahwa bakat ini bukan punya saya. Bakat ini dititipin ke saya. Saya ndak tahu sumpah janji saya apa … saya dikasih bakat ini untuk menyanyikan hal yang baik. Untuk menyuarakan hal baik bukan untuk mencari uang.”

Dan di luar ekpektasinya, ia membuat lagu bersama teman sesama praktisi Falun Dafa, April Gunawan berjudul ‘Kindness is Cool’ dan diikutkan pada sebuah kontes lomba membuat konten yang bertemakan kebaikan dan digelar di sebuah platform digital Ganjingworld yang berisi Teknologi bagi kemanusiaan, dan menjadi salah satu dari di antara pemenangnya. Kini prinsip hidup bahagianya sangat sederhana, “Bisa melepaskan segala”. Dan, Zhuan Falun mengatakan ‘melepas baru memperoleh. (Yud)