Tiongkok Menganggarkan Kenaikan Belanja Militernya Sebesar 7,2% Demi Mempercepat Ekspansi

oleh Huang Yimei dan Luo Ya

Meskipun dalam situasi pertumbuhan ekonomi yang terus menurun, tetapi pemerintah komunis Tiongkok masih berupaya mempertahankan bahkan menaikkan anggaran belanja militernya menjadi 7,2% untuk tahun 2024. Apa yang ingin dilakukan pemerintah komunis Tiongkok dengan mempercepat ekspansi militernya ? Mari kita lihat interpretasi dari para ahli.

Pada 5 Maret, Li Qiang, Perdana Menteri Dewan Negara Tiongkok, mempresentasikan laporan kerja pertamanya selama masa jabatannya. Dalam pidatonya kata “keamanan” muncul sampai 29 kali dan kata “risiko” sebanyak 24 kali. Hal ini mencerminkan bahwa masalah terpenting yang dihadapi adalah PKT saat ini adalah masalah ancaman keamanan.

Menurut laporan rancangan anggaran pusat dan daerah tahun 2024 yang diusulkan oleh Kementerian Keuangan Tiongkok, bahwa belanja pertahanan nasional yang disusun secara resmi pada tahun 2024 adalah 1 triliun 665,54 miliar yuan, atau peningkatan tahunan sebesar 7,2% yang sama dengan tahun lalu. Ada pun tingkat pertumbuhan tahunan dari 2020 hingga 2023 masing-masing adalah 6,6%, 6,8%, 7,1%, dan 7,2%. Dari sini kita bisa melihat bahwa belanja militer Tiongkok terus meningkat dari tahun ke tahun.

Sun Guoxiang, profesor di Universitas Nanhua di Taiwan mengatakan : “Yang pasti pengeluaran pertahanan ini juga melibatkan banyak biaya personel militer. Tentu saja, situasi pembangunan militer Tiongkok masih terus berlanjut. Faktanya, perekonomian Tiongkok saat ini sedang kurang baik, mempunyai efek histeresis, setelah efek histeresis ini berlalu, maka belanja militer yang besar ini jika tetap dipertahankan ke depannya bisa menjadi beban yang sangat tinggi bagi pemerintah Tiongkok.”

Perekonomian Tiongkok terus menurun, tetapi pengeluaran militer Tiongkok terus meningkat dari tahun ke tahun.

“Politik sayap kiri yang berlebihan dari Xi Jinping telah berdampak terhadap perekonomian Tiongkok. Pengendalian yang berlebihan, dorongan rezim agar perusahaan negara yang maju menggantikan sektor swasta di pasar telah menyebabkan perekonomian terus menyusut. Oleh karena itu, dalam situasi hard landing ekonomi ini, anggaran belanja militernya dipertahankan di angka 7,2%. Hal ini mencerminkan strategi Beijing, yang tujuan utamanya yaitu menggunakan apa yang disebut sebagai kekuatan militer untuk membentuk patriotisme, guna menutupi kelemahan hard landing ekonominya,” ujar Su Tzu-yun, Direktur Institut Strategi dan Sumber Daya di Institut Pertahanan dan Keamanan Nasional Taiwan.

Laporan Li Qiang tidak banyak memuat konten terkait isu Taiwan. Hal yang mencolok adalah, bila dibandingkan dengan laporan kerja pemerintah tahun lalu, laporan yang sekarang tidak menyebut kata “reunifikasi secara damai”, kecuali secara khusus menekankan soal “menentang kemerdekaan Taiwan, separatisme, dan campur tangan eksternal”.

Sun Guoxiang menjelaskan : “PKT pada dasarnya tidak bisa berbuat banyak menghadapi situasi tertentu di Taiwan. Tentu saja, kita juga dapat melihat beberapa perubahan situasi, di mana PKT secara perlahan mulai beralih ke apa yang mereka sebut anti-kemerdekaan Taiwan. Sedangkan inti daripada anti-kemerdekaan Taiwan itu terutama digunakan oleh Kementerian Keamanan Nasional Tiongkok sebagai pedoman. Jadi kita masih harus berhati-hati, meskipun dalam situasi tertentu ‘tangan besi’ PKT terhadap Taiwan ketika pemilihan presiden ternyata tidak berdampak apa pun”.

Wang Juntao, Ketua Komite Nasional Partai Demokrat Tiongkok mengatakan : “Selama pemilu tahun ini, PKT takut merangsang sentimen demokrasi Taiwan dan sentimen martabat Taiwan yang dianggap dapat merugikan mereka, sehingga PKT tetap bersikap low profile. Jadi pada saat itu mereka bersikap lebih lembut. Namun kini pemilu sudah selesai dan DPP kembali terpilih, jadi mereka tidak punya pilihan lain kecuali sedikitanya dalam 2 atau 3 tahun ke depan mereka memperkuat beberapa langkah tegas dan meningkatkan nada bicaranya terhadap pemerintahan baru, termasuk terhadap rakyat Taiwan.”

Analisis Agence France-Presse menunjukkan bahwa meskipun kegagalan Beijing dalam menggunakan “reunifikasi secara damai” bukanlah hal baru, tetapi perubahan retorika biasanya dianggap sebagai sinyal untuk mengambil sikap yang lebih keras terhadap Taiwan.

Wang Juntao mengatakan : “Meskipun kapal perang, pesawat terbang, dan senjata nuklir yang diluncurkan dalam dua tahun terakhir jumlahnya telah meningkat tajam. Tetapi dapat tidaknya penyelesaian tergantung pada faktor lain. Ini bukan persoalan banyaknya senjata yang ada semata. Bagaimana dengan hasil perang jika belasan orang jenderal Angkatan Roket termasuk pejabat perlengkapan senjata ditangkap dengan berbagai tuduhan ?”

Di sisi lain, “penentangan terhadap campur tangan asing” yang ditekankan dalam laporan tersebut merupakan pernyataan baru dan dianggap sebagai pesan kepada Amerika Serikat, Jepang, dan negara lain.

Su Tzu-yun mengatakan : “Ketika Xi Jinping berkuasa pada tahun 2012, anggaran pertahanan nasionalnya hanya 720 miliar yuan. Sekarang telah berkembang menjadi 1,6 triliun yuan, meningkat hampir 1,4 kali lipat. Ini juga mencerminkan Xi Jinping lebih rela untuk menginvestasikan dana yang besar terhadap “China Dream” dan “Militery Dream”nya. Ini merupakan indikasi adanya ekspansionisme militer yang ia inginkan, sehingga akan ada reaksi baliknya yang muncul di waktu mendatang”.

Kepala Sekretaris Kabinet Jepang Hayashi Yoshimasa mengatakan bahwa peningkatan belanja militer yang terus dilakukan oleh PKT tanpa transparansi yang memadai adalah “tantangan strategis terbesar bagi Jepang dan komunitas internasional dalam upayanya untuk menjamin perdamaian, stabilitas dan memperkuat tatanan internasional”. Jepang akan terus bekerja sama dengan Amerika Serikat dan sekutu lainnya untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan.(sin)