Pembicaraan Gencatan Senjata Gaza Mengalami Stagnasi, Perwakilan Hamas Meninggalkan Mesir

oleh Li Ming

Karena Israel menolak permintaan Hamas memasukkan proses mengakhiri perang ke dalam agenda negosiasi, jadi pembicaraan soal gencatan senjata untuk pertukaran sandera di Kairo mengalami jalan buntu. Delegasi Hamas telah meninggalkan Mesir meskipun mereka meninggalkan pesan bahwa negosiasi masih bisa dilanjutkan.

Pada Kamis (7 Maret), organisasi ekstremis Gaza Hamas mengeluarkan pernyataan bahwa delegasi perundingan organisasi tersebut telah meninggalkan ibu kota Mesir, Kairo pada hari itu, namun masih akan melanjutkan negosiasi dan upaya mengenai gencatan senjata di koridor Gaza hingga mencapai kesepakatan dengan Israel.

Pada Kamis, seorang pejabat Mesir juga mengkonfirmasi kepada media bahwa negosiasi gencatan senjata di Gaza telah menemui jalan buntu. Israel tidak segera mengeluarkan pernyataan atau komentar mengenai situasi negosiasi saat ini.

Pejabat Mesir lainnya mengungkapkan, bahwa Hamas telah menerima rencana gencatan senjata enam minggu sebagai “fase pertama dari proses gencatan senjata” di Gaza, namun mengharuskan Israel untuk berkomitmen pada langkah selanjutnya, yaitu menarik pasukannya dari Gaza dan mencapai “gencatan senjata permanen”. 

Hamas mengatakan bahwa pihaknya tidak akan melepas semua sandera yang tersisa, kecuali Israel menarik pasukannya dari Gaza. Namun Israel menolak permintaan ini, bersikeras untuk mempertahankan tujuan utamanya yakni menghancurkan seluruh organisasi bersenjata Hamas.

Karena kedua pejabat Mesir tersebut tidak berwenang berbicara kepada media tentang kemajuan perundingan, maka mereka tidak ingin disebutkan namanya.

Sebelumnya, militer Israel telah mengumumkan secara terbuka kepada organisasi bersenjata Hamas bahwa jika anggota Hamas meletakkan senjata dan menyerah, masyarakat Palestina di Gaza dapat merayakan Ramadhan mereka dengan damai.

Perang yang disulut oleh Hamas ini telah berlangsung selama hampir 5 bulan. Ketika semakin banyak kota dan bangunan di Gaza berubah menjadi puing-puing akibat pertempuran, kondisi kehidupan jutaan pengungsi menjadi semakin memprihatinkan. Hal tersebut mendorong komunitas internasional lebih gencar menyerukan Israel dan Hamas untuk segera mengakhiri pertempuran dan membebaskan semua sandera yang ditahan.

Dalam situasi seperti ini, pemerintah tripartit Amerika Serikat, Mesir dan Qatar secara aktif melakukan mediasi dalam upaya untuk mendorong perjanjian baru antara Israel dan Hamas. Agar pertukaran sejumlah orang Palestina yang ditahan Israel dapat ditukarkan dengan sekitar 40 orang warga Israel yang disandera oleh Hamas dalam sekurang-kurangnya 6 minggu gencatan senjata.

Namun setelah upaya berminggu-minggu, negosiasi masih gagal mencapai kemajuan yang berarti. Perbedaan terbesar antara Israel dengan Hamas adalah, Hamas menginginkan pembebasan semua warga Israel yang disandera sebagai imbalan atas gencatan senjata sepenuhnya, dan mempertahankan haknya untuk terus mengendalikan Gaza. Sementara Israel bersikeras pada pendiriannya untuk menghilangkan kemampuan militer Hamas, agar Hamas dibubarkan, dan tidak lagi memainkan peran apa pun dalam rekonstruksi Gaza pasca perang.

Dengan semakin mendekatnya bulan suci Ramadhan, Israel secara terbuka memperingatkan bahwa jika Hamas tidak dapat mencapai kesepakatan baru sebelum 11 Maret 2024, pasukan Israel akan terus melancarkan serangan ke beberapa posisi Hamas yang tersisa di wilayah selatan Gaza selama Ramadhan.

Namun, dengan adanya jutaan pengungsi Palestina yang berkumpul di sana saat ini, serangan militer lebih lanjut oleh Israel pasti akan memperburuk bencana kemanusiaan di wilayah tersebut. Oleh karena itu, komunitas internasional meningkatkan tekanan terhadap Israel dan Hamas, mencoba memaksa kedua belah pihak untuk melunakkan sikap mereka dan mengakhiri perang dengan cara apa pun yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. (sin)