Media Tiongkok Bungkam Soal Kebakaran Hutan Besar-besaran di Guizhou, Mengingatkan akan Kekacauan ‘Akhir Dinasti’

Pinnacle View Team

Provinsi Guizhou di barat daya Tiongkok baru saja mengalami lebih dari 200 kebakaran gunung yang telah membakar hampir setengah dari provinsi tersebut, namun baik saluran resmi maupun media pemerintah Tiongkok tetap bungkam selama berminggu-minggu, berpura-pura tidak terjadi apa-apa.

Penyebab kebakaran masih menjadi misteri, namun kebakaran tersebut telah memperlihatkan beberapa tanda kegagalan rezim partai komunis Tiongkok.

Kemungkinan Alasan untuk Bungkamnya Media

Para ahli Tiongkok berbagi pandangan mereka di program Pinnacle View di NTDTV tentang apa yang mungkin menyebabkan kebakaran hutan dan mengapa media pemerintah tetap bungkam tentang bencana alam yang begitu besar.

Menurut Tang Jingyuan, seorang komentator senior urusan terkini, mungkin ada tiga alasan mengapa media resmi Partai Komunis Tiongkok (PKT) tidak melaporkan kebakaran di Guizhou.

Yang pertama tentu saja terkait dengan Tahun Baru Tiongkok. PKT memiliki tradisi untuk tidak mengizinkan publikasi berita negatif apa pun selama festival untuk menciptakan suasana yang disebut damai. Hal ini semakin menjadi-jadi sejak kepala PKT Xi Jinping berkuasa.

Ketika pandemi COVID-19 pertama kali merebak di Wuhan, justru karena Xi sangat menghargai suasana harmonis selama periode Tahun Baru Tiongkok dan tidak ingin suasana itu rusak. Jadi, pihak berwenang di Wuhan diperintahkan untuk menyembunyikan situasi virus baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Akibatnya, hal itu menyebabkan ledakan wabah virus yang luar biasa, mengubahnya menjadi pandemi global.

Faktor kedua adalah bahwa Xi menghadapi ekonomi yang amat sulit. Sebelum Tahun Baru Tiongkok, pasar saham mengalami longsoran salju – sebuah keterpurukan besar. Dia kemudian meminta lembaga keuangan milik negara turun tangan dan membeli saham guna menstabilkan pasar, bahkan mengeluarkan perintah eksekutif untuk membatasi penjualan saham.

“Hanya melalui praktik seperti hooligan semacam inilah pasar saham nyaris pulih sedikit sebelum Tahun Baru Tiongkok, hanya demi menghindari pemandangan yang memalukan selama festival penting ini,” kata Tang.

Dalam situasi seperti ini, bencana alam besar tiba-tiba terjadi di Guizhou. Bagi PKT, berita tentang kebakaran hutan dan gunung sama sekali tidak dapat diterima untuk diumumkan kepada publik, ujar Tang.

Faktor ketiga adalah bahwa kebakaran kecil terjadi sekitar Tahun Baru hampir setiap tahun karena pada saat itulah orang Tiongkok membakar uang kertas untuk leluhur yang telah meninggal, sehingga pemerintah setempat mungkin tidak terlalu memperhatikan pada awalnya.

Namun, kebakaran gunung terjadi di beberapa lokasi, dan beberapa di antaranya sangat besar dan dengan cepat menjadi kebakaran hebat. Ketika kebakaran yang tersebar itu terhubung dan berkembang menjadi kebakaran besar, para pejabat setempat tidak berani melaporkannya. Jadi mereka memblokir berita tersebut.

Tang berkata : “Keterlambatan respon dan pemblokiran berita pada akhirnya berujung pada hasil yang kita lihat saat ini.”

Proyek Infrastruktur Masif Merusak Ekosistem

Tang juga menunjukkan bahwa Guizhou adalah daerah pegunungan dan ketika Wen Jiabao menjabat sebagai perdana menteri Tiongkok, Guizhou mulai membangun infrastruktur secara ekstensif untuk merangsang ekonomi, termasuk banyak proyek pemeliharaan air berskala besar.

“Hasil yang mungkin terjadi adalah erosi tanah,” katanya dalam acara tersebut. “Menurut laporan resmi dari Guizhou sendiri, hanya ada satu kali hujan dalam tiga musim dari musim panas 2022 hingga musim dingin, yang berlangsung hingga tahun 2023. Media menyebutnya sebagai ‘kekeringan seratus tahun’, dan tentu saja ini adalah kekeringan yang sangat serius.”

Menurut Tang, pembangunan infrastruktur berskala besar di Guizhou telah menyebabkan kerusakan pada tanah dan air, terutama di daerah pegunungan. Ketika tanah tidak dapat mempertahankan kelembapan dan menjadi kering, maka secara alamiah tanah menjadi berisiko tinggi terhadap kebakaran.

Guo Jun, pemimpin redaksi The Epoch Times edisi Hong Kong, menambahkan bahwa beberapa provinsi di barat daya Tiongkok memiliki lanskap Karst yang khas, yaitu lanskap batu kapur dengan gua-gua bawah tanah. Sistem sirkulasi air underground di daerah Karst sangat rapuh, dan pembangunan banyak proyek buatan manusia di Guizhou mungkin telah menyebabkan permukaan air turun dengan cepat, mengakibatkan berkurangnya air di tanah dan udaranya, serta tanah yang lebih gersang.

Menurut Guo, di masa lalu, barat daya dan selatan Tiongkok adalah tempat dengan curah hujan paling banyak di Tiongkok, tetapi mulai sekitar tahun 2008, iklim Tiongkok telah berubah secara dramatis, terutama karena pergeseran ke utara dari sabuk curah hujan dan kekeringan di bagian barat daya negara itu, yang semakin serius.

Dia juga mencatat bahwa peningkatan curah hujan di utara telah membawa beberapa masalah, seperti banjir baru-baru ini yang telah kita lihat di Henan, Hebei, Heilongjiang, dan bahkan Mongolia Dalam, dengan banjir tahun 2023 di Kota Zhuozhou, Provinsi Hebei, yang paling parah, yang jarang terlihat di masa lalu.

Guo membeberkan, Di sisi lain, ada juga manfaatnya, seperti melambatnya perluasan gurun di utara, dan bahkan mundurnya beberapa gurun. PKT telah membanggakan pencapaiannya dalam pengendalian gurun, penghapusan beberapa gurun, dan sebagainya, percaya bahwa ini adalah hasil dari upaya manusia, tetapi pada kenyataannya, menurut pendapatnya, ini terutama disebabkan oleh perubahan iklim, karena zona curah hujan telah bergeser ke utara. Peningkatan curah hujan tahunan, bahkan sedikit lebih banyak, memiliki efek yang sangat signifikan terhadap alam.”

Fenomena ‘Akhir Dinasti’

Shi Shan, seorang penulis senior dan kontributor The Epoch Times, berbagi dalam acara tersebut bahwa dalam sistem otoriter, struktur kekuasaannya memiliki karakteristik bahwa ketika ada sesuatu yang tidak beres di tingkat akar rumput, para pejabat lokal pertama-tama akan mencoba untuk menutupinya, dan ketika sudah terlambat untuk menutupinya, mereka akan menggunakan sumber daya dari seluruh negara dengan mati-matian untuk menekan arus informasi. Pada saat masalah tersebut harus dilaporkan ke pihak berwenang pusat, masalah tersebut sudah menjadi tidak terkelola dan tidak dapat dikendalikan.

” Sebenarnya, telah kita amati bahwa hal serupa terjadi berulang kali di akhir sebuah dinasti, terutama kerusuhan sipil, atau bencana. Sebagai contoh, pada akhir Dinasti Ming, Provinsi Shaanxi dan Henan mengalami kekeringan, para pejabat setempat juga berusaha menutup-nutupi hal tersebut di awal. Akhirnya, mereka tidak punya cara lain selain melapor ke Beijing, tetapi pada saat itu, sudah terlambat untuk mengangkut makanan dari daerah lain guna memberikan bantuan bencana.”

Dia percaya bahwa situasi saat ini di Tiongkok sangat mirip.

“Meskipun kebakaran di Guizhou mungkin tidak dapat membakar rezim PKT, tetapi memang ada pertanda – yakni model menutup-nutupi dan penindasan – yang mengingatkan kita pada akhir sebuah dinasti. Model ini pasti akan menyebabkan banyak masalah seperti itu,” kata Shi. (asr)