Pasar Saham Raih Kembali Kejayaan yang Hilang Selama 30 Tahun, Jepang akan Bangkit Kembali dengan Penuh Gairah 

Pinnacle View

Pada 26 Februari lalu, indeks rata-rata Nikkei 225 bursa efek Jepang ditutup pada 39.185 poin, telah melampaui titik tertinggi sepanjang sejarah bursa efek Jepang 38.915 poin yang tercatat pada 34 tahun silam. 

Angka ini pun menggemparkan seantero Jepang, dan seluruh dunia pun menyoroti Jepang, semua orang mengetahui, pada era 1990-an gelembung ekonomi Jepang meletus, perekonomian Jepang terus dalam kondisi terpuruk, dan ini dikatakan sebagai tiga dasawarsa yang telah hilang. 

Lalu dengan indeks Nikkei berhasil melampaui rekor tertinggi 34 tahun silam, apakah itu berarti Jepang akan bangkit lagi dari keterpurukannya? Apakah hal ini menandakan perekonomian Jepang telah memasuki siklus kenaikan? Apakah hikmah dari tren ini bagi kawasan Asia Pasifik? Apa pula dampaknya bagi kawasan tersebut di masa mendatang?

Indeks Nikkei Tembus Titik Tertinggi 34 Tahun, Ekonomi Menghangat, Kebutuhan Domestik Belum Cukup Kuat

Produser televisi independen yakni Li Jun dalam acara “Pinnacle View” menyatakan, kebangkitan ekonomi Jepang bukan saat ini, sebenarnya sejak Shinzo Abe menjabat, sejumlah kebijakannya sebenarnya adalah untuk menstimulus perekonomian Jepang. Sejak saat itu perusahaan Jepang termasuk bursa efek (pasar saham) dan juga pasar properti Jepang pun secara perlahan mulai menghangat. 

Pada 2013 indeks bursa saham Jepang baru sekitar 8.000 poin, dan sekarang telah melonjak hingga melampaui 39.000 poin, telah memecahkan rekor tertinggi 34 tahun silam, ini merupakan prestasi ekonomi yang sangat menggembirakan, dan setara dengan sebuah tonggak sejarah.

Kepala analis ekuitas Jepang dari JPMorgan Chase & Co. mengatakan, ini menandakan berakhirnya suatu era, yakni berakhirnya era deflasi Jepang. Karena sekarang sejumlah angka krusial pada berbagai indikator ekonomi Jepang sangat baik, yang pertama adalah indeks harga konsumen (CPI) telah naik 2%, dan yang kedua adalah indeks upah rata-rata untuk pertama kalinya mengalami tren kenaikan, ini adalah suatu pertanda baik kembali menghangatnya perekonomian.

Kenaikan pasar saham Jepang kali ini cukup hebat, di dalamnya masih terdapat suatu elemen yang disebut investor Tiongkok yang murka.

Orang Jepang juga menganalisa seperti itu, sejak Januari tahun ini, banyak modal asal Tiongkok berinvestasi di bursa Jepang lewat sejumlah reksadana, dan jumlah modal itu mencapai 10 kali lipat dibandingkan tahun lalu, hal ini menjelaskan begitu banyak investor Tiongkok telah kehilangan keyakinannya terhadap bursa efek Tiongkok, dan banyak sekali yang mengalir keluar. Banyak pula investor asing dari negara lain yang berinvestasi di Jepang, termasuk Wall Street, seperti misalnya Warren Buffett tidak membawa modal ke Jepang, ia meminjam 1,2 triliun Yen di Jepang karena suku bunga yang rendah, wajib membayarnya sekitar 1,4 triliun, tapi lewat investasinya di Jepang, termasuk di pasar saham Jepang, ia telah meraup dana sekitar 3,4 triliun Yen, dan keuntungannya sekitar 2 trilyun Yen.

Li Jun mengatakan, harga properti Jepang juga sedang membaik, sebelumnya setelah gelembung properti meletus, harga properti Jepang sempat mengalami kejatuhan, rontok dari 20%, 30%, hingga 60%, setelah anjlok kemudian sekitar tahun 2012 mulai merangkak naik. Harga properti di Tokyo dalam dua tahun terakhir ini menanjak cukup tinggi, itulah sebabnya investasi di sektor properti dalam dua tahun terakhir ini cukup menguntungkan. 

Modal dari Wall Street, termasuk sejumlah reksadana besar dari Hong Kong, termasuk sejumlah platform investasi properti dari Kanada. Jack Ma juga telah membeli produk properti di Jepang, malaikat investor Charles Xue sekaligus memborong properti di sepanjang satu jalan di Jepang, ini berarti, dalam dua tahun ini investasi properti di Jepang diyakini akan menguntungkan.

Ahli makro ekonomi Taiwan bernama Wu Jialong menyatakan kepada “Pinnacle View”, sekarang era deflasi Jepang tengah berakhir, tingkat inflasi Jepang telah kembali stabil di level dua persen, namun Jepang juga menyadari bahwa saat ini ia mengalami inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation, red.), bukannya inflasi yang ditopang oleh kebutuhan domestik dan kekuatan konsumsi. Perekonomian Jepang tidak sebaik yang terlihat pada permukaan, memang ia membaik, angka di sektor keuangan yang terlihat sekarang, seperti pasar saham, pasar properti, yang setiap hari ditransaksikan ini kita kategorikan di sektor keuangan, kinerja pada sektor ini memang betul sangat kuat, tetapi di bidang ekonomi riil, kebutuhan domestik Jepang belum begitu kuat, dan tingkat pertumbuhan inflasi belum lama ini agak menurun.

Oleh karena itu Jepang masih menjaga kelonggaran mata uangnya, serta berharap bisa membeli waktu bagi konsumsi domestik Jepang, investasi dalam negeri, lapangan kerja dalam negeri dan lain lain untuk dapat mengikuti pertumbuhan ini. Maka bank sentral Jepang belum juga berani menginisiasi normalisasi kebijakan moneter, direktur bank sentral yang baru sejak menjabat pada April tahun lalu, hingga kini belum berani mengambil tindakan. Karena jika Yen Jepang memulai normalisasi mata uang, maka nilai tukar Yen Jepang akan meningkat, dan akibat dari peningkatan ini akan dapat menghadapi inflasi dari luar negeri, produk impor menjadi agak murah, karena dengan menguatnya Yen Jepang, maka dengan demikian akan menimbulkan suatu sirkulasi yang baik.

Tiga Fase Ekonomi Riil Jepang Pasca Perang, Peniruan Mekanis PKT Terjebak Masalah

Wu Jialong selanjutnya menyatakan, terkait ekonomi riil Jepang, perusahaan, dan industri manufaktur Jepang, bahkan terkait sampai perkembangan teknis dari Jepang, semua ini adalah bidang spesifik yang sangat layak dianalisa.

Pertama-tama saya jelaskan dulu model kapitalis. Awalnya kapitalisme bangkit pada saat terjadi revolusi industri di Inggris, kapitalisme di Inggris disebut bisnis keluarga, sampai sekarang pun seharusnya masih seperti itu. Kemudian setelah menyebar sampai ke AS, pihak AS telah membuat sebuah perubahan, karena tidak mudah bagi generasi kedua atau ketiga untuk meneruskan usaha, jadi mereka merektrut manajer profesional dari kalangan luar, maka berkembanglah kapitalisme dengan manajer profesional, ini adalah model di Amerika. Setelah tiba di Jepang, pihak Jepang juga telah membuat suatu perubahan terhadap model kapitalisme, ia menjadi Gurupu Kabushiki Gaisha atau grup perusahaan gabungan, perusahaan di AS pada dasarnya adalah satu perusahaan, tapi tidak demikian halnya di Jepang, di Jepang adalah berupa suatu grup perusahaan, dan grup ini adalah sebuah grup besar yang terdiri dari banyak industri mulai dari industri baja, surat kabar, perbankan, dan lain-lain (setara dengan aliansi perusahaan), Jepang yang menggunakan cara ini memang benar-benar memperoleh manfaat, sama seperti memperbesar skala perusahaan, ditambah dengan membeli asuransi.

Namun Jepang bangkit dengan cara ini, juga jatuh karena cara ini. Di saat perekonomian memburuk, kapal besar ini tidak mudah dikemudikan, lebih lamban melakukan penyesuaian, tidak seperti di AS, pihak AS lebih lincah, dan agak fleksibel. Jadi perubahan kapitalisme ala Jepang ini, adalah konsep untuk menciptakan skala ekonomi kelompok. Kemudian model Jepang ini menyebar ke Korea Selatan dan Taiwan yang terjadi adalah gabungan model AS dengan model Jepang. Anda lihat TSMC Taiwan adalah sebuah perusahaan, ia mungkin memiliki pemasok hulu, juga pemasok hilir, tetapi Anda tidak akan mendengar ada TSMC Group, berbeda dengan di Jepang, Anda lihat ada Mitsui dan juga Sumitomo, keduanya adalah grup.

Ketika Jepang membangun kembali negaranya pasca perang, juga mengalami masalah yang sama dengan negara berkembang lainnya yang sedang membangun kembali pasca perang, yaitu banyaknya orang yang hendak bekerja, banyaknya sumber daya ekonomi yang harus segera mulai diterjunkan dalam produksi, tetapi tidak ada pesanan? Dan dimana pasarnya? Jawabannya ia berada di luar negeri, di Jepang sendiri lapangan kerja dan pendapatan belum ada, tapi banyak orang membutuhkan pekerjaan, harus melakukan produksi, dan kapasitas harus ditingkatkan, tetapi kebutuhan dalam negeri tidak mencukupi, lalu apa yang harus dilakukan?

Maka produk yang dihasilkan, yang tidak habis dikonsumsi warga domestik, termasuk keluarga, perusahaan, dan pemerintah, hasil produksi yang tidak habis dikonsumsi itu dijual ke luar negeri, maka bagian ini disebut surplus perdagangan, disebut juga cadangan, ini adalah tahap pertama, model perekonomian Jepang pada saat itu mengirim cadangan itu ke luar negeri, sebaliknya negara lain pun menjadi cadangan negatif, yang berarti negara lain mengkonsumsi lebih cepat dari jadwal, dan telah lebih dahulu mengkonsumsi.

Kemudian setelah model orientasi ekspor ini berlangsung cukup lama, orang lain mulai tidak tahan, orang lain selalu cadangan negatif, yaitu masalah ketidak-seimbangan perdagangan, maka Jepang pun memasuki fase berikutnya, yang disebut mencari kebutuhan domestik yang baru, lalu mereka mulai mengembangkan properti, dari orientasi ekspor beralih menjadi berorientasi properti. Orientasi properti berarti menanggung hutang, membeli rumah dengan cara kredit, yakni mengalihkan pendapatan di masa depan untuk digunakan sekarang, maka munculah model ekonomi hutang. Kemudian setelah properti jenuh dan berlebihan, Jepang pun memasuki fase berikutnya, yang disebut model deflasi.

Sekarang Anda mendapati seperangkat model ini telah sepenuhnya ditiru oleh PKT, dulu ketika Beijing hendak mengembangkan perekonomiannya, mereka meneliti bagaimana AS mengatasi ketidak-seimbangan dalam perdagangan, dan sasaran penelitiannya adalah Jepang, serta ditemukan bahwa AS menggunakan peningkatan nilai Yen Jepang untuk menekan Jepang. Oleh karena itu setelah menelitinya, para ekonom PKT bersikeras menolak peningkatan nilai tukar RMB, dengan sangat berpengalaman menghadapi masalah nilai tukar dan tekanan nilai tukar tersebut. Akibatnya mereka tidak menyangka akan jatuh ke dalam model properti ini, yang kemudian disusul dengan model deflasi.

 Mereka juga tidak menyangka permasalahan dalam hal ekonomi riil, mereka hanya menghadapi tekanan nilai tukar sektor moneter saja. Kemudian AS mengeluarkan jurus baru, telah mengaplikasikan tarif masuk, dan begitu tarif ini diberlakukan, para ekonom PKT pun kebingungan, karena tidak pernah ada kasus sebelumnya untuk diteliti.

Bagaimana Penguatan Yen Jepang Memicu Letusan Gelembung, Bukan Karena AS Melakukan Tekanan

Wu Jialong selanjutnya menyatakan, dulu ketika Yen Jepang menguat, industri Jepang pun dialihkan ke luar negeri, ke kawasan yang rendah upah buruhnya, untuk menekan biaya. Pada saat itu yang dipertimbangkan adalah Asia Selatan, salah satu keunggulan ekspor Jepang adalah otomotif, maka untuk mengalihkan industri otomotif ke luar negeri, dilakukanlah suatu cara, yakni sebagian spare part diproduksi di Filipina, sebagian di Indonesia, dan juga ada di Malaysia, lalu semuanya dikirim ke Thailand untuk dirakit menjadi mobil, baru dijual, walhasil semua negara di Asia Tenggara mendapat sepotong kue, mendapatkan sedikit keuntungan, tapi tidak ada satu pun negara yang mampu merangkai seluruh mobil lalu bersaing dengan Jepang. Jadi setiap negara hanya bekerja bagi Jepang, dengan cara itulah Jepang membangun jalur produksinya di luar negeri, sehingga tidak perlu khawatir negara-negara itu akan bisa melampauinya, dan menggeser posisi Jepang di pasar.

Akibatnya AS mengaplikasikan seperangkat cara ini, dan seperangkat logika ini pada industri lain yang disebut semi konduktor. Teknologi optik semi konduktor berada di Belanda, bahan kimia khusus berada di Jepang, RAM-nya berada di Korea Selatan, pengolahan wafer silikon berikut pengemasan dan pengujiannya berada di Taiwan, lalu AS sendiri menguasai perangkat lunak desain semi konduktor dan peralatan untuk menghasilkan desain semi konduktor, tentu saja termasuk order pemesanannya, dan pada akhirnya AS menggabungkan semuanya. Hasilnya adalah sampai kapanpun tidak ada satu pun negara yang mampu mengancam menggantikan AS di bidang semi konduktor. Model industri otomotif Jepang telah ditiru oleh AS.

Sekarang jika dipikir-pikir lagi, AS memberikan tekanan penguatan nilai tukar Yen Jepang juga adalah tindakan tepat, ada benarnya. Karena ketidak-seimbangan perdagangan yang dialami AS memang sangat parah, jadi AS memanggil Jerman, Jepang, Inggris, dan Prancis, serta mengatakan ketidak-seimbangan perdagangan ini harus dikoreksi. Ini berarti, Jepang telah mengambil cadangan orang lain, lebih dulu mengalami surplus perdagangan, diekspor ke negara lain, lalu orang lain harus lebih awal mengkonsumsi cadangannya, disebut cadangan negatif, sampai ketika orang itu sudah tidak sanggup menahan lagi, maka ketidak-seimbangan perdagangan ini harus dikoreksi.

Wu Jialong mengatakan, waktu itu selama proses menguatnya Yen Jepang, memang benar-benar telah menimbulkan kerugian serius terhadap perekonomian Jepang. Kita tinjau kembali penyebabnya, karena waktu itu bank sentral Jepang tidak berani membiarkan Yen Jepang menguat secara drastis, karena ia takut merugikan daya saing perusahaan, dan bank sentral Jepang menggunakan metode penguatan bertahap, akibatnya semua orang tahu, penguatan Yen Jepang belum berakhir, sehingga di pasar moneter timbul semacam spekulasi bahwa Yen Jepang akan menguat. 

Apa akibat yang akan timbul? Maka uang panas dari luar negeri pun membanjiri Jepang, pasar saham Jepang, pasar properti pun menggelembung, menjadi marak, lalu terjebak dalam era deflasi selama dua dasawarsa, itulah yang terjadi. Jadi kuncinya terletak pada masalah dalam hal mengelola penguatan Yen Jepang, inilah dalang yang sesungguhnya, gelembung ekonomi Jepang bukan terjadi karena ditekan oleh AS, namun karena saat Jepang mengelolanya, tidak menjalankan kebijakan yang terbaik, waktu itu mereka tidak memahami, jika penguatan dilakukan dengan cepat, menguat secara drastis, sampai nyaris dalam sekejap, maka psikologi spekulasi penguatan Yen itu pun akan langsung lenyap saat itu juga.

Kemampuan Riset yang Kuat Kukuhkan Pondasi, Geopolitik Menentukan Kebangkitan Jepang

Pemimpin redaksi The Epoch Times Guo Jun menyatakan kepada “Pinnacle View”, geopolitik cukup menentukan perkembangan suatu negara secara signifikan. Pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 Jepang telah mulai melakukan modernisasi, yang terutama mengandalkan dukungan dari Inggris dan AS. Alasannya karena Inggris dan AS mencemaskan ekspansi Tsar Rusia di kawasan Asia Pasifik. Dalam Perang Rusia-Jepang yang terjadi di awal abad lalu, Jepang meraih kemenangan mutlak, juga berkat dukungan kapal perang Inggris dan intelijen dari AL Amerika dan Inggris, kemudian AS dan Inggris mendukung Jepang dalam hal perekonomian. Kemudian Jepang runtuh, akibat berperang melawan AS dan Inggris dalam PD-II. Kebangkitan Jepang yang kedua kali, adalah kebangkitan kembali pasca PD-II, juga berkat dukungan AS, karena selama periode Perang Dingin, AS harus mengandalkan rantai kepulauan Samudera Pasifik, untuk mengunci Uni Soviet dan juga RRT, hingga kemudian hubungan AS dengan RRT menghangat, AS dan PKT dalam masa bulan madu, fungsi Jepang pun menurun drastis, akibatnya perekonomian Jepang kembali merosot. Sedangkan sekarang, bagi AS dan Barat, posisi strategis Jepang kembali menjadi sangat krusial, karena untuk melawan PKT. Jadi kali ini indeks Nikkei 225 melampaui titik tertinggi 34 tahun silam, adalah suatu sinyal yang sangat mencolok, dan juga suatu pertanda yang sangat jelas. Menurut penulis, ini adalah akibat dari konfrontasi AS dengan Beijing secara menyeluruh, tentu saja ini mungkin hanya permulaan saja.

Di masa mendatang begitu tren pasar global mengalami perubahan, potensi Negara Jepang adalah sangat besar, sehingga banyak investor berpendapat, sekarang adalah saat yang tepat untuk berinvestasi di Jepang, tentu saja ada alasan nilai tukar mata yang Yen Jepang, tetapi yang sangat penting adalah potensi industri dan teknologi Jepang yang sangat besar. Kita bisa melihat perbandingan Jepang dengan Tiongkok.

Warga Jepang yang meraih hadiah Nobel adalah 29 orang, sebelum tahun 2001 hanya 12 orang, dan di antara 12 orang itu ada dua yang meraih hadiah Nobel bidang kesusastraan, dan satu hadiah Nobel bidang perdamaian. Sejak 2001, ada 17 orang warga Jepang meraih hadiah Nobel bidang ilmu pengetahuan, termasuk ilmu fisika, kimia, juga biomedis. Jika dibandingkan dengan RRT, hingga kini hanya ada 1 orang yang pernah meraih hadiah Nobel, yakni Artemisinin (obat anti malaria, red.) yang ditemukan oleh Tu Youyou. Jadi selama 23 tahun terakhir, perbandingan kedua negara adalah 1 banding 17. Ini adalah suatu perbedaan yang sangat besar.

Kesenjangan seperti ini merefleksikan perbedaan pondasi riset ilmiah di kedua negara tersebut. Selain itu dalam bidang ekonomi dan industri, perbedaannya sebenarnya juga sangat besar, jadi pada permukaan, RRT tampak telah menjual banyak sekali produk, secara ekonomi sangat menonjol, tapi pondasi industrinya seperti manufaktur industri presisi dan manufaktur kimia, peralatan canggih, manufaktur semi konduktor dan lain-lain, sampai sekarang Jepang masih memimpin di dunia. Misalnya pesawat tempur tercanggih AS F-35, sebenarnya 40% suku cadangnya adalah buatan Jepang, jadi bisa dibilang F-35 seharusnya adalah produk hasil kerjasama AS dengan Jepang. Seperti halnya juga kerjasama luar angkasa AS dengan Jepang secara menyeluruh, penyebabnya juga serupa.

Keunggulan Jepang tak bisa Ditiru PKT, Bukan Karena Faktor Tiongkok, Dosanya Terletak pada PKT

Wu Jialong menyatakan, Jepang telah melampaui perangkap pendapatan menengah (Middle Income Trap, red.), selain itu juga memiliki kemampuan riset yang kuat, Jepang memiliki banyak hasil riset yang tidak dipublikasikan, tidak dikomersilkan, dan hanya disimpannya, mengapa? Karena jika Jepang mengeluarkan inovasi barunya, negara lain termasuk AS atau Taiwan, semua orang akan mulai meneliti, dan mulai mengekor, akhirnya keunggulan Jepang kembali akan terhapus. 

Jadi Jepang berpikir, ini sangat tidak efektif, jadi dia menunggu orang lain menyusul, baru dikeluarkannya temuan baru itu, sebenarnya ada banyak penemuan telah disiapkannya, tapi masih disimpan dan tidak dikeluarkannya. Dulu di era 1960-an, banyak buku yang terbit menertawakan Jepang, dengan mengatakan bahwa Jepang hanya bisa meniru, tapi kemudian Jepang benar-benar telah terlepas dari praktik meniru, sekarang tidak ada lagi orang yang meragukan kemampuan inovatif Jepang.

Sekarang kemampuan inovatif teknologi industri Jepang benar-benar kuat, hal ini memberikan suatu pelajaran bagi Tiongkok, yaitu harus bisa melangkah keluar dari meniru menuju inovasi mandiri. Xi Jinping juga berulang kali mengatakan inovasi mandiri, tapi sayangnya prasyarat untuk inovasi mandiri tidak dimiliki oleh Tiongkok saat ini.

Pertama, untuk berinovasi, maka harus berinvestasi untuk sumber daya manusia, bukan investasi untuk perangkat keras, bangunan, atau infrastruktur, harus bisa berinvestasi pada manusianya. Investasi pada manusia ada beberapa aspek, yang pertama adalah pendidikan, kedua adalah pengobatan, ketiga adalah tempat tinggal, dan terakhir adalah kesejahteraan sosial. Melakukan investasi di beberapa bidang ini, efeknya adalah membebaskan manusia, hal ini baru bisa menimbulkan produktivitas dan inovasi, inilah investasi pada manusia.

Kedua, harus memahami kebebasan individu, termasuk kebebasan penerbitan, dan kebebasan pers, inilah yang disebut kebebasan berpendapat, di mata Tuhan ada kebebasan pemikiran, yakni kebebasan beragama. Jika tidak menghormati kebebasan beragama, maka berarti belum ada kebebasan; jika tidak ada kebebasan beragama, maka kebebasan berpendapat dan kebebasan pers semua akan mustahil. Tanpa adanya kebebasan individu, tidak akan mampu mendorong inovasi, ini adalah prinsip yang sangat sederhana.

Ketiga, harus bisa melindungi hak kepemilikan pribadi dan hak kekayaan intelektual dengan sistem hukum.

Setelah ketiga hal ini terpenuhi, Anda baru akan melihat munculnya kreativitas yang penuh vitalitas secara terus menerus. Semua aspek ini telah dilakukan oleh Jepang, sementara Tiongkok justru tidak pernah bisa mewujudkannya. PKT masih selalu berhenti pada konsep “Made in China 2025”, yakni Program Ribuan Bakat (Thousands Talents Plan, red.), yakni bersiap untuk mencuri dari luar negeri, dan bukan kemampuan baru inovasi mandiri Tiongkok. Jadi Xi Jinping mengatakan harus memiliki kemampuan baru berinovasi mandiri, ini memang benar, tapi yang dilakukannya tidak sejalan dengan perkataannya, jadi sampai sekarang pun RRT masih berada di level pembajak dan pencuri.

Wu Jialong mengatakan, itulah mengapa Tiongkok harus menyadari, akar penyebab tidak mampu berinovasi adalah karena faktor politik dan sistem negaranya, bukan karena warga Tiongkok tidak memiliki kemampuan menciptakan teknologi, warga Tiongkok sepenuhnya mampu mengadakan teknologi, lihat saja industri semikonduktor Taiwan, tidak ada masalah bagi etnis Tionghoa untuk mengadakan teknologi, masalahnya terletak pada sistem pemerintahan itu sendiri. (sud/whs)