Hasil Studi Baru Menunjukkan Hampir 70 Persen Kemungkinan COVID Bocor dari Lab Wuhan

 Naveen Athrappully

Virus COVID-19 memiliki asal usul yang “tidak wajar”, dengan probabilitas tinggi bahwa virus tersebut berasal dari Institut Virologi Wuhan (WIV) di Tiongkok, demikian kesimpulan sebuah studi terbaru.

Studi yang telah melalui proses tinjauan sejawat, yang dipublikasikan di jurnal Risk Analysis pada 15 Maret, menggunakan alat analisis risiko untuk menentukan asal muasal virus COVID-19. Analisis tersebut menemukan 68 persen kemungkinan “asal usul SARS-CoV-2 yang tidak alamiah dibandingkan dengan yang alamiah.” Meski demikian, penelitian ini tidak secara pasti membuktikan asal muasal virus COVID-19, para penulisnya menekankan bahwa “kemungkinan asal muasal laboratorium tidak dapat dengan mudah diabaikan.”

Sejak wabah ini dimulai pada Desember 2019, sumber hewan dan kebocoran laboratorium telah menjadi dua hipotesis utama penyebabnya. Meskipun berbagai macam hewan, termasuk kelelawar, telah dicurigai sebagai sumber virus, “belum ada hewan yang diidentifikasi sebagai inang alami atau perantara virus.”

“Salah satu coronavirus kelelawar yang paling dekat, RaTG13, sedang dipelajari di Institut Virologi Wuhan (WIV) dan memiliki 96,1 persen homologi dengan SARS-CoV-2.” 

Homologi mengacu pada kemiripan antara organisme yang berbeda yang dapat menunjukkan adanya nenek moyang yang sama. “Keberadaan dan urutan virus ini tidak diketahui sampai setelah pandemi COVID-19 dimulai.”

Untuk studi ini, para peneliti menggunakan instrumen Grunow-Finke yang dimodifikasi (mGFT) atau modified Grunow–Finke tool, sebuah perangkat analisis risiko epidemiologi yang membedakan antara epidemi alami dan serangan biologis yang disengaja.

Para penulis mengumpulkan data COVID-19 berdasarkan negara dari 1 Januari 2020 hingga 31 Oktober 2022, dan mengevaluasinya menggunakan instrumen mGFT berdasarkan 11 kriteria – risiko biologis, jenis yang tidak biasa, distribusi geografis, konsentrasi lingkungan, intensitas epidemi, cara penularan, waktu, penyebaran yang luar biasa cepat, keterbatasan populasi, manifestasi klinis, dan wawasan khusus.

“Dengan menggunakan algoritma GFT yang dimodifikasi, hasilnya menunjukkan total 41 poin (68 persen) dari maksimum 60 poin, yang menunjukkan SARS-CoV-2 kemungkinan besar berasal dari sumber yang tidak alami,” tulis para penulis studi.

Para peneliti menunjukkan bahwa kecelakaan di laboratorium merupakan hal yang “umum” dan jika patogennya sangat menular, satu pekerja yang terinfeksi saja dapat memicu epidemi.

Laporan penulis menyebutkan : “Fakta bahwa kelompok kasus pertama berada di sekitar laboratorium virus corona terkemuka di dunia yang diketahui bereksperimen dengan virus mirip SARS, serta laboratorium kedua yang juga mengerjakan virus corona, tidak dapat dianggap tidak relevan.”

Beberapa kasus infeksi COVID-19 pertama dilaporkan dari pasar makanan laut Hunan, yang terletak hanya delapan mil dari WIV. Pada 2 Desember 2019, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Wuhan, sebuah fasilitas yang mempelajari virus corona, pindah ke lokasi yang hanya berjarak 280 meter dari pasar makanan laut.

Para peneliti merekomendasikan agar mGFT dimasukkan ke dalam kotak instrumen untuk investigasi wabah mengingat sifatnya  sangat sensitif dalam membedakan antara asal virus yang alami dan yang tidak alami.

Penelitian ini didanai oleh Medical Research Future Fund, pemerintah Australia, dan Balvi Filantropik Fund.

Beberapa penulis menyatakan memiliki keterlibatan berbeda dalam penelitian ini. Salah satu peneliti didukung oleh hibah dari National Health and Medical Research Council. Peneliti kedua didukung oleh Balvi Filantropik Fund.

Virus yang Bocor di Laboratorium

The Epoch Times melaporkan kemungkinan COVID-19 berasal dari WIV pada April 2020, menerbitkan sebuah film dokumenter yang menunjukkan bahwa asal muasal virus di laboratorium adalah skenario yang paling mungkin.

Film dokumenter ini menyoroti keterlibatan ahli virologi Shi Zhengli, yang dikenal sebagai “wanita kelelawar”, yang melakukan penelitian tentang virus corona kelelawar di WIV.

Shi “adalah orang pertama yang menemukan kunci bagaimana virus corona dapat mengatasi hambatan lintas spesies untuk secara langsung menginfeksi tubuh manusia,” katanya, seraya menambahkan bahwa ia mungkin merupakan “penghubung penting” dengan asal-usul virus tersebut.

Pada April 2023, Subkomite Khusus DPR AS untuk Pandemi Virus Corona mengatakan bahwa mereka telah meminta wawancara langsung dengan Shi.  Namun, kedutaan besar Tiongkok menentang permintaan tersebut.

Beberapa lembaga AS percaya bahwa virus COVID-19 bocor dari WIV. Kantor Direktur Intelijen Nasional merilis sebuah laporan pada Juni 2023 yang mendukung teori tersebut.

Pada  Januari, dokumen yang diterbitkan oleh U.S. Right to Know, sebuah kelompok penelitian kesehatan masyarakat nirlaba, menunjukkan bahwa para ilmuwan dari Amerika Serikat bertujuan untuk bekerja sama dengan WIV untuk menciptakan virus corona baru yang mirip dengan virus COVID-19 pada tahun 2018, sebelum pandemi dimulai.

Sejumlah dokumen tersebut mengungkapkan bahwa para ilmuwan “berencana untuk menggunakan sistem genetika terbalik baru dan menguji virus secara in vivo – dengan kata lain, untuk merekayasa virus baru yang hidup.” Beberapa dokumen menggambarkan virus yang akan dipelajari dalam program ini sebagai “bahaya yang jelas dan nyata dari pandemi baru yang mirip SARS.”

Seorang ahli virus Amerika dari University of North Carolina, profesor Ralph Baric, bekerja dengan WIV, berniat merekayasa protein lonjakan baru. U.S. Right to Know mengklaim bahwa Baric telah menciptakan protein lonjakan ketika sebuah proposal diajukan ke Badan Proyek Penelitian Lanjutan Pertahanan AS (DARPA), yang pada akhirnya menolak proposal tersebut.

Studi pada 15 Maret menyoroti “serangkaian tindakan tak lazim” yang terjadi di WIV pada saat pandemi COVID-19.

“Pada September 2019, kendali laboratorium diserahkan dari komando dan kontrol sipil ke komando dan kontrol militer, dan seorang kontraktor disewa untuk merenovasi sistem ventilasi di dalam fasilitas tersebut. Secara bersamaan, karena alasan yang tidak diketahui, WIV menghapus basis data virus besar yang berisi sekitar 20.000 spesimen dari kelelawar dan tikus yang sebelumnya dapat diakses oleh publik,” tulis para penulis studi.

“Tidak jelas apakah basis data tersebut mencakup sekuens yang mungkin relevan dengan asal usul SARS-CoV-2 dan apakah ada upaya untuk menutupinya.”

Fasilitas ini juga melihat “beberapa contoh” di mana langkah-langkah biosekuriti tidak diterapkan dengan baik.

Misalnya, beberapa ilmuwan gagal mengikuti protokol peralatan yang tepat saat menangani kelelawar dan akhirnya digigit oleh hewan tersebut. Pada awal November 2019, “beberapa anggota staf dari lembaga tersebut dirawat di rumah sakit dengan gejala mirip COVID-19,” tulis para penulis studi.

Robert Redfield, mantan kepala Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS, mengatakan bahwa dia “dikesampingkan” dari diskusi awal tentang asal-usul COVID-19 setelah menyatakan bahwa virus itu mungkin telah bocor dari laboratorium, demikian menurut BBC.

Ia berkata : “Saya diberitahukan bahwa mereka menginginkan narasi tunggal dan saya jelas memiliki sudut pandang yang berbeda, Sains memiliki perdebatan, dan mereka memadamkan perdebatan apa pun.” (asr)