Pemuda Tiongkok Ingin Mempertahankan Status Quo, Tidak Mau Berperang dengan Taiwan

oleh Luo Tingting

Ketika Selat Taiwan masih dalam situasi tegang, “Al Jazeera” melaporkan bahwa banyak pemuda Tiongkok bersikap “tidak bersedia mati dalam pertempuran dengan Taiwan”. Mereka percaya bahwa menyelesaikan masalah ekonomi domestik Tiongkok adalah hal yang jauh lebih penting daripada mengurusi penyatuan Taiwan.

“Saya pikir Tiongkok memiliki hal yang lebih penting daripada reunifikasi dengan Taiwan.”

“Al Jazeera” melaporkan pada 15 Maret, Shao Hongtian (nama samaran), warga Xiamen berusia 23 tahun mengatakan bahwa konfrontasi bukanlah caranya untuk menyatukan Tiongkok dengan Taiwan.

“Saya berharap reunifikasi dapat terjadi secara damai”. Shao Hongtian mengatakan bahwa jika hal ini tidak memungkinkan, dia lebih suka mempertahankan status quo.

Pemimpin Partai Komunis Tiongkok (PKT) Xi Jinping telah berulang kali menyatakan bahwa dirinya tidak akan mengesampingkan penggunaan kekuatan militer untuk mencapai reunifikasi lintas selat. Tahun lalu, Xi meminta militer Tiongkok untuk meningkatkan kesiapan perang.

Baru-baru ini, terjadi serangkaian insiden fatal yang melibatkan kapal daratan Tiongkok yang terbalik di perairan Kinmen, Taiwan. Setelah itu, kapal penjaga pantai Tiongkok kerap menyusup ke perairan terbatas Kinmen sehingga menyebabkan ketegangan di Selat Taiwan meningkat.

Zhu Fenglian, juru bicara Kantor Urusan Taiwan dari Partai Komunis Tiongkok, secara terbuka menyatakan bahwa tidak ada pembatasan laut di sekitar Kinmen. Pernyataan itu menimbulkan kritikan keras dari pemerintah Taiwan.

Shao Hongtian mengatakan bahwa banyak dari teman-temannya juga memiliki pemikiran yang sama, Ia menekankan : “Rakyat Taiwan tidak melakukan hal buruk terhadap kami, tidak merugikan kami, lalu mengapa kami harus pergi ke sana untuk berperang dengan mereka ?”

Ia percaya bahwa jika PKT ingin memenangkan perang melawan Taiwan dan mitra-mitranya, PKT perlu memobilisasi banyak generasi muda seperti dirinya. “Saya pikir banyak pemuda Tiongkok tidak bersedia mati dalam pertempuran dengan Taiwan.”

Dia sangat yakin bahwa perang apa pun antara Tiongkok dengan Taiwan akan menimbulkan banyak korban jiwa di kedua belah pihak, karena itu “reunifikasi tidak layak dicapai melalui berperang”.

Sebuah penelitian yang diterbitkan tahun lalu oleh 21st Century China Center di Universitas California, San Diego, menunjukkan bahwa sepertiga responden Tiongkok percaya bahwa melancarkan perang habis-habisan untuk mencapai reunifikasi adalah hal yang tidak dapat diterima. Hanya 1% responden yang menghendaki berperang ketimbang semua alternatif lainnya. Jelas hal ini menjadi tantangan bagi Partai Komunis Tiongkok untuk mencapai reunifikasi dengan Taiwan melalui apa yang mereka gaungkan : “tidak peduli berapa pun besarnya harga yang harus dibayar.”

Ms. Mia Wei (26 tahun), seorang spesialis pemasaran dari Shanghai mengatakan : “Rakyat Tiongkok tidak mendorong pemerintah untuk melakukan reunifikasi Taiwan. Tetapi pemerintah PKT-lah yang mendorong rakyat untuk percaya bahwa reunifikasi itu perlu.”

Ms. Mia Wei percaya bahwa etnis Tionghoa asal Tiongkok seperti dirinya lebih peduli terhadap pembangunan dalam negeri. “Pertama adalah mengatasi isu epidemi COVID-19, isu perekonomian yang memburuk, kemudian pasar real estate yang ambruk. Saya pikir pemerintah Tiongkok masih memiliki tugas yang lebih penting ketimbang reunifikasi dengan Taiwan”.

Ye Yaoyuan, seorang Associate Professor Study China di Universitas St. Thomas, Amerika Serikat mengatakan : “Kaum muda biasanya menjadi pilihan pertama yang dikirim ke medan perang, jadi mereka secara alami lebih menentang perang”.

Retorika tentang “anti-perang” populer di Internet Tiongkok

Faktanya, meskipun Partai Komunis Tiongkok terus mengintimidasi Taiwan dan melakukan banyak latihan militer di sekitar pulau tersebut, tetapi retorika tentang “anti-perang” terus bermunculan di Internet Tiongkok. Banyak orang yang mengatakan : “Jika negara ini ingin berperang, mereka tidak akan pernah ikut perang, jangan juga berharap membiarkan putra-putrinya berpartisipasi”.

Pada  April tahun lalu, seorang netizen Tiongkok memposting tulisannya sebagai berikut : “Jika ada perang, saya tidak akan berpartisipasi, dan saya juga tidak akan membiarkan putra-putri saya untuk ikut serta. Saya adalah warga sipil yang hidup di kelas bawah. Di mana pada masa damai, (pemerintah) melupakan kami-kami. Tetapi di saat ada masalah, (pemerintah) baru mengingat kami-kami ini, bahkan mengatakan bahwa ketika negara dalam masalah, semua rakyat memiliki tanggung jawab. Namun ketika (pemerintah) membagikan kesejahteraan, kami-kami ini tidak memperoleh perlakuan yang sama. Jadi siapa yang ingin pergi (berperang), biarkan dia yang pergi. Pokoknya saya tidak, dan saya pun tidak akan membiarkan putra-putri untuk berpartisipasi dalam perang !”

Postingan ini kemudian mendapat banyak “like” dari para warganet Tiongkok. “Saya juga tidak bersedia iku berperang. Orang-orang yang berada di kelas bawah tidak memiliki kewajiban untuk bekerja keras bagi pemodal !”

“Saya jelas tidak mau pergi. Minta saja putra-putri dari para pemimpin PKT yang berpartisipasi duluan. Kan mereka itu punya gen merah yang bagus !”

“Anak bini pejabat tinggi sudah berada di Amerika Serikat. Kenapa kami-kami ini yang terus dipaksa untuk mengorbankan jiwa dan raga ?”

Warganet lainnya menyarankan, agar para ahli dan profesor PKT yang ditunjuk untuk ikut berperang karena mereka itu punya “banyak ide”. Yang lain menyarankan agar para pejabat korup yang dikirim ke medan pertempuran. Ada pula yang usul agar Satpol PP Tiongkok saja yang didorong ke garis depan.

Banyak warganet yang menyuarakan : “Siapa saja yang banyak memperoleh keuntungan dari negara wajar kalau diharuskan untuk berpartisipasi aktif dalam perang”. “Jika kita tidak bisa berbagi yang manis kepada orang lain, bagaimana kita bisa membagikan yang pahit kepada orang lain ?”

Sesungguhnya, sikap anti-perang masyarakat Tiongkok bukanlah hal baru yang muncul dalam beberapa tahun terakhir. Beberapa tahun yang lalu, sudah ada sebuah lembaga terkenal di daratan Tiongkok yang melakukan jajak pendapat yang melontarkan pertanyaan, yaitu “Berapa banyak uang simpanan Anda yang ingin disumbangkan untuk tanah air jika negara terjadi perang ?” Tak disangka jawaban yang diperoleh adalah memberikan dukungan kepada Amerika Serikat.

Ada yang “mau berdonasi bagi Amerika Serikat”, ada pula yang “bersedia menjadi petunjuk jalan bagi serdadu AS”, “Saya mau menjadi informan bagi militer AS”. Ada pula yang mengungkapkan kerinduan mereka terhadap Amerika Serikat.

Ada juga yang mengatakan : “Kami ini bukanlah payung, jangan menggunakan kami cuma di saat cuaca hujan, lalu melemparkan kami ke sudut saat cuaca bagus. Jadi saat berperang, biarkan pasukan khusus yang bertempur di garis depan, dan minta saja para pegawai negeri untuk menanggung semua biayanya.” (sin)