Tiongkok, Rusia, dan Iran Menggelar Latihan Militer Bersama Sebagai Sinyal Kepada Barat

Jon Sun dan Michael Zhuang

Pada  12 Maret, pemerintahan Joe Biden mengatakan akan mengirimkan paket bantuan militer sementara senilai 300 juta dollar AS kepada Ukraina, dan Uni Eropa juga menyetujui peningkatan dana bantuan militer Ukraina sebesar 5 miliar euro (5,4 miliar dollar AS) pada  Senin 18 Maret. Sementara itu, Tiongkok, Rusia, dan Iran menggelar latihan militer bersama di Timur Tengah sebagai sebuah sinyal kepada Barat.

Pada 13 Maret, Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan dalam sebuah wawancara di televisi Rossiya-1 milik pemerintah Rusia bahwa meskipun senjata nuklir tidak dipertimbangkan di medan perang Ukraina, penggunaan senjata nuklir tidak dapat dikesampingkan jika kedaulatan atau kemerdekaan negaranya terancam. 

Pernyataan Putin dipandang sebagai upaya untuk menahan dukungan Amerika Serikat dan NATO yang sedang berlangsung untuk Ukraina di tengah-tengah konflik yang berkepanjangan.

Putin berkata : “Senjata ada untuk digunakan.” Ia juga memperingatkan bahwa Rusia siap, dari sudut pandang teknis militer, untuk perang nuklir,  ia mengindikasikan bahwa setiap pengerahan pasukan AS ke Ukraina akan dilihat sebagai sebuah eskalasi yang signifikan dalam konflik ini.

Merespon pernyataan Putin yang bernada mengancam, sekretaris pers Gedung Putih Karine Jean-Pierre mengatakan bahwa pemerintah AS belum melihat “indikasi apapun bahwa Rusia sedang bersiap-siap untuk menggunakan senjata nuklir di Ukraina.”

Bantuan Darurat untuk Ukraina

Ketika perang Rusia-Ukraina memasuki tahun ketiga pada 24 Februari, Ukraina belum mampu melakukan serangan balasan strategis yang menentukan, sehingga konflik ini masih menemui jalan buntu. Bantuan militer internasional untuk Ukraina telah berkurang, membuat pasukan Ukraina merasakan tekanan besar dari kekurangan pasokan.

Merespon situasi yang mengerikan ini, Amerika Serikat dan Uni Eropa dengan cepat bergerak untuk memberikan bantuan mendesak kepada Ukraina. Tambahan bantuan militer sebesar $300 juta dari pemerintah AS untuk Ukraina menandai paket bantuan komprehensif lainnya sejak 27 Desember tahun lalu.

Anggaran tambahan yang diminta sekitar $60 miliar, termasuk bantuan untuk Ukraina, masih menunggu persetujuan di DPR AS. Dalam sebuah konferensi pers pada  12 Maret, Penasihat Keamanan Nasional Biden, Jake Sullivan mengatakan bahwa paket bantuan ini termasuk peluru artileri dan amunisi untuk Sistem Roket Artileri Mobilitas Tinggi (HIMARS), dan ia mendesak DPR AS agar segera mengesahkan anggaran tersebut.

Pada hari yang sama, Majelis Nasional Prancis memberikan suara mayoritas, dengan 372 suara setuju dan 99 suara tidak setuju, untuk mendukung perjanjian keamanan bilateral baru-baru ini antara Prancis dan Ukraina. Pemerintah Prancis memperingatkan akan adanya bencana besar jika Rusia menang.

Mengikuti Amerika Serikat, seluruh 27 negara anggota Uni Eropa mencapai kesepakatan pada 13 Maret untuk meningkatkan dana bantuan militer Ukraina sebesar 5 miliar euro ($.54 miliar), melanjutkan rencana bantuan komprehensif sebesar 50 miliar euro ($54,4 miliar) yang disahkan pada 1 Februari 2024. Dewan Eropa secara resmi mengumumkan peningkatan tersebut dalam sebuah pernyataan pada 18 Maret. Gelombang pertama amunisi yang sangat dibutuhkan untuk Ukraina diperkirakan akan tiba paling lambat akhir Juni.

Dampak Pasca-Perang

Pada  Desember 2023, karena terhentinya bantuan AS dan Uni Eropa untuk Ukraina, sekutu Ukraina dan beberapa negara Uni Eropa mulai diam-diam mempertimbangkan dampak kekalahan Ukraina dan menilai kembali risiko yang ditimbulkan oleh kemenangan Rusia terhadap negara-negara Eropa Timur NATO.

Berbagai penilaian menunjukkan bahwa jika Rusia menang, efek riaknya akan mendunia. Sekutu dan mitra Amerika akan mempertanyakan komitmen militer AS, jauh melampaui dampak dari penarikan AS dari Afghanistan pada 2021.

Pada saat itu, Perdana Menteri Irlandia Leo Varadkar menyatakan pada pertemuan puncak Uni Eropa bahwa jika Ukraina tidak menerima dukungan dari Uni Eropa dan Amerika Serikat, Putin akan menang. Para pejabat Eropa juga menyatakan kekhawatiran mereka bahwa tanpa senjata dan amunisi untuk Ukraina, Rusia dapat merebut lebih banyak wilayah Ukraina, yang menyebabkan Ukraina terpaksa menerima perjanjian gencatan senjata yang diusulkan oleh Rusia. Para pejabat pertahanan Estonia memperingatkan bahwa begitu perang berakhir, Rusia bisa jadi bersiap-siap untuk menyerang NATO dalam waktu setahun.

Beberapa pejabat Uni Eropa berpendapat bahwa jika Putin menang, hal ini akan memicu masuknya pengungsi ke negara-negara Uni Eropa, yang menyebabkan kekacauan jangka panjang di perbatasan timur Uni Eropa. Sejumlah negara Eropa mungkin akan memperkuat hubungan dengan Moskow dan Beijing untuk menghindari ketergantungan yang berlebihan kepada Amerika Serikat.

Latihan Militer Bersama Tiongkok-Rusia-Iran

Pada  12 Maret, Kementerian Pertahanan Nasional Tiongkok mengonfirmasi bahwa dari  11-15 Maret, Tiongkok, Rusia, dan Iran berencana menggelar latihan militer bersama di Teluk Oman di Timur Tengah. Ini merupakan latihan militer gabungan keempat sejak Maret tahun lalu. Dengan adanya perang Rusia-Ukraina yang sedang berlangsung dan Perang Israel-Hamas, langkah ini dilihat sebagai sekutu yang mempererat hubungan ketiga negara.

Latihan gabungan itu disebut “Maritime Security Belt 2024”, dan fokusnya adalah memerangi pembajakan serta operasi pencarian dan penyelamatan maritim. Tiongkok mengirimkan kapal perusak rudal dan kapal pasokan yang komprehensif, Rusia mengirimkan kapal penjelajah rudal, dan Iran mengerahkan lebih dari sepuluh kapal dalam latihan militer bersama itu.

Laksamana Muda Mohammad Nozari, komandan IRGC di pangkalan Iran di Chabahar di Teluk Oman, mengklaim bahwa tujuan utama latihan adalah “mengkonsolidasikan keamanan regional, mempromosikan kerja sama Tiongkok-Rusia-Iran,” demikian menurut Voice of America.

 Meir Javedanfar, seorang peneliti politik Iran di Universitas Reichman, di Herzliya, Israel mengatakan Tiongkok dan Rusia menggunakan latihan ini sebagai beragam sarana yang dapat digunakan untuk menunjukkan kehadiran mereka dan menekan Barat.

Dia menjelaskan kepada Voice of America bahwa dengan latar belakang kehadiran angkatan laut AS dan Barat yang belum pernah terjadi sebelumnya di Timur Tengah, persaingan antara front Tiongkok-Rusia-Iran melawan front Barat sekarang memanas karena Timur Tengah telah menjadi titik fokus dalam pergolakan geopolitik ini.

Aliansi antara ketiga negara ini sering dijuluki sebagai “poros kejahatan baru”, dan ada kekhawatiran yang meningkat tentang peran dan niat Tiongkok dalam mengganggu tatanan dunia bersama Rusia dan Iran.

Pada 11 Maret, Departemen Pertahanan AS merilis informasi rinci tentang permintaan anggaran militer sebesar $849,8 miliar untuk tahun fiskal 2025.

Wakil Ketua Gabungan Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Christopher Grady mengatakan “Kami harus terus beradaptasi, maju, dan berinovasi dengan kecepatan dan skala di semua ranah, memprioritaskan Tiongkok sebagai tantangan utama, dan Rusia sebagai ancaman serius.  (asr)