Pekerja Migran Lansia di Tiongkok Bertahan Hidup dengan Susah Payah, Pensiun Menjadi Kemewahan Bagi Mereka

oleh Xia Dunhou dan Liu Fang

Para pekerja migran lanjut usia di Tiongkok telah lama harus bertahan hidup melalui bekerja dengan upah rendah, dan menerima jaminan sosial yang sangat tidak memadai. Dalam situasi perekonomian Tiongkok yang sedang terpuruk dan lapangan kerja semakin sempit seperti saat ini, mereka harus terus bekerja dan tidak berani berpikir pensiun meskipun usia semakin larut.

Menurut statistik otoritas Tiongkok, pada 2022 tercatat ada sekitar 290 juta orang pekerja migran di Tiongkok, dan sekitar 86 juta orang diantaranya berusia di atas 50 tahun, atau setara dengan 29% dari total.

Karena tidak memiliki tabungan dan dana pensiun yang sangat sedikit, mereka harus terus bekerja dan menghasilkan uang agar dapat bertahan hidup.

Mr. Ding, seorang penduduk desa Shanxi mengungkapkan bahwa ada sekitar 600 orang warga di desanya yang berusia lebih dari 50 tahun. Mereka terpaksa meninggalkan desa untuk mencari nafkah sebagai pekerja migran. Kakak perempuannya yang berusia hampir 70 tahun pun kini masih bekerja sebagai pengasuh anak di kota.

Mr. Ding menuturkan, Mungkin jumlah pekerja migran berusia 50 tahun ke atas di desa ada lebih dari 600 orang. Gajinya tidak tinggi. Kakak perempuannya  yang usianya hampir 70 tahun masih bekerja di luar desa. Dia menjadi pengasuh anak dengan upah (bulanan) kira-kira 1.000 hingga 2.000 yuan. Kedua saudara perempuan saya juga bekerja di luar desa. Uang pensiun yang ia peroleh cuma 100 yuan lebih per bulan. Bagaimana bisa buat hidup ?” 

Seorang wanita bermarga Liu di desa Jiangxi mengatakan : “Untuk bertahan hidup, sepanjang tenaganya masih mampu, dia pasti akan bekerja demi mendapatkan uang terutama untuk membiayai pengobatannya. Lihatlah orang-orang lanjut usia, banyak dari mereka yang sakit. Jika ia tidak bekerja, maka tidak punya uang. Bagaimana bisa berobat ?”

Mrs. Dong, seorang penduduk desa di Provinsi Henan mengatakan kepada reporter NTD bahwa para lansia di desanya tidak punya uang untuk menghidupi diri mereka sendiri dan terpaksa melakukan pekerjaan apapun. Karena tidak punya uang, ada warga yang tidak bisa pergi berobat, jadi terpaksa mencari nafkah sambil menahan sakit.

“Tidak punya uang bagaimana pensiun ? Kerja apa saja yang didapatkan, ada yang menjadi pencuci piring mangkuk, ada yang bekerja membantu tukang sate menusukkan daging ke tusukannya, pokoknya apa saja pekerjaan yang diperoleh pada hari itu. Seorang ibu berusia 60-an tahun, mungkin 67 atau 68 tahun, setiap harinya masih memungut sampah yang bisa didaur ulang, selain juga mencari pekerjaan lain,” kata Mrs. Dong.

Penduduk desa mengatakan bahwa semakin sulit bagi pekerja migran yang berusia di atas 60 tahun untuk mendapatkan pekerjaan.

Mr. Ding mengatakan : “Anda pikir saja apa yang bisa dilakukan orang berusia 60 tahun. Orang yang membutuhkan tenaga kerja saja tidak bersedia merekrut. Proyek bangunan pun enggan memakai tenaga kerja yang lanjut usia. Jadi setelah berusia di atas 60 tahun, yang bersangkutan tidak mampu membayar premie asuransi”.

Mrs. Liu mengatakan, Di banyak pabrik sekarang tidak mau memakai tenaga kerja yang berusia 60 tahun. Jadi mereka hanya bisa mencari pekerjaan yang informal, yaitu pekerja bersifat sementara atau sejenisnya. 

Generasi pertama pekerja migran di Tiongkok kini telah mencapai usia pensiun, namun mereka tidak dapat menikmati manfaat pensiun yang sama seperti pekerja perkotaan. Lu Ting, Kepala Ekonom Nomura Securities China, mengungkapkan bahwa dana pensiun bagi 170 juta orang lansia pedesaan di Tiongkok hanya RMB.100,- hingga RMB.300,- per orang per bulan. (sin)