Gelombang Kejut dari Ekspor “Komoditas Murah 2.0” Tiongkok Bakal Memicu Reaksi Global

oleh Zhang Ting

Sebagai dampak mati mesinnya lokomotif penggerak pertumbuhan ekonomi Tiongkok (real estat), pihak berwenang Tiongkok segera mencari alternatif untuk menghidupkan kembali nasib perekonomiannya. Ada pun alternatif yang dipilihnya adalah memberikan dukungan kepada industri manufaktur Tiongkok, sehingga terjadilah kelebihan kapasitas. Karena itu Beijing kemudian mengekspor komoditas dari kelebihan kapasitas tersebut dengan harga murah ke seluruh dunia. Situasi ini nyaris tidak berbeda dengan saat di mana otoritas Tiongkok menerapkan ekspor “komoditas murah 1.0” lebih 20 tahun silam yang gelombang kejutannya telah merugikan industri manufaktur global. Hanya saja kali ini, dunia melakukan perlawanan.

Akibat dari lemahnya permintaan dalam negeri, perusahaan manufaktur Tiongkok berupaya menjual stok barang-barangnya yang terus membengkak ke pembeli di luar negeri. Sedangkan lonjakan produk dumping asal Tiongkok ini menjadi penghambat bagi negara-negara berkembang dalam upayanya untuk membangun perekonomian mereka melalui mengembangkan industri manufaktur dalam negeri.

Menurut Wall Street Journal, industri kimia Brasil menyalahkan rekor rendahnya produksi kimia dalam negeri karena tingginya impor produk kimia dari Tiongkok. Tahun lalu, pabrik kimia di negara tersebut hanya beroperasi dengan kapasitas 64%, ini adalah tingkat terendah sejak Abiquim, asosiasi industri kimia Brasil, mulai melakukan pelacakan data 17 tahun lalu. Direktur ekonomi Abiquim, Fatima Coviello Ferreira mengatakan, pemerintah perlu mengenakan tarif tambahan terhadap barang-barang produk Tiongkok tersebut untuk menghindari terjadinya penutupan pabrik dan pengangguran massal di Brasil.

Negara-negara mulai melakukan antisipasi

Amerika Serikat dan Uni Eropa telah mengumumkan bahwa mereka akan meningkatkan hambatan perdagangan terhadap kendaraan listrik dan peralatan energi terbarukan buatan Tiongkok. Eropa telah meluncurkan serangkaian investigasi perdagangan terhadap kendaraan energi baru Tiongkok. 

Gedung Putih mengumumkan penyelidikan terhadap risiko keamanan nasional dari mobil buatan Tiongkok. Presiden Biden mengatakan : “Tiongkok ingin mendominasi masa depan pasar otomotif, termasuk melalui praktik yang tidak adil, dan bahwa kebijakan Beijing memungkinkan mobil buatan Tiongkok membanjiri pasar kita yang juga dapat menimbulkan risiko bagi keamanan nasional AS. Saya tidak akan membiarkan hal itu terjadi dalam masa jabatan saya.”

Negara-negara berkembang seperti Brasil, India, Meksiko, dan Indonesia juga ikut memboikot barang-barang murah Tiongkok dan menargetkan baja, keramik, dan bahan kimia impor Tiongkok. Produk-produk tersebut diyakini sedang disalurkan dengan harga murah ke pasar negara-negara tersebut.

Secara khusus, India telah meluncurkan penyelidikan anti-dumping terhadap alat pengencang buatan Tiongkok seperti baut dan sekrup, juga cermin kaca tanpa bingkai, botol termos vakum atau wadah baja tahan karat lainnya, suku cadang dan komponen industri, sulfida berwarna hitam dan sebagainya.

Tahun lalu, pejabat Indonesia meluncurkan penyelidikan anti-dumping terhadap benang filamen sintetis yang diimpor dari Tiongkok. Selain itu Indonesia juga memutuskan untuk terus mengenakan bea anti-dumping terhadap frit keramik Tiongkok.

Gambar menunjukkan sebuah pabrik baja di Kota Huaibei, Provinsi Anhui, Tiongkok. (STR/AFP)

Kementerian Ekonomi Argentina mengeluarkan pengumuman tentang anti-dumping terhadap pemanas produksi Tiongkok pada  September tahun lalu, dan membuat keputusan untuk mengenakan tarif anti-dumping sebesar 43,47% terhadap produk-produk tersebut. Argentina juga melakukan penyelidikan anti-dumping terhadap elevator buatan Tiongkok.

Inggris sedang melakukan investigasi anti-dumping dan countervailing  terhadap ekskavator dan sepeda listrik buatan Tiongkok. “JCB”, sebuah produsen ekskavator, traktor, dan berbagai mesin konstruksi asal Inggris mengatakan, bahwa berkurangnya permintaan ekskavator di Tiongkok karena kemerosotan di industri properti jangka panjang mereka telah menyebabkan pabrikan Tiongkok memangkas harga penjualannya di pasar luar negeri. “JCB” mengatakan bahwa akibat dari pemangkasan harga pihaknya terpaksa mengalami kerugian dari penjualan ekskavator. Selain itu juga membuat penurunan pangsa pasarnya. Hal ini mendorong penyelidikan anti-dumping Inggris terhadap perusahaan-perusahaan Tiongkok.

Membanjirnya ekspor komoditas murah Tiongkok telah merugikan sejumlah pesaing asing di beberapa industri. Produsen baja terbesar Chile, “Chile’s Pacific Steel” (CAP), pada bulan Maret tahun ini mengatakan bahwa pihaknya akan menutup operasi pabrik bajanya yang terletak di Huachipato. Para eksekutif perusahaan sebelumnya mengatakan pabrik baja tersebut tidak dapat lagi bersaing dengan baja impor dari Tiongkok, yang 40% lebih murah dibandingkan baja Chili.

Menurut Wall Street Journal, Hector Medina, pemimpin serikat pekerja pabrik di kota pelabuhan Talcahuano, sekitar 300 mil selatan ibu kota Santiago, Chile mengatakan : “Dumping yang dilakukan perusahaan Tiongkok telah mendistorsi pasar di sini”.

Sebuah komite pemerintah Chile telah merekomendasikan penerapan tarif sebesar 15% terhadap impor baja Tiongkok. Chile’s Pacific Steel mendesak Komisi untuk merekomendasikan tarif 25%. 

Sejak awal tahun lalu, pemerintah di seluruh dunia telah mengumumkan lebih dari 70 tindakan terkait impor yang hanya menargetkan Tiongkok, menurut data yang dikumpulkan oleh “Global Trade Alert”, sebuah organisasi nirlaba yang berbasis di Swiss yang mendukung perdagangan terbuka.

Jumlah intervensi pada  2023 dan 2024 termasuk investigasi anti-dumping, bea masuk dan kuota yang menargetkan Tiongkok telah mencapai lebih dari 300 macam.

Tantangan yang semakin besar ini menunjukkan bahwa gelombang kejut baru dari ekspor komoditas murah Tiongkok ini sedang menghantarkan sistem perdagangan dunia ke situasi yang semakin tegang. Negara-negara Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat telah berupaya untuk mengurangi risiko yang ditimbulkan dari Partai Komunis Tiongkok, yaitu mengurangi ketergantungan mereka terhadap komoditas asal Tiongkok.

Tren Tiongkok mengekspansi penyebaran komoditas murah ke luar negeri serupa dengan “kejutan Tiongkok” yang pernah dialami Amerika Serikat dan perekonomian global pada akhir tahun 1990-an dan awal abad ke-21. Pada saat itu, masuknya barang-barang murah buatan Tiongkok menyebabkan hilangnya lapangan kerja di sektor manufaktur lokal. Menurut analisis Autor dan ekonom lainnya, bahwa diperkirakan ada lebih dari 2 juta pekerjaan di Amerika Serikat hilang antara tahun 1999 dan 2011 karena masuknya barang murah produksi Tiongkok.

Yellen : Pendekatan Tiongkok untuk meningkatkan perekonomiannya tidak akan berhasil

Menteri Keuangan AS Janet Yellen saat berkunjung di Guangzhou pada  Jumat (5 April) memperingatkan bahwa pendekatan otoritas Tiongkok untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya dengan mengekspor komoditasnya melalui dumping tidak akan membuahkan hasil.

“Tiongkok terlalu besar untuk mencapai pertumbuhan pesat melalui ekspor”, kata Yellen. Di Guangzhou, dia berulang kali memperingatkan Beijing agar tidak menjual barang-barang murah untuk meningkatkan perekonomian.

“Jika kebijakan (Partai Komunis Tiongkok) hanya berfokus pada penciptaan pasokan dibandingkan penciptaan permintaan, maka akan terjadi dampak limpahan global”, katanya.

Yellen juga mengatakan bahwa masyarakat internasional semakin kekhawatiran dengan munculnya dampak dari kelebihan kapasitas Tiongkok terhadap perekonomian global, sehingga isu ini menjadi fokus utama pertemuan ekonomi yang berlangsung selama 4 hari dengan para pejabat Tiongkok.

“Kelebihan kapasitas bukanlah masalah baru, namun masalah ini semakin parah saat ini dan kami melihat risiko-risiko baru yang sudah mulai muncul di bidang-bidang baru”, kata Yellen.

Yellen dan pejabat pemerintahan Biden lainnya semakin khawatir tentang kelebihan kapasitas pada kendaraan listrik Tiongkok, panel surya, semikonduktor, dan barang-barang lainnya yang membanjiri pasar global. Dia mengatakan bahwa hal ini selain buruk bagi Tiongkok juga merugikan produsen di negara lain.

Artikel Bloomberg sebelumnya telah menyebutkan bahwa peralihan dukungan pemerintah Tiongkok dari bidang real estat ke manufaktur dapat memicu perang dagang baru.

“Business Insider” dalam laporannya menyebutkan bahwa Neil Shearing, Kepala Ekonom di “Capital Economics” berpendapat tak peduli siapa yang akan terpilih sebagai presiden AS pada bulan November mendatang, bahwasanya kebijakan ekonomi yang diterapkan saat ini oleh Partai Komunis Tiongkok nantinya akan mengobarkan perang dagang.

Namun, Tiongkok tidak bereaksi terhadap kecaman global mengenai kebijakan dumping-nya. (sin)