Setelah beberapa dasawarsa menegakkan kebijakan satu-anak, termasuk dengan memaksa para wanita untuk menggugurkan anak-anaknya bahkan pada tahap akhir kehamilan mereka, Tiongkok sekarang tampaknya sangat ingin para wanita melahirkan. Sekarang, sebagai ganti dari meminta izin untuk melahirkan, wanita harus mendapatkan izin untuk melakukan aborsi.
Rejim Tiongkok memperkenalkan kebijakan satu-anak pada akhir tahun 1970-an sebagai bentuk kontrol populasi, dengan alasan populasi Tiongkok yang tumbuh cepat dan sumber daya terbatas. Setiap keluarga hanya diperbolehkan memiliki satu anak. Pelanggar dikenai denda atau secara brutal dipaksa untuk menggugurkan anak-anak mereka dan menjalani prosedur sterilisasi.
Karena kepercayaan tradisional bahwa anak laki-laki lebih mampu membantu rumah tangga sebagai orang tua, kebijakan ini menyebabkan banyak keluarga menggugurkan kehamilan untuk bayi perempuannya.
Bertahun-tahun kemudian, kebijakan tersebut telah menghasilkan ketidakseimbangan gender yang parah: Ada sekitar 115,4 anak laki-laki untuk setiap 100 anak perempuan di Tiongkok, menurut Bank Dunia.
Beban sosial mendorong rezim Tiongkok untuk menghapus kebijakan tersebut pada tahun 2015, yang memungkinkan pasangan memiliki anak kedua.
Di Provinsi Jiangxi, pihak berwenang baru-baru ini mengeluarkan aturan baru dalam upaya memaksa keluarga untuk memiliki lebih banyak anak.
Jiangxi Daily, sebuah koran yang dikelola negara, melaporkan pada 21 Juni bahwa Komisi Kesehatan dan Keluarga Berencana provinsi telah mengeluarkan pemberitahuan yang mewajibkan wanita yang ingin melakukan aborsi selama 14 minggu usia kehamilan mendapatkan persetujuan yang ditandatangani dari tiga profesional medis untuk membuktikan bahwa aborsi secara medis diperlukan.
Jika aborsi bukan karena alasan medis, wanita harus memberikan persetujuan dari badan “keluarga berencana” pemerintah, menurut laporan oleh Voice of America. Lembaga-lembaga seperti itu pernah bertugas menegakkan kebijakan satu-anak.
Karena ambang batas 14 minggu biasanya saatnya jenis kelamin janin dapat dideteksi, pengamat yakin bahwa ini adalah upaya pemerintah Tiongkok untuk mencegah orang-orang menggugurkan anak berdasarkan jenis kelamin mereka yang akan semakin memperparah ketidakseimbangan gender.
Ketidakseimbangan telah menghasilkan jumlah pria yang tidak proporsional yang mungkin bujangan selama sisa hidup mereka. Sementara itu, populasi cepat menua, dengan orang tua tidak dapat menghidupi bagi diri mereka sendiri, karena mereka hanya memiliki satu anak yang dihadapkan dengan beban kewajiban merawat orang tua serta kakek-nenek. Tenaga kerja juga menyusut.
Meskipun peluang besar bahwa rezim tersebut telah mencabut kebijakan satu-anak, wanita di beberapa wilayah di Tiongkok terus menghadapi tekanan untuk menggugurkan anak-anak mereka, termasuk ancaman dipecat dari pekerjaan mereka dan denda berat. Meningkatnya biaya hidup, dari mulai sewa rumah sampai susu formula, juga menyebabkan biaya membesarkan anak kedua di Tiongkok sangat mahal.
Akibatnya, jumlah kelahiran baru tidak meningkat secara signifikan setelah larangan tersebut dicabut. Pada tahun 2016, tahun pertama setelah kebijakan tersebut dicabut, jumlah bayi yang baru lahir naik 7,9 persen dari tahun 2015, pada 17,86 juta. Namun pada 2017, kelahiran turun menjadi 17,23 juta, menurut laporan Wall Street Journal, mengutip statistik resmi Tiongkok. (ran)
ErabaruNews