oleh Iswahyudi
Otoritarianisme di bidang agama, ilmu pengetahuan, dan politik semakin menjadi hal yang wajar. Sifat kompromi dan menyetujui otoritarianisme ini sebenarnya muncul dari ketidakberdayaan dan ketakutan. Akhirnya massa harus beradaptasi dan menyesuaikan diri dan harus mengikuti penguasa atau mengikuti otoritas kebiasaan, opini publik, dan harapan sosial.
Fenomena ini sudah diungkap oleh Psikolog Amerika, Rollo May pada 1953, di mana pada dekade-dekade itu dunia Barat perlahan-lahan terjebak dalam tirani. Sebuah negara pengawasan massal didirikan, penyensoran kebebasan berbicara, birokrasi kaku, dan peraturan yang mencekik menguasai lebih banyak bidang kehidupan, dan tarif pajak mencapai tingkat yang sangat tinggi yang sewaktu- waktu bisa menyulut revolusi.
Namun, beberapa tahun terakhir ini, jalan pelan menuju tirani berubah menjadi jalur bebas hambatan. Banyak negara-negara Barat tergoda dengan semangat pemerintahan totaliter. Kebebasan bisa dikorbankan demi berbuah ilusi kemakmuran.
Ironisnya sangat sedikit orang yang memiliki satu kebajikan (keberanian) yang dapat membalikkan arus balik ke jalur kebebasan. Ini disebabkan telah hilangnya ruh- ruh keberanian dari banyak hati massa. Keberaniaan dianggap banyak orang sebagai awal dari sebuah akhir (kematian) dan sesuatu yang konyol. Fenomena inilah yang disebut sebagai hiper-komformitas untuk tidak dikatakan sindrom kepengecutan.
Sindrom kepengecutan ini bukan terjadi secara alamiah tapi karena ada sekelompok penguasa yang tergoda dengan sistem tirani yang menurutnya lebih efektif dibanding sistem bebas dan sistem demokrasi yang semakin mahal karena budaya “politik uang”. Penguasa yang mengidamkan tirani ini menggunakan instrumen pengendali dan penakluk roh keberanian dengan sebuah metode yang disebut the wave of terror.
Sebuah serial ketakutan yang diluncurkan ke dalam ruang publik, yang bisa jadi itu dilegitimasi dengan peraturan-peraturan yang sangat condong melindungi kepentingan sang penguasa. Serial teror itu akhirnya menyebabkan massa terkungkung dalam medan ketakutan atau penjara teror pikiran sehingga memunculkan suatu sindrom hiper-konformitas, yang berakhir pada kepatuhan buta. Dan pada akhirnya kepatuhan buta itu menjadi ladang tumbuh suburnya otoritarianisme.
Skenario Tiran untuk Menciptakan Massa yang Pengecut (Mass Conformist)
Ada beberapa langkah yang biasa ditempuh oleh para tiran untuk menancapkan kuku-kuku otoritarianisme.
Pertama, merusak pikiran waras massa. Para tiran selalu memulai dari pikiran. Memahami pola pikir massa, memengaruhinya dan mengeksploitasi pikiran massa untuk melanggengkan kekuasaan dan pengaruhnya. Sekelompok massa yang sudah lama menderita, dan jauh dari harapan sejahtera walaupun sistem bebas telah dijalankan, bisa menjadi sasaran empuk para tiran.
Para tiran menciptakan mesin propaganda untuk memutarbalikkan pikiran waras massa walaupun terkadang dibalut dengan impian dan janji manis. Para tiran sering membujuk dengan mantera: “Kebebasan itu barang mewah, yang penting bisa sejahtera” atau “Hilangnya kebebasan adalah biaya untuk memperoleh kemakmuran ekonomi”.
Kedua, menciptakan sang penyelamat palsu atau pemimpin boneka. Ketika massa yang sudah diambang putus asa, biasanya mereka masih punya satu harapan yaitu munculnya sang “penyelamat yang dinantikan”, mesias, ratu adil, satrio piningit, dan sejenisnya. Ibarat seorang musafir yang dahaga di tengah Gurun Sahara, fata- morgana pasti dianggap sebuah oase. Sang tiran menciptakan politik pencitraan yang memikat massa untuk menghantarkan ke kursi kekuasaan. Di negara demokrasi yang masih labil ini, bisa menggunakan industri konsultan politik untuk memoles sosok yang biasa saja, menjadi seorang yang seolah bisa memberikan harapan perubahan. Propaganda diulang-ulang, dan akhirnya menjadi keyakinan, kebenaran, dan harapan publik. Paling tidak, targetnya separuh lebih massa percaya dengan janji manis.
Ketiga, politik belah bambu. Setelah sang penguasa boneka atau sang penye- lamat palsu sudah sampai di panggung kekuasaan, terkadang banyak janji manis dan program sulit diwujudkan. Memang mudah membuat janji, tapi sangat sulit menepatinya. “Janji adalah hutang, kalau berhutang hanya cukup dibayar dengan janji,” begitulah mantra khas para pemimpin boneka itu. Jalan yang paling mungkin dan murah untuk janji politik yang tak pernah ditepati adalah dengan cara mengalihkan perhatian atau mengeluarkan anestesi politik.
Salah satu jalannya adalah membelah massa menjadi dua kubu yang terus- menerus berseteru dengan urusan remeh- temeh sehingga melupakan masalah yang paling penting yaitu menagih janji-janji sang penyelamat palsu. Biasanya setiap ada kasus skandal besar yang menyentuh sang penguasa dan kroninya, akan diciptakan secara serial dan berjilid drama perkelahian massa yang menyulut emosi publik, sehingga demensia publik terhadap masalah yang fundamental terlupakan.
Di era digital ini biasanya sang tiran membentuk sekelompok pendengung untuk menyulut kemarahan publik, membela kepentingan sang tiran dan membunuh karakter mereka yang disebut oposan.
Keempat, membuat hukum yang buruk untuk membela sang tiran dan menghukum liyan (the others, oposisi, peng- kritik). Sang tiran juga manusia, punya perasaan dan harga diri yang ingin dijaga segenap jiwa. Walaupun ia sangat otoriter, ia tak ingin dilihat sebagai pemimpin yang melanggar hukum dan konstitusi. Maka bersama para elite yang pengecut dan gila kuasa juga, mereka merancang hukum untuk membela kepentingan mereka dan menjerat para pengkritik. Bagi para tiran, hukum bukan untuk menegakkan ke- adilan tapi membela kepentingan sendiri dan menghukum orang yang dianggap tak patuh dan pembangkang.
Kelima, membuat serial gelombang teror. Bagi tiran komunis yang tak punya nilai kemanusiaan, mereka secara berkala melakukan pembantaian terhadap musuh kelas. Tapi di negara yang demokrasi yang labil ini bisa berbentuk teror undang-undang yang secara subtansi bertentangan dengan nilai demokrasi itu sendiri. Di berbagai negara yang demokrasinya labil, mereka memberlakukan undang-undang yang menjerat para pengkritik tiran dengan tuntutan ujaran kebenciaan, pencemaran nama baik dan sejenisnya.
Di era pandemi para penguasa tiran, dan penguasa di dalam hatinya ada niat untuk menjadi tiran, menemukan momentum untuk mencuri demokrasi dengan alasan kedaruratan pandemi. Kebebasan berkumpul dibatasi, mandat vaksin yang berlawanan dengan kebebasan medis warga digunakan untuk sarana mendiskriminasi, agenda pemilu diundur, masa jabatan diperpanjang, dan lain sebagainya.
Para pelanggar peraturan pandemi dari kelompok pengkritik sang tiran dan oposisi segera dituntut pengadilan, sementara tiran dan para kroni yang melanggar aturan akan bebas melenggang. Pada titik ini tiran sering beralibi bahwa “I am the law, I’m above the law”. Stalin pernah mengatakan jalan yang paling sempurna untuk menjadi tiran adalah melalui layanan kesehatan. Dengan sistem kendali layanan kesehatan, massa kehilangan kebebasan atas tubuhnya sendiri.
Keenam, membabat habis kelompok oposisi. Para tiran yang akut, berpikiran bahwa ia ingin berkuasa seumur hidup. Dia tidak ingin satu tiupan angin pun membuatnya terjungkal dari singgasana. Kritik dan saran pun dianggap sebagai sebuah ancaman. Maka untuk tujuan ini ia berusaha menghabisi siapa saja yang berpotensi membuat ia terjungkal. Zero opposition harus diwujudkan. Ia lupa bahwa orang-orang di sekelilingnya akan menjadi sekawanan yes man dan para penjilat yang selalu ingin menyenangkan hatinya. Ini pada akhirnya akan menjadi bumerang pagi sang tiran untuk membuat kekuasaan- nya segera berakhir.
Ketujuh, terperangkap massal dalam penjara teror. Fenomena ini terjadi di rezim Partai Komunis Tiongkok (PKT). Pada era digital ini, raja tiran abad ini, PKT, telah membuat teknologi sebagai palu dan arit untuk membabat habis segala pikiran yang berusaha menetang kuasa PKT. Sistem kredit sosial dan tembok api digital telah mengurung jiwa keberanian warganya untuk menemukan kebebasan dan pembebasan yang sesungguhnya.
Membangkitkan Kembali Roh Keberanian
Kebebasan sejatinya adalah hak yang diberikan oleh Tuhan, yang tak bisa dicabut oleh manusia lain dengan alasan apapun. Namun dalam kenyataannya, kebebasan menjadi ancaman bagi setiap tiran atau rezim otoriter. Ketika kebebasan menjadi barang mewah di rezim-rezim otoriter, bagaimana membangkitkan kembali roh keberanian dari massa untuk merebut kembali hak kebebasan itu? Berikut beberapa pelajaran sejarah atau beberapa cara yang bisa menginspirasi mereka yang sedang dicengkeram oleh rezim tiran:
Pertama, Jalan Pestov dari Uni Soviet. Pada 1967, Pestov adalah seorang remaja berusia 20 tahun yang tinggal di Uni Soviet. Terlahir dari keluarga mapan dan ibunya adalah perwira tinggi KGB. Pestov terpanggil ketika rezim komunis Soviet menindas pendemo yang dikenal sebagai Musim Semi Praha, Pestov mengajak rekan-rekannya untuk melawan. Ia mendirikan kelompok klandestin disebut “Rusia Bebas”, dengan menyebarkan pamplet yang menguak kebohongan rezim Soviet. Ia tahu resiko dari aksinya adalah masuk penjara. Dan benar, ia mendekam 5 tahun di kamp penjara Soviet dan ibunya dipecat dari jabatannya. Namun nuraninya tak bisa diam melihat rezim Soviet yang korup menghancurkan kehidupan jutaan orang. Dia sangat sadar bahwa ia tak bisa mengandalkan orang lain untuk mendobarak pintu kebebasan, kecuali dirinya sendiri yang memulai langkah awalnya yang berani. Dia memilih untuk menghadapi bahaya, bertarung untuk kebebasan, dan menempatkan sebagian dari nasib masyarakat di punggungnya.
“Seseorang harus menjadi emas miliknya (kebebasan) sendiri sebagai sebuah takdir. Saya yakin saya melakukan hal yang benar. Saya tidak diam. Saya mengatakan dan melakukan apa yang harus saya lakukan. Ada kontribusi saya yang sangat kecil bahwa komunis didorong kehabisan tenaga,” ungkap Pestov. Dan akhirnya rezim komunis Uni Soviet runtuh oleh dirinya, meminjam tangan Gorbacev dengan glasnost dan perestroika.
Kedua, Jalan praktisi Falun Dafa menentang penindasan rezim Partai Komunis Tiongkok. Ketika komunis Soviet runtuh tak berarti komunisme telah mati total. Luput dari perhatian dunia, PKT melakukan Revolusi Kebudayaan dan serangkaian revolusi yang menelan puluhan juta korban kematian tak wajar dan rusaknya tradisi Tiongkok yang adiluhung.
Secara berkala PKT selalu menciptakan musuh bersama (musuh kelas) untuk dijadikan bahan bakar mengobarkan revolusi komunisnya yang haus darah, seperti pembantaian mahasiswa di Tiananmen 1989, penindasan Falun Gong (Falun Dafa) pada Juli 1999 sampai sekarang, dan penindasan jutaan Muslim Uyghur.
Ada yang unik dalam penindasan Falun Gong, walaupun sudah lebih 20 tahun mereka ditindas dan banyak praktisinya yang menjadi “bank hidup” industri transplantasi organ, tapi keberanian dan persistensi menentang penindasan PKT yang pengaruhnya mengglobal tak pernah surut. Dengan perlawanan damai mereka menginspirasi orang bagaimana perang melawan kejahatan.
Segala cara yang mungkin ditempuh untuk menyadarkan orang-orang di seluruh dunia dilakukan tanpa pamrih. Mereka mengingatkan bahwa diam terhadap kejahatan di manapun itu haram, dan suatu saat tulahnya akan mengejar kita. “Injustice at somewhere is a threat justice anywhere.”
Rezim PKT masih kokoh berdiri tapi siapa tahu itu hanya tampilannya saja. Barangkali menunggu orang-orang di dunia menghapus kekaguman terhadapnya? Apa yang tidak lapuk dimakan oleh Sang Waktu? (et)