Tang Hao
Akankah AS menggunakan perundingan ekonomi dagang untuk mendorong Beijing bagi perbaikan lebih lanjut dalam hal kebebasan beragama dan juga HAM? Jawabannya akan segera terungkap.
Perundingan dagang AS-RRT yang disoroti masyarakat luas telah mencapai dua putaran, Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross minggu ini (31/05) memimpin rombongan berkunjung ke Tiongkok, untuk melangsungkan perundingan putaran ketiga.
Tapi menjelang perundingan putaran ketiga itu, tanggal 29 Mei lalu Kemenlu AS mengumumkan “Laporan Kebebasan Beragama Internasional Tahun 2017”, walaupun ini adalah ke-18 kalinya AS merilis buku laporan ini, namun mayoritas tahun-tahun sebelumnya laporan baru dirilis di bulan Juli atau Agustus bahkan lebih lama lagi, akan tetapi tahun ini di luar dugaan laporan telah dirilis di akhir bulan Mei; dalam hal ini ada beberapa faktor yang membuat laporan kali ini menarik untuk dicermati.
Trump Kuasai Masalah Internasional, Kerahkan Jurus Jaga Kebebasan Agama
Pertama-tama, walaupun ini adalah “Laporan Kebebasan Beragama Internasional” kedua yang dirilis di masa jabatan Presiden Trump, namun ini merupakan buku laporan yang diserahkan Trump setelah menyelesaikan rangkuman pengalamaan satu tahun karirnya sebagai presiden.
Dari jurus proaktif Trump terhadap masalah internasional, termasuk masalah Korut, Iran, Yerusalem yang dikenal merupakan masalah pelik, tidak sulit dilihat bahwa Trump telah menguasai lebih luas masalah internasional yang ada, di saat yang sama juga dengan tegas mendorong prinsip keamanan internasional yakni “anti sayap kiri, anti terorisme dan perlindungan terhadap HAM”, untuk mewujudkan janji kampanyenya.
Dan sejak Trump menjabat, berulang kali ia meluruskan kembali makna penting agama bagi nilai tradisi dan ketentraman sosial Amerika, juga berulang kali menandatangani instruksi administratif dan menyampaikan pidato, bahwa dirinya akan menjamin kebebasan beragama.
Oleh sebab itu, dalam kali ini “Laporan Kebebasan Beragama Internasional”, apakah pemerintah Trump dapat lebih lanjut memberi tekanan terhadap Beijing dalam hal nilai-nilai universal seperti soal kebebasan beragama dan masalah HAM? Apakah akan mengungkap lebih banyak masalah penindasan HAM oleh PKT dibandingkan pemerintahan Obama dan sebelumnya? Apakah akan ada lebih banyak pernyataan sikap dan dorongan? Hal ini patut diperhatikan.
Perundingan Dagang AS-RRT Mungkin Peluang Dorong HAM dan Agama di RRT
Selain itu, saat ini bertepatan dengan periode krusial perundingan dagang AS-RRT, sebelumnya memanfaatkan perundingan ekonomi dagang pemerintah Trump telah berhasil memberi tekanan pada pihak RRT atas masalah nuklir Korut, dan menimbulkan dampak tertentu; kini, bagi seorang Trump yang mengutamakan agama dan HAM, akankah ia memanfaatkan langkah yang sama untuk menyoroti masalah HAM di Tiongkok, mendorong kebebasan beragama?
Mungkin ada yang berpendapat, perundingan AS-RRT telah memasuki faktor nuklir Korut, jika ingin memasukkan masalah agama dan HAM ke dalamnya, bukankah akan membuat perundingan menjadi lebih rumit dan sulit tercapai kesepakatan?
Memang demikian. Tapi dari berkali-kali transaksi besar sepanjang karirnya di bidang properti, hampir setiap kali menyangkut banyak faktor, dengan perundingan negosiasi yang sangat kompleks, bahkan pengacaranya sendiri pun merasa sangat rumit.
Dan semua transaksi itu, selalu mengandalkan logika Trump yang jernih, inovasi yang unik, keberanian yang besar, ditambah intuisi yang tajam serta mampu menangkap peluang yang tepat, beraksi cepat, sehingga transaksi bisa berlangsung lancar dan perundingan sukses, juga membawanya mencapai keberhasilan yang sulit tertandingi orang lain.
Oleh karena itu, akankah pemerintah Trump memanfaatkan kesempatan perundingan dagang AS-RRT, tidak hanya menekan pihak RRT atas masalah nuklir Korut, tapi juga mendesak RRT untuk mereformasi kondisi HAM dan kebebasan beragama di Tiongkok, ini adalah fokus pengamatan penting berikutnya.
Duta Baru Kebebasan Beragama Internasional, Fokus Pada HAM di Tiongkok
Selain itu, laporan ini juga menyebut mantan gubernur negara bagian Texas yakni Sam Brownback yang pada tanggal 1 Februari lalu menjabat sebagai Duta Kebebasan Beragama Internasional untuk kali pertama menyampaikan laporan kebebasan beragama.
Di masa Brownback menjabat sebagai senator federal, ia banyak memfokuskan pada masalah internasional dan penindasan agama dan HAM di Tiongkok, mendorong banyak undang-undang dan aktivitas terkait perlindungan kebebasan beragama. Ia juga mendukung Falun Gong, mengecam kelompok Jiang Zemin yang melakukan penindasan ilegal.
Komisi Kebebasan Beragama Ungkap Perampasan Organ Tubuh Para Tahanan Nurani
Selain itu, badan independent lintas partai yang bernaung di bawah pemerintah federal AS yakni “Komisi Kebebasan Beragama Internasional Amerika” (USCIRF), pada laporan tahunan yang dirilis pada 25 April lalu menunjukkan, “kondisi kebebasan beragama semua negara di seluruh dunia di tahun 2017 terus memburuk”, dan merekomendasikan Kemenlu untuk memasukkan RRT, Korut, Iran dan 16 negara lainnya ke dalam daftar “negara yang patut diawasi”.
Faktanya, dalam “Laporan Kebebasan Beragama” yang dilansir kali pertama oleh Kemenlu AS sejak tahun 1999, RRT telah masuk ke dalam daftar “negara yang patut diawasi” selama 16 tahun berturut-turut. USCIRF mengkritik PKT yang masih terus menindas kejam umat muslim Uighur di Xinjiang, umat Buddha di Tibet, umat Kristen, dan juga para praktisi Falun Gong.
USCIRF pun langsung menuding mantan Wakil Menteri Kesehatan RRT Huang Jiefu ikut terlibat langsung dalam kasus ini, “Para kritikus mendapati bahwa dia (Huang Jiefu) merupakan tokoh yang terlibat langsung dan berpengaruh besar dalam operasi cangkok organ dan pada proyek transplantasi organ di Tiongkok.”
Oleh karena itu USCIRF merekomendasikan pemerintah AS agar menuntut PKT mencabut seluruh larangan terhadap Falun Gong, dan melakukan penyelidikan independen kekejaman penindasan dan perampasan organ oleh PKT terhadap penganut kepercayaan. Seberapa besar pengaruh dari laporan usulan USCIRF kepada pemerintah federal terkait masalah kebebasan beragama pada laporan tahunan Kemenlu, ini juga akan menjadi fokus perhatian.
Mengapa Rezim Komunis Selalu Tindas Agama?
Terakhir, yang patut dicermati, melihat daftar 16 negara “yang patut diawasi” dengan masalah kebebasan agama yang serius, selain RRT, Korut, Vietnam yang merupakan rezim komunis serta Rusia yang dikenal sebagai negara asal komunis; ada dua negara rezim komunis lain yakni Kuba dan Laos masuk dalam daftar “negara yang patut diawasi tingkat dua”. Apakah ini hanya suatu kebetulan? Tentu saja tidak.
Membaca kembali “9 komentar” yang dirilis surat kabar Epoch Times di tahun 2004, sampai “Tujuan Terakhir Komunisme” yang dirilis di tahun 2017, dan juga serial artikel “Setan & Iblis Tengah Menguasai Dunia Kita” yang dimuat di situs Epoch Times, semuanya mengerucut dan menyimpulkan bahwa komunisme adalah paham sesat, yang berniat menghancurkan norma-norma tradisi, yang bertujuan merusak moralitas dan hati nurani manusia, setahap demi setahap, dalam rangka mencapai tujuannya memusnahkan umat manusia.
Dengan PKT sebagai contoh, walaupun kelihatannya mempropagandakan “atheisme”, namun pada dasarnya adalah menindas agama kepercayaan dan ke-Tuhan-an, mendewakan partai komunis sendiri, memaksa rakyat untuk memuja ajaran sesat yang diyakininya.
Hanya pada permukaannya menggunakan organisasi parpol dan tidak berwujud sebagai kelompok agama, lalu dikemas dengan “sekularisasi” agar dapat mengelabui manusia, lebih sulit dideteksi sifat ajaran sesatnya, sehingga mudah untuk percaya pada ajaran “atheisme” tersebut, untuk kemudian menghancurkan moral dan menyebabkan kekacauan.
Di AS, Trump secara proaktif melindungi agama dan kebebasan beragama, serta mengingatkan warga, “Kita tidak memuja pemerintah, kita memuja Tuhan.” Di Tiongkok, PKT terus menindas agama dan meminta warga untuk “mengikuti partai selamanya” melalui corong propagandanya.
Membandingkan keduanya, terefleksi rezim komunis berupaya menggantikan agama tradisional dengan “ajaran sesat partai politik”, juga menjelaskan alasan PKT terus menindas dan menganiaya kebebasan beragama selama ini; di saat yang sama juga membuktikan kebenaran pengamatan USCIRF yang telah memasukkan rezim komunis ke dalam daftar “negara yang patut diawasi”. (SUD/WHS/asr)
Artikel ini sudah diterbitkan di Epochtimes versi cetak bahasa Indonesia Edisi 557 dengan judul Periode Krusial Negosiasi Dagang, Mampukah AS Dorong Agama dan HAM di Tiongkok?