Home Blog Page 1829

Tak Ada WNI yang Menjadi Korban Insiden Minggu Paskah Berdarah di Sri Lanka

0

Epochtimes.id. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri RI menyatakan mengecam keras aksi pengeboman di berbagai lokasi di Sri Lanka pada 21 April 2019, sekitar pukul 09:00 waktu setempat.

Melalui siaran pers Kemenlu, Pemerintah dan rakyat Indonesia menyampaikan duka cita mendalam kepada korban dan keluarga korban.

Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kolombo terus memantau perkembangan situasi dan telah berkoordinasi dengan otoritas keamanan, rumah sakit dan Perhimpunan WNI setempat.

“Hingga saat ini tidak ada informasi mengenai WNI yang menjadi korban dalam insiden tersebut,” demikian keterangan resmi Kemenlu.

Terdapat sekitar 374 WNI di Sri Lanka, termasuk sekitar 140 orang di Kolombo, Ibu Kota Sri Lanka.

Pemerintah Indonesia meyakini bahwa Pemerintah Sri Lanka dapat mengatasi situasi dengan baik, dan juga bersedia memberikan bantuan yang diperlukan.

Pemerintah menghimbau agar WNI di Sri Lanka untuk tetap waspada dan berhati-hati serta mengikuti arahan dari otoritas keamanan setempat.

Bagi keluarga dan kerabat yang membutuhkan informasi lebih lanjut dan bantuan konsuler, dapat menghubungi hotline KBRI  Kolombo +94​​772773123. (asr)

Parlemen Eropa Umumkan Rancangan Resolusi Sanksi Terhadap Komunis Tiongkok Atas Pelanggaran HAM

0

Zhou Yimin – Ottawa, Kanada

Epochtimes.id- Parlemen Eropa, pada Kamis 18 April lalu mengumumkan rancangan resolusi baru untuk menyerukan sanksi terhadap pejabat komunis Tiongkok yang melanggar hak asasi manusia. Resolusi ini juga menyerukan penghentian ekspor teknologi jaringan internet ke Tiongkok.

Hal yang disorot oleh parlemen Eropa lainnya adalah resolusi menyerukan pembebasan tiga warga Kanada yang saat ini ditahan di Tiongkok.

Suara bulat dari Parlemen Eropa itu menyerukan pembebasan segera tahanan nurani yang ditahan secara sewenang-wenang, termasuk praktisi Falun Gong.

Tuntutan pembebasan segera terhadap sejumlah besar warga Uighur, Tibet, dan orang-orang yang ditahan karena keyakinan mereka, termasuk Qian Sun, seorang warga negara Kanada, menjadi keputusan bulat dari parlemen Eropa itu.

Warga negara Kanada, Qian Sun adalah pendiri Beijing Leadman Biochemistry Co. Dia ditangkap dan ditahan oleh otoritas Tiongkok di Beijing pada Februari 2017 lalu karena berlatih Falun Gong. Sun disiksa dan diperlakukan dengan buruk selama ditahan agar melepaskan keyakinannya.

Resolusi Uni Eropa ini juga mengisyaratkan agar rezim Komunis Tiongkok untuk segera membebaskan dua warga negara Kanada Michael Spavor dan Michael Kovrig.

Spavor adalah pengusaha dan Kovrig adalah mantan diplomat Kanada di Beijing. Keduanya ditangkap di Tiongkok pada 10 Desember 2018.

Masyarakat Barat secara luas percaya bahwa mereka ditahan sebagai aksi sandera politik komunis Tiongkok. Pasalnya, wakil ketua badan direktur dan ketua jabatan keuangan Huawei, Meng Wanzhou, ditangkap di bandara Vancouver pada 12 Desember lalu.

Meng Menzhou kini mengahadapi proses ekstradisi ke Amerika Serikat dan dibalas oleh komunis Tiongkok dengan menangkap warga Kanada. (Jon/asr)

Video Rekomendasi : 

https://www.youtube.com/watch?v=SEpSWrlXUiA

 

Rompi Kuning Prancis Marah dan Bakar Ban di Jalan Raya Akibat Kebakaran Notre Dame

0

Paris — Para demonstran dari kelompok rompi-kuning Prancis membakar ban dan benda-benda lainnya di sepanjang rute perjalanan memenuju Kota Paris pada Sabtu, 20 April 2019 lalu. Mereka membawa pesan tuntutan kepada pemerintah yang mereka lihat tidak memperjuangkan permasalahan rakyat miskin.

Pembangunan kembali Katedral Notre Dame yang dilanda kebakaran dinilai bukan sebagai masalah rakyat miskin, dan bukan satu-satunya masalah yang perlu dipecahkan oleh pemerintah Prancis.

Seperti rompi visibilitas tinggi yang dikenakan para pengunjuk rasa, kebakaran kecil yang tersebar di Paris tampaknya merupakan permintaan kolektif kepada pemerintah untuk mengatakan, “Lihatlah kami, kami juga butuh bantuan!”

Polisi menembakkan meriam air dan menyemprotkan gas air mata untuk mencoba mengendalikan unsur-unsur radikal di pinggiran pawai yang sebagian besar damai. Aksi kekerasan mewarnai keseluruhan aksi di sekitar Paris dan kota-kota Prancis lainnya, yang mayoritas berlangsung damai dan tertib.

Petugas pemadam kebakaran Paris, yang berjuang awal pekan lalu untuk mencegah bangunan Notre Dame abad ke-12 runtuh, dengan cepat merespon untuk memadamkan api unggun yang bermunculan pada aksi protes hari Sabtu (20/4/2019).

Seorang pemrotes bertopeng dan berpakaian serba hitam melompat ke atas sebuah Mercedes yang diparkir di sepanjang rute perjalanan, menghancurkan kaca depan dan belakangnya.

Markas besar kepolisian Paris mengatakan pihak berwenang menahan 137 orang menjelang sore dan melakukan pemeriksaan mendadak terhadap lebih dari 14.000 orang yang mencoba memasuki ibukota untuk bergabung dengan aksi protes hari Sabtu.

Ketegangan tersebut terpusat pada pawai beberapa ribu orang yang dimulai di Kementerian Keuangan di Paris timur untuk menuntut pajak yang lebih rendah bagi pekerja dan pensiunan, serta pajak yang lebih tinggi bagi orang kaya.

Kelompok lain yang beranggotakan 200 orang mencoba berbaris dan berjalan menuju presiden Istana Elysee di pusat kota Paris. Namun, polisi anti huru hara memblokir mereka di Gereja neo-klasik Madeleine.

Namun kelompok lain berusaha mendemonstrasikan rompi kuning berkabung karena kobaran api Notre Dame sembari tetap menjaga tekanan pada Macron. Mereka ingin berbaris ke Notre Dame, tetapi dilarang oleh polisi, yang membuat perimeter keamanan besar di sekitar daerah itu.

Seorang pemrotes membawa salib kayu besar yang menyerupai yang dibawa dalam prosesi Jumat Agung ketika dia berjalan di atas tanggul Paris di dekatnya.

Pada 24 November 2018, rompi kuning berbaris demonstran membakar bentrokan dengan polisi di Champs Elysées. (AFP vai EpochWeekly)

Sekitar 60.000 petugas polisi dimobilisasi untuk mengamankan aksi protes Sabtu di seluruh Prancis. Gerakan ini sebagian besar damai tetapi ekstrimis yang terlibat aksi, justru menyerang monumen, toko, dan bank serta bentrok dengan polisi.

Kehadiran polisi bersenjata berat membuat stasiun kereta bawah tanah dan jalan-jalan di sekitar Paris ditutup pada hari Sabtu. Suasana yang menggagalkan upaya wisatawan yang mencoba menikmati ibukota Prancis pada hari musim semi yang hangat.

“Paris sangat sulit sekarang,” kata Paul Harlow, wisatawan dari Kansas City, Missouri, ketika dia memandang sedih pada Notre Dame yang rusak.

Dia dan istrinya, Susan berada di Paris hanya selama beberapa hari dan gagal berkesempatan untuk melihat katedral. Pada hari Sabtu, upaya mereka untuk mengunjungi museum juga gagal karena kereta bawah tanah yang tertutup dan jalan-jalan dibarikade.

“Kurasa kita tidak akan kembali,” katanya.

Pengunjung lain menunjukkan solidaritas dengan aksi rompi kuning.

“Saya tidak tertarik bergabung dengan mereka, tetapi saya bisa mengerti apa yang mereka marahi,” kata Antonio Costes, seorang pensiunan dari pinggiran Montreuil Paris yang datang Sabtu untuk melihat kerusakan pada Notre Dame. “Ada banyak ketidakadilan.”

Macron telah dijadwalkan untuk memberikan tanggapannya terhadap kekhawatiran rompi kuning pada Senin malam. Akan tetapi membatalkan pidatonya karena kebakaran Notre Dame terjadi. Dia sekarang diharapkan untuk melakukannya Kamis depan.

Beberapa kritik rompi kuning menuduh Macron mencoba mengeksploitasi api untuk keuntungan politik. Seorang pengunjuk rasa membawa sebuah tanda yang menarget Macron yang berbunyi, “Pyromaniac, kami akan membuat Anda menjadi karbon.”

Spanduk besar lainnya berbunyi, “Victor Hugo berterima kasih kepada semua donor dermawan yang siap menyelamatkan Notre Dame dan mengusulkan agar mereka melakukan hal yang sama dengan Les Miserables,” merujuk pada novel penulis terkenal tentang katedral dan perjuangan kaum miskin Prancis.

Sejumlah tokoh rompi kuning yang sebelumnya sudah sempat berhenti ikut serta dalam aksi protes mengatakan, mereka kembali turun ke jalan pada hari Sabtu karena merasa semakin diabaikan sejak tragedi Notre Dame. (THE ASSOCIATED PRESS/The Epoch Times/waa)

Video Pilihan :

https://youtu.be/M_mC5lLx2Ow

Simak Juga :

https://youtu.be/rvIS2eUnc7M

FBI Tangkap Pemimpin Kelompok Sipil Bersenjata Yang Menangkapi Imigran Gelap

0

EpochTimesId – Penegak hukum Amerika Serikat, FBI menangkap pemimpin kelompok sipil bersenjata akhir pekan lalu. Kelompok sipil bersenjata tersebut sempat hendak menangkapi imigran ilegal yang baru saja melintasi perbatasan AS-Meksiko ke New Mexico.

Larry Hopkins, 69, juga dikenal sebagai Johnny Horton, ditangkap di Sunland Park, New Mexico, atas laporan federal yang menuduhnya sebagai penjahat yang memiliki senjata api dan amunisi, menurut sebuah pernyataan oleh FBI.

“Kami tidak khawatir tentang hal itu, Dia akan dibereskan,” kata Jim Benvie, juru bicara United Constitutional Patriots (UCP), kelompok sipil bersenjata yang telah menahan lebih dari 5.600 imigran ilegal dalam dua bulan terakhir.

Benvie menyalahkan penangkapan atas tekanan politik dari Gubernur negara bagian New Mexico dari Partai Demokrat, Michelle Lujan Grisham, yang memerintahkan penyelidikan terhadap kelompok itu setelah Uni Kebebasan Sipil Amerika (ACLU) menuduh UCP menahan imigran gelap secara ilegal.

Hopkins adalah ‘komandan nasional’ UCP, yang belasan anggota mereka berkemah secara bergiliran di dekat Taman Sunland sejak akhir Februari 2019.

UCP menggambarkan dirinya sebagai ‘kelompok patriot’, yang membantu Patroli Perbatasan AS dalam mengatasi sejumlah besar keluarga Amerika Tengah yang melintasi perbatasan guna mencari suaka.

“Kami di sini untuk menegakkan Konstitusi Amerika Serikat. Kami menjunjung tinggi alasan ini terhadap semua musuh baik asing maupun domestik, yang akan melanggar hak-hak warga negara yang diberikan oleh Konstitusi,” demikian keterangan kelompok itu di Facebook.

Anggota UCP berpakaian kamuflase dan membawa senapan untuk pertahanan diri.

Video yang diposting online oleh grup itu menunjukkan anggota mengatakan kepada migran untuk berhenti, duduk, dan menunggu agen datang.

Situs crowdfunding PayPal dan GoFundMe pada 19 April 2019 melarang grup ini untuk mengumpulkan donasi melalui website itu. Mereka menggunakan alasan kebijakan untuk tidak mempromosikan kebencian atau kekerasan. ACLU, tanpa bukti, menyebut UCP sebagai ‘milisi fasis’.

“Penangkapan hari ini oleh FBI menunjukkan dengan jelas bahwa aturan hukum harus berada di tangan pejabat penegak hukum yang terlatih, bukan petugas keamanan bersenjata,” Jaksa Agung New Mexico Hector Balderas mengatakan dalam sebuah pernyataan tentang penangkapan terhadap Hopkins. Pada 18 April, Balderas menyarankan kelompok itu untuk tidak mengambil kewenangan yang disediakan untuk aparat penegak hukum ke tangan mereka sendiri.

Hopkins sebelumnya pernah ditangkap di Oregon pada 2006 karena dicurigai menyamar sebagai perwira polisi dan menjadi penjahat yang memiliki senjata api, menurut Pusat Hukum Kawasan Miskin Selatan, sebuah kelompok paling kiri yang terkenal dengan daftar pengawasan kebenciannya yang kontroversial.

Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan AS mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa AS tidak mendukung warga yang mengambil penegakan hukum ke tangan mereka sendiri. Sebagai gantinya, mereka mendorong masyarakat untuk menjadi mata dan telinga di perbatasan.

Benvie mengatakan UCP melakukan hal itu dan mendapat dukungan Patroli Perbatasan dan polisi setempat. Sebagian besar veteran militer, anggota UCP membawa senjata untuk membela diri dan tidak pernah menodong atau menembak imigran, seperti yang dituduhkan kepada mereka.

Meskipun sumber dana terputus, Benvie mengatakan dukungan online terhadap kelompok itu membengkak sejak diserang pendukung Demokrat minggu ini. Pengikut Facebook-nya telah meningkat dua kali lipat sejak 17 April menjadi hampir 5.000 orang.

Benvie mengatakan kelompok mereka mungkin akan pergi jika diperintahkan oleh polisi negara bagian; Namun, jika perintah tersebut melanggar hak konstitusional grup, UCP akan menggugat negara bagian New Mexico.

“Tidak akan ada kebuntuan, ini bukan Peternakan Bundy,” kata Benvie, mengacu pada konfrontasi bersenjata 2014 di Nevada.

Amerika Serikat menghadapi gelombang migran dari Meksiko dan Amerika Tengah dalam beberapa tahun terakhir. Jumlah penyeberangan ilegal sudah mencapai 1 juta orang tahun ini. Sebagian besar migran bepergian dengan anggota keluarga untuk mengeksploitasi celah hukum dalam sistem suaka yang memaksa otoritas imigrasi untuk melepaskan para migran ke dalam wilayah Amerika Serikat dalam 20 hari atau kurang.

Gedung Putih dan Partai Republik di Kongres sedang mengusahakan upaya untuk memperbaiki celah suaka dan sistem imigrasi secara lebih luas. (IVAN PENTCHOUKOV dan Reuters/The Epoch Times/waa)

Video Pilihan :

https://youtu.be/M_mC5lLx2Ow

Simak Juga :

https://youtu.be/rvIS2eUnc7M

Operasi Kontra Intelijen FBI, Puluhan Visa Mahasiswa Tiongkok Terancam Dibatalkan

0

Lin Biao

Erabaru.net. Operasi kontra intelijen yang diluncurkan FBI membuat dibatalkannya atau dipertimbangkannya kembali terhadap pemberian 30 visa Amerika untuk mahasiswa Tiongkok pada tahun lalu. Sejumlah pakar menyebutkan bahwa langkah ini akan menghasilkan banyak efek.

Pada Januari tahun lalu, Zhu Feng, Direktur The Collaborative Innovation Center of South China Sea Studies of Nanjing University berkunjung ke Amerika Serikat untuk sebuah pertemuan. Namun, saat transit di Los Angeles untuk kembali ke Tiongkok, dia dihentikan oleh dua agen FBI.

Ketika itu, Zhu Feng langsung diintrogasi tentang hubungannya dengan militer Komunis Tiongkok, Kementerian Luar Negeri dan agen-agen intelijen Komunis Tiongkok. Zhu Feng mengatakan “no comment” terkait hubungan dirinya dengan Kementerian Luar Negeri.

Agen FBI memintanya untuk menyerahkan paspor dan menghapus visa 10-tahun Amerika Serikat yang didapatkannya dengan pena hitam.

Deretan lainnya yang dicabut visanya adalah Wu Baiyi yang menjabat sebagai Direktur Institute of American Studies (IAS) Chinese Academy of Social Sciences (CASS) atau Institut Amerika Akademi Ilmu Sosial Tiongkok, dan Lu Xiang, seorang ahli masalah Amerika di Akademi Ilmu Sosial Tiongkok, serta Wang Wen, anggota dari think tank “OBOR” dan sejumlah pakar terkemuka Tiongkok lainnya.

Para pejabat Departemen Luar Negeri AS mengatakan kepada media AS bahwa agen-agen penegak hukum AS percaya bahwa agen-agen intelijen Tiongkok semakin banyak menggunakan para sarjana Tiongkok untuk mengumpulkan informasi intelijen dari warga AS.

Hu Ping, Pemimpin redaksi Beijing Spring mengatakan sistem komunis Tiongkok yang merupakan Pemerintah, terutama departemen di partai komunis, memiliki kekuatan yang besar dan dapat secara langsung memberikan tekanan kepada para sarjana. Bahkan meskipun seseorang sebagai mahasiswa tulen maka akan diperintahkan untuk mencari beberapa informasi penting dan memainkan peran tertentu dalam suatu pertemuan.

Menurut Hu Ping, seorang sarjana Tiongkok juga diperintahkan membangun komunikasi dengan jurnalis barat.

Mereka yang terlibat dalam praktek ini diberitahu bahwa setelah visa 10 tahun sarjana Tiongkok dibatalkan, mereka dapat mengajukan permohonan visa tunggal. Namun demikian, proses pengajuannya relatif rumit.

Menurut Hu Ping, kini Amerika Serikat meluncurkan pertahanan dan serangan balik terhadap komunis Tiongkok di banyak bidang. Tren ini baru saja dimulai dan diperkirakan akan terus berkembang lebih luas. (Jon/asr)

Video Rekomendasi : 

https://www.youtube.com/watch?v=4lzYlZzoisI

Kebakaran Pabrik Farmasi di Shandong, Tiongkok, Tewaskan 10 Pekerja

0

Luo Tingting

Sebuah pabrik farmasi di Jinan, Provinsi Shandong, Tiongkok, terbakar, Senin (15/4/2019). Sedikitnya 10 orang tewas karena menghirup asap saat kebakaran terjadi.

Perusahaan farmasi ini bernama Tianhe Huishi Pharmaceutical Co, anak perusahaan dari Jinan Qilu Pharmaceutical Group.

Kebakaran diduga disebabkan percikan dari pipa yang dilas di pabrik farmasi itu. Hingga kemudian menyebabkan bahan kimia terbakar dan mengeluarkan asap.

Kronologi kejadian pada 15 April lalu, di pabrik itu sedang membangun kembali ruang bawah tanah di ruang pembekuan.

Saat itu ada 10 pekerja sedang mengelas pipa. Pada hari itu sekitar pukul tiga sore waktu setempat, percikan api dari pipa yang dilas merambet ke bahan kimia hingga tak terhindar dari kobaran api.

Akibatnya, 10 pekerja tak sempat menyelamatkan diri. Mereka menghirup asap dari api bahan kimia itu. Delapan dari korban tewas di tempat dan dua orang meninggal dunia selama proses penyelamatan berlangsung.

Selain itu, 12 petugas penyelamat juga terluka oleh asap beracun, tetapi tidak mengancam jiwa. Saat ini, kecelakaan tersebut masih sedang diselidiki.

Insiden ini membuat dunia luar bertanya-tanya tentang nama zat beracun sebenarnya yang merengut nyawa sejumlah pekerja di tempat kejadian itu. Pertanyaan pun dialamatkan tentang faktor penyebab petugas penyelamat terluka.

Namun, laporan yang relevan tidak diungkapkan ke publik. Bahkan media berita Qilu.com telah menghapus berita tersebut, sehingga membuat dunia luar mengerutkan kening bingung dengan tindakan pihak perusahaan.

Menurut informasi publik, pabrik itu didirikan pada 7 Desember 2006 dengan modal terdaftar sebesar 612,5 juta yuan. Ruang lingkup bisnisnya meliputi produksi injeksi bubuk beku-kering, injeksi bubuk, bahan baku steril, bahan baku obat-obatan dan psikotropika.

Perusahaan Ante International Limited asal Hong Kong dan Shandong Qilu Pharmaceutical Group Co, Ltd masing-masing memegang 40% dan 60% saham di Tianhe Hui Shi.

Menurut laporan, pada awal 2016 lalu, Tianhe Huishi dimasukkan ke dalam “Daftar Hitam Perlindungan Lingkungan” di Provinsi Shandong. Pabrik terjerat “limbah berbahaya perusahaan yang tidak diklasifikasikan dan limbah berbahaya tidak sepenuhnya ditandai.”

Perusahaan induknya Qilu Pharmaceutical juga dilaporkan pernah mengalami insiden lima ledakan pada tahun 2015 dan 2016 lalu. Dalam ledakan tahun 2016, gumpalan awan jamur hitam besar membubung ke angkasa hingga empat puluh atau lima puluh meter tingginya. Dampaknya, udara dipenuhi bubuk putih dan bau menyengat, ribuan murid dan guru terkena dampak dari dentuman keras dan bau menyengat di sekolah yang hanya berjarak beberapa puluh meter.

Seorang anggota staf dari Biro Perlindungan Lingkungan kota Jinan, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya, mengatakan, Sejak paruh kedua 2009, pihaknya telah menerima ratusan keluhan tentang bau menyengat  dari area pabrik Qilu.

Qilu Pharmaceutical juga pernah berselisih karena masalah lingkungan dengan Sekolah Menengah No. 2 kota Licheng, Jinan, Tiongkok. Pasalnya, pabrik farmasi dan sekolah hanya berjarak kurang dari 50 meter. Akibatnya, guru dan siswa sekolah tersebut menghirup “racun” sepanjang tahun dari pabrik tersebut. Namun, solusi terakhir dari pemerintah setempat adalah memindahkan sekolah itu. Kekuatan di belakang pabrik farmasi tersebut dianggap tidak biasa.

Sumber mengatakan, bahwa dibalik kekuatan Qilu Pharmaceutical adalah keluarga Li Botao. Mereka pernah dinobatkan sebagai orang terkaya di Jinan pada 2016 dengan kekayaan 17,271 miliar yuan.

Beberapa komentator mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan Tiongkok menciptakan GDP bergelimangan darah. Dampak buruknya berimbas pada pencemaran lingkungan yang serius dan ancaman terhadap kesehatan masyarakat. Seperti misalnya ledakan di pabrik kimia baru-baru ini di Provinsi Jiangsu. Bom waktu sebuah pabrik di seantero Tiongkok, dapat meledak kapan saja dan menyebabkan korban jiwa. (Jon/asr)

Video Rekomendasi : 

https://www.youtube.com/watch?v=9nWyioLn4GI

Tipu-tipu Partai Komunis di Balik Fakta Sebenarnya Permohonan Massal 25 April oleh Praktisi Falun Gong

0

Joan Delaney -The Epochtimes

Banyak pengamat Tiongkok percaya permohonan akbar 10.000 praktisi Falun Gong di luar markas besar Partai Komunis di Beijing pada 20 tahun silam tepat pada April ini adalah penyebab penindasan besar-besaran yang segera diluncurkan setelahnya.

Sebenarnya, permohonan ini berlangsung dengan damai dan tertib meskipun dengan massa dalam jumlah besar. Akan tetapi digambarkan oleh pihak berwenang yang diselewengkan menjadi pengepungan terhadap pemerintah pusat. Narasi hoaks ini terus digunakan sebagai alasan untuk meluncurkan kampanye penganiayaan tanpa henti terhadap Falun Gong.

Tujuan gathering akbar pada 25 April 1999 kala itu, sebenarnya adalah mengajukan petisi kepada rezim untuk memberikan status hukum praktik non-politik dan berhenti menindas pengikut Falun Gong.

Penindasan telah dimulai sejak Juni 1996, ketika Kementerian Propaganda Partai Komunis menginstruksikan ke berbagai tingkat pemerintahan untuk mengkritik praktik tersebut. Kemudian, buku-buku Falun Gong dilarang diterbitkan atau didistribusikan. Ketika itu polisi di berbagai daerah di seluruh negeri mulai menyita buku-buku dari para praktisi dan mengganggu sesi latihan mereka.

Kemudian, sebuah majalah nasional yang berbasis di kota Tianjin menerbitkan sebuah artikel yang memfitnah Falun Gong, sebuah latihan meditasi tradisional yang juga disebut Falun Dafa yang memiliki 70-100 juta pengikut pada akhir 1990-an di Tiongkok, berdasarkan survei pemerintah setempat.

Kabar hoax ini mengganggu praktisi, karena artikel tersebut menuduh efek negatif pada latihan Falun Gong, sehingga beberapa praktisi langsung menelepon dan menulis ke pihak majalah untuk meminta laporan palsu yang sudah diterbitkan agar dikoreksi. Sementara banyak praktisi lainnya pergi ke Tianjin untuk mencoba meluruskan masalah secara langsung.

Pada 23 April 1999, polisi anti huru hara datang untuk membubarkan para praktisi menggunakan pentungan dan meriam air bertekanan tinggi. Ketika itu, 45 praktisi Falun Gong ditangkap. Selanjutnya banyak praktisi Falun Gong pergi untuk memohon ke Kota Tianjin. Di sana, para pejabat setempat mengatakan untuk membawa keprihatinan mereka kepada Kantor Pusat Permohonan Dewan Negara di Jalan Fuyou, Beijing.

“Kami tidak bisa bertanggung jawab atas masalah ini. Pergi ke Beijing, Kementerian Keamanan Publik sudah tahu tentang ini,” kata seorang pejabat ditulis oleh Minghui.org.

Berita menyebar dengan cepat melalui komunitas Falun Gong. Mereka pun dating dengan itikad baik, ribuan praktisi dari Beijing dan daerah lainnya dari negara itu menuju ke kantor pusat permohonan. Peristiwa ini menjadi pertemuan publik spontan terbesar sejak protes mahasiswa tahun 1989 di Tiananmen Square.

Protes dalam Diam

Ketika praktisi Falun Gong mulai tiba di Jalan Fuyou pada pagi hari tanggal 25 April 1999, sekitar 1.000 personel keamanan publik dan petugas berpakaian preman sudah dikerahkan.

Beberapa petugas berbicara di radio mereka, dan beberapa sedang memaksa praktisi menuju area yang ditentukan. Ketika para praktisi mendekati kantor permohonan, beberapa diarahkan ke seberang jalan ke Zhongnanhai, sebuah kompleks bangunan yang berfungsi sebagai markas besar Partai Komunis Tiongkok dan pemerintah pusat.

Ini menempatkan mereka dalam posisi mengelilingi Zhongnanhai. Sebenarnya, taktik ini adalah langkah yang diperhitungkan yang kemudian digunakan untuk memfitnah massa “mengelilingi” atau “mengepung” pemerintah pusat dengan cara yang mengancam.

Gambar yang diambil oleh ABC menunjukkan kumpulan tertib orang-orang dari segala usia yang membentang sekitar dua kilometer di sepanjang trotoar yang berjajar pohon di Jalan Fuyou dan beberapa jalan di sampingnya.

Beberapa orang berlatih gerakan Falun Gong, sementara yang lain duduk atau membaca. Banyak ruang yang tersisa bagi pejalan kaki untuk lewat, dan arus lalu lintas tidak terganggu. Namun, polisi menutup jalan untuk lalu lintas segera setelah kerumunan berkumpul.

Tidak ada teriakan slogan atau melambai-lambaikan spanduk. Pada kenyataannya, para praktisi bersusah payah untuk tidak mengganggu, bahkan membawa tas untuk menampung sampah yang mungkin jatuh.

“Tidak ada rekaman, film, atau catatan masuk akal yang menunjukkan bahwa para praktisi Falun Gong melakukan sesuatu hal, bahkan hal sangat provokatif selama seluruh episode yang berlanjut selama 16 jam. Tidak ada yang membuang sampah sembarangan, merokok, berteriak, atau berbicara kepada wartawan,” demikian tulisan analis Tiongkok, Ethan Gutmann dalam artikel berjudul “An Occurrence on Fuyou Street.”

Mereka yang berkumpul memiliki tiga permintaan: membebaskan para praktisi Tianjin yang ditangkap; memungkinkan lingkungan praktisi Falun Gong yang tidak bermusuhan untuk berlatih; dan mencabut larangan penerbitan buku-buku Falun Gong.

Beberapa praktisi yang berkumpul di kantor permohonan diundang masuk untuk berbicara dengan Perdana Menteri Tiongkok saat itu Zhu Rongji. Zhu kemudian mengeluarkan perintah untuk membebaskan mereka yang ditangkap di Tianjin.

Sekitar jam 9 malam, sebuah pesan disampaikan kepada para praktisi bahwa masalah pada dasarnya diselesaikan dan mereka dapat pergi. Kerumunan ini kemudian bubar sepelan mereka datang, tanpa curiga bahwa masalah yang lebih besar telah bersembunyi di balik cakrawala.

Kampanye Teror Dimulai

Tiga bulan kemudian, pada tanggal 20 Juli 1999, pemimpin Partai Komunis Tiongkok (PKT) Jiang Zemin secara ilegal melarang praktik tersebut sebagai upaya untuk mengkonsolidasikan kekuatan pribadinya serta menenangkan gejolak yang terjadi di dalam Partai saat itu.

Jiang menggunakan peristiwa 25 April untuk “membuktikan” bahwa Falun Gong terorganisir dan sekaligus ancaman politik. Tetapi pada kenyataannya, dia telah memutuskan untuk melarang latihan sebelum permohonan massal digelar : dia telah mendirikan Kantor 610 – sebuah organisasi ekstra-legal, rahasia, seperti Gestapo – untuk mengawasi semua aspek dari kampanye penganiayaan.

Hal yang harus Jiang lakukan adalah meyakinkan Politbiro Partai Komunis. Dalam sebuah surat kepada Politbiro yang ditulis pada malam demonstrasi dan dipublikasikan secara terbuka pada tahun 2006, Jiang menggambarkan Falun Gong sebagai organisasi keagamaan nasional dengan pandangan dunia yang bertentangan terhadap komunisme dan Marxisme.

PKT tidak mengizinkan organisasi non-pemerintah ada di luar pengawasannya. PKT menggambarkan Falun Gong sebagai salah satu membuatnya menjadi target politik yang valid.

Sebuah film berdurasi satu jam yang menggambarkan demonstrasi sebagai aksi teroris dirilis.  Media partai komunis meluncurkan propaganda yang menggambarkan peristiwa itu sebagai kerusuhan.

Gutmann mengatakan tuduhan bahwa permohonan tersebut merupakan ancaman bagi rezim turun ke propaganda Partai Komunis secara terang-terangan, tetapi angan-angan itu ikut  dibawa oleh media Barat.

“Karena media Barat hanya tahu sedikit tentang Falun Gong, fiksi ini bertahan dalam laporan 25 April. Itu diulang dalam karya ilmiah tentang sejarah Falun Gong dan dianggap hampir sebagai dosa awal gerakan,” tulis Gutman.

“Gagasan bahwa Falun Gong mengepung Zhongnanhai dengan cara yang mengancam adalah transmisi langsung dari garis partai Komunis. Apa pun yang Anda sebut demonstrasi, itu tidak secara khusus ditargetkan pada Zhongnanhai, apalagi itu adalah pengepungan kompleks. Bagaimanapun, untuk audiensi Tiongkok yang berusaha dijangkau oleh Falun Gong, Partai masih memiliki bahasa dan sejarah,” beber Gutman.

Penganiayaan brutal yang diprakarsai oleh Jiang Zemin adalah awal dari kampanye teror baru komunis yang belum pernah terjadi sejak Revolusi Kebudayaan. Dampaknya telah meninggalkan kematian dan penderitaan yang tak terhingga setelahnya.

“Penumpasan itu dibenarkan dengan mitos hari keburukan — 25 April – sebuah fiksi yang dibuat sebagai dalih untuk melakukan penganiayaan yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang berlanjut hingga hari ini,” ungkap Gutmann. (asr)

Video Rekomendasi : 

https://www.youtube.com/watch?v=4uCJcxw3lDk

KPI Imbau TV dan Radio Siarkan “Real Count” KPU

0

Epochtimes.id- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) meminta lembaga penyiaran di Indonesia mulai mengawal proses perhitungan suara real count yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.

Mengenai hal itu, lembaga penyiaran diminta memberikan edukasi kepada masyarakat akan kemungkinan terjadinya perbedaan di masa perubahan penghitungan suara dari hitung cepat (quick count) dengan real count yang memerlukan waktu.

Hal demikian disampaikan Ketua KPI Pusat Yuliandre Darwis usai berdialog dengan jajaran pimpinan redaksi dari sejumlah lembaga penyiaran di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (18/4/2019).

Yuliandre juga mengingatkan pentingnya kapabilitas newsroom dalam mengelola pemberitaan di lembaga penyiaran.

“Di antaranya dalam hal pemilihan nara sumber yang tepat dan tidak provokatif, membekali pembawa acara dengan kemampuan mengarahkan pembicaraan menjadi menyejukkan,” ujarnya.

Disinggung pula dalam diskusi tersebut upaya redaksi untuk memilih gambar yang tepat dan sesuai, tidak asal mengulang-ulang liputan sehingga dapat menimbulkan persepsi yang keliru pada para pendengar dan pemirsa.

“Termasuk memutuskan sebuah peristiwa perlu diliput secara langsung atau tidak agar redaksi punya cukup waktu untuk memikirkan dampak pemberitaan,” katanya.

Saat ini, konten lembaga penyiaran seputar Pemilihan Umum tengah menjadi sorotan publik. Hal ini menurut Yuliandre sangat wajar, mengingat kepercayaan publik terhadap lembaga penyiaran masih lebih tinggi dibandingkan dengan media sosial. Pasalnya, tuntutan terhadap lembaga penyiaran untuk menghadirkan konten yang valid dan dapat dipercaya menjadi sangat tinggi.

Menurut dia, mengawal perhitungan suara real count dari KPU, diharapkan hak publik untuk mendapatkan informasi kepemiluan yang valid dari  penyelenggara pemilu dapat dipenuhi, sekaligus untuk menghindarkan masyarakat dari kesalahan persepsi.

KPI mengingatkan kembali fungsi perekat sosial yang diemban lembaga penyiaran harus dikedepankan pada momentum politik sekarang.  “Lembaga penyiaran, selain harus mengoptimalkan fungsi perekat sosial, juga ikut melakukan kontrol sosial atas proses pemilu ini,” ujar Yuliandre.

Yuliandre mengatakan lembaga Penyiaran harus juga memberikan perhatian kepada proses penghitungan suara Pemilihan Legislatif yang akan menghasilkan wakil-wakil rakyat di parlemen.

Pemilu ini bukan sekadar mendapatkan puncak pimpinan bangsa di tataran eksekutif, yakni Presiden dan Wakil Presiden, namun juga menentukan wakil-wakil rakyat di tataran legislatif. Oleh karena itu, lembaga penyiaran diminta tidak abai mengawal proses penghitungan suara untuk pemilu legislatif.

“Saatnya lembaga penyiaran, baik televisi maupun radio, menunjukkan perannya menjaga ikatan kesatuan bagi sesama anak bangsa, dengan menghadirkan konten siaran kepemiluan yang damai dan menyejukkan,” kata Yuliandre mengakhiri perbincangan. (asr)

Foto : Para petugas KPPS menghitung surat suara di pusat pemungutan suara selama pemilihan di Surabaya, Jawa Timur, pada 17 April 2019. (Antara Foto / Didik Suhartono / via Reuters)

AS dan Eropa Bersikap Keras, Rusia Mulai Waspada, Apakah Beijing Bisa Tenang?

Zhou Xiaohui

Pemerintah Beijing tahun lalu masih meneriakkan slogan pujian diri “Lihai de guo” yang artinya negara nan hebat. Tetapi tahun ini lebih memilih bungkam. Bahkan program Made in China 2025 yang kenyang akan kritik dari negara Barat, kini perlahan mulai tenggelam dari forum terbuka.

Jika pada tahun lalu Beijing masih bersikap keras terhadap AS dan Eropa, ketika itu masih mengutuk AS agar jangan sampai “mengangkat batu tertimpa kaki sendiri”, maka tahun ini Beijing benar-benar bisa merasakan sendiri betapa sakitnya saat batu menimpa kakinya sendiri.

Sakitnya adalah pada perundingan dagang dalam kondisi terus diulur namun tidak membuahkan hasil, terutama setelah dirilisnya laporan investigasi “Russia Gate.” Kini terdesak tekanan dari dalam dan luar negeri, Beijing mau tak mau harus menunduk. Beijing pun harus mengakui tudingan atas pencurian kekayaan intelektual dan pemaksaan pengalihan teknologi memang eksis. Beijing kini pun harus menerima beberapa tuntutan pihak AS agar segera mencapai kesepakatan sesuai jadwal.

Mengenai apakah dalam empat minggu ke depan kedua pihak akan mencapai sepakat atau tidak, akan bergantung pada pihak Beijing apakah menerima atau tidak  beberapa perbedaan pendapat terakhir. Perbedaan itu adalah menyetujui pihak AS tidak akan segera mencabut sanksi bea masuknya setelah kesepakatan itu ditandatangani, menyetujui AS membentuk mekanisme pelaksana pengawasan secara sepihak. Lalu, apabila Beijing tidak menepati aturan kesepakatan tersebut, maka Washington berhak untuk melakukan pembalasan.

Akan tetapi, terlepas dari kesepakatan apakah terwujud atau gagal sama sekali, sakit yang dirasakan oleh Beijing tidak akan lenyap. Di satu sisi, jika kesepakatan tercapai, Beijing harus memenuhi janjinya, jika tidak akan mendapat pembalasan kejam dari AS dan pembalasan seperti itu sepertinya tidak akan mampu diterima oleh Beijing.

Namun jika benar-benar mewujudkan janjinya, struktur ekonomi Tiongkok harus mengalami perubahan yang substantial, dampak terhadap rezim diktator PKT yang ditimbulkannya adalah hal yang tidak bisa diterima oleh penguasa Beijing.

Di sisi lain, jika Beijing menolak mengalah pada beberapa perselisihan terakhir, maka perundingan akan berakhir tanpa adanya kesepakatan, Amerika pasti akan menaikkan bea masuk 25 persen. Pada saat itu ekonomi Tiongkok yang sudah lemah akan kembali terpukul.  Pada saat itu pula tidak hanya perusahaan investasi asing akan semakin cepat hengkang.

Lesunya ekonomi juga akan memicu pergolakan masyarakat, akibat yang akan ditimbulkannya bahkan tidak berani dibayangkan oleh Partai Komunis Tiongkok. Ini juga alasan utama penguasa Beijing pada tahun baru 2019 ini telah mulai memperkuat pengawasannya ke seluruh masyarakat.

Sebelum Beijing mencapai kesepakatan dagang dengan AS, Eropa yang telah mulai sadar juga mulai mengikuti jejak langkah Amerika dan dengan suara lantang berkata “tidak” pada PKT. Ini juga hal yang paling tidak ingin dilihat Beijing, di saat yang sama juga menandakan gagalnya gerakan komunis Tiongkok berusaha memecahbelah Uni Eropa sebelumnya — walaupun Italia telah menandatangani  kerjasama program “OBOR” yang tidak memiliki kekuatan.

Sebelumnya di sela kunjungan PM Tiongkok Li Keqiang berkunjung ke Eropa, negara Eropa Tengah telah mengeluarkan pernyataan bersama. Pernyataan bersama ini pun baru dikeluarkan setelah pihak Beijing berkompromi, berjanji untuk menyesuaikan kembali subsidi terhadap perusahaan dan pemaksaan pengalihan teknologi terhadap perusahaan asing di Tiongkok.

Jelas bahwa berkomprominya Beijing adalah karena tidak ingin menimbulkan ketegangan hubungan dengan Uni Eropa. Walaupun pernyataan sudah dikeluarkan, akan tetapi perselisihan besar antara Uni Eropa dan Komunis Tiongkok dalam hal benar-benar membuka pasar dan masalah HAM tetap belum juga tersingkirkan.

Sikap keras Uni Eropa dari hari ke hari membuat Beijing semakin sulit, apalagi melihat Amerika bersekutu dengan Eropa menghadapi masalah perdagangan tidak adil Beijing.

Pada 8 April lalu, pejabat dagang senior AS Clete Willems dalam pidatonya di Kamar Dagang AS mengatakan, Amerika dan Uni Eropa saat ini sedang “bergandeng tangan bekerjasama” di forum WTO untuk menghadapi “status ekonomi non-pasar” PKT, dengan inisiatif negara “yang memiliki persyaratan tambahan” memberikan program pengganti yang berlandaskan pada pasar. Tidak ada yang menyangkal, kerjasama seperti ini semakin lama akan semakin banyak, Beijing hanya akan semakin panik.

Kerasnya sikap AS dan Eropa, saat ini tidak bisa ditanggulangi Beijing yang saat ini sangat cemas, kecuali jika Beijing mau melakukan perubahan total dari sisi structural. Jika masih menandatangani kesepakatan, tapi tetap melakukan cara-cara menipu seperti tidak melakukan, negosiasi ulang, tandatangan lagi, lalu ingkar janji lagi, maka akan semakin memberatkan bagi Beijing. Pasalnya, saat ini seluruh dunia telah melihat sosok asli Komunis Tiongkok. Dunia  sudah mengerti bahwa PKT tidak bisa dipercaya, dan harus diawasi tindak tanduknya.

Jika AS dan Eropa telah membuat Beijing sangat kesakitan, maka Rusia yang selama ini selalu memamerkan persahabatan Rusia-Tiongkok dan secara permukaan selalu menjaga hubungan kerjasama strategis dengan Beijing, juga tidak membantu Beijing mengurangi rasa sakitnya.

Baru-baru ini, media massa Rusia mengungkap, proyek besar Kereta Cepat “Moskow – Kazan” yang telah tertunda bertahun-tahun apakah akan ditandatangani kontraknya masih berupa tanda tanya besar, alasannya adalah karena Putin menentang proyek tersebut.

Menurut berita, proyek Kereta cepat Moskow – Kazan selama ini dipropagandakan oleh Beijing sebagai proyek percontohan kerjasama tingkat tinggi antara Tiongkok dengan Rusia. Hampir setiap kali kunjungan Putin ke Tiongkok atau pemimpin Tiongkok berkunjung ke Rusia, kedua negara akan menandatangani serangkaian perjanjian kerjasama.

Jalur KA cepat yang direncanakan pembangunannya ini akan menghubungkan Moskow ibukota Rusia dengan ibukota wilayah otonomi federal Rusia Republik Tatarstan yakni kota Kazan, yang merupakan bagian terpenting dari rangkaian rel KA cepat Beijing – Moskow yang disebut “Jalan Sutra Baru”.

Selain proyek kerjasama KA cepat ini, Rusia-Tiongkok juga memiliki banyak proyek kerjasama berskala besar yang pernah digembar-gemborkan yang pada akhirnya tidak berujung pangkal, atau terus menerus tertunda. Seperti jembatan besar pada sungai perbatasan Tiongkok-Rusia di timur jauh juga telah ditunda bertahun-tahun, hingga kini belum juga rampung.

Sedangkan Jembatan Crimea yang dibangun oleh Rusia kecepatannya justru sangat fantastis, sama sekali tidak kalah dengan kecepatan pembangunan Tiongkok. Dengan alasan apa Putin menentang pembangunan jalur KA cepat ini, apakah akan melunak, tidak diketahui oleh pihak luar. Mungkin Moskow yang keluar dari pemerintahan totaliter itu telah sangat memahami maksud dan tujuan Beijing, maka itu mereka menggunakan jurus Taichi dalam menghadapi Beijing.

Tidak hanya itu, pada 8 April lalu ketika Wakil Menteri Hubungan Internasional Tiongkok yakni Qian Hongshan memimpin rombongan senior berkunjung ke Moskow, PKT telah diperingatkan oleh politisi Rusia Vladimir Zhirinovsky yang pro-Kremlin agar Beijing sebaiknya tidak menyentuh kepentingan Rusia, maka meletusnya konflik antara Tiongkok dengan Rusia akan terhindarkan.

Menariknya adalah, pada 4 April lalu di saat menemui Wakil Perdana Menteri Tiongkok Liu He, setelah Presiden AS Trump menyatakan harapannya agar Tiongkok, Rusia dan Amerika bersama-sama mengurangi persenjataan militernya, Rusia terlebih dahulu memberikan tanggapan.

Usulan Trump bertujuan sama seperti ketika AS mengumumkan mundur dari “Perjanjian Rudal Nuklir Jarak Menengah”, yaitu mencegah Beijing memperbanyak gudang rudalnya, mengembangkan senjata konvensional, lalu mengancam Taiwan dan AS serta sekutunya di Asia dan lain-lain. Namun terhadap usulan Trump ini Beijing sama sekali belum menanggapi. Reaksi berbeda antara Moskow dengan Beijing juga menjelaskan permasalahan ini.

Dari perubahan sikap AS dan Eropa beberapa bulan terakhir ini dapat dilihat, sikap keras AS dan Eropa terhadap Beijing tidak akan berubah, ini juga menandakan pemerintahan Beijing akan mengalami masa sulit di sisa tahun 2019 ini.

Jelas berkat kepemimpinan Trump, tidak hanya AS dan Eropa bersikap keras, tidak sedikit negara di dunia seperti Australia, Selandia Baru, Swedia, Brasil, Polandia dan lain-lain juga telah mengubah kebijakannya terhadap Komunis Tiongkok.

Dunia kini telah semakin mengenal bahaya yang ditimbulkan oleh Komunis Tiongkok, juga sangat memahami bila bahaya ini tidak segera disingkirkan. (Sud/WHS/asr)

Video Rekomendasi : 

https://www.youtube.com/watch?v=QzH1rujss6o

Kroni Lama di Sudan Dilengserkan, Beijing Kembali Terpukul

0

Zhou Xiaohui

Sejak sejarah memasuki tahun 2019 peristiwa besar dunia terus bermunculan. Baru-baru ini kudeta Sudan menjadi sorotan dunia. Pada 11 April lalu, militer Sudan menyingkirkan Presiden Bashir yang telah berkuasa 30 tahun, dan mengumumkan pembebasan tawanan politik yang dibui oleh Bashir.

Pada 12 April di bawah tekanan massa demonstran, Menteri Pertahanan Sudan Awad Ibnouf yang melakukan kudeta telah mundur dari jabatan pemimpin rezim transisi yang baru dijabatnya satu hari, digantikan oleh ketua Komisi Transisi Militer Burhan. Dia menyatakan, akan membentuk suatu pemerintahan sipil, dengan masa transisi maksimal 2 tahun.

Berita ini merupakan dorongan semangat bagi rakyat Sudan yang selama ini menderita di bawah pemerintahan diktator Bashir. Sudan kini menuju negara demokrasi adalah hal yang sangat didambakan oleh rakyat Sudan, pihak militer Sudan juga mendukung arus ini.

Peristiwa kudeta di Sudan ini sebenarnya juga telah mengirimkan sinyal yang jelas bagi negara yang masih mempertahankan sistem pemerintahan diktator dan otoriter, bahwa demokrasi telah menjadi tren dunia, tidak ada rakyat di negara mana pun yang mau hidup di bawah penindasan atau tekanan.

Akan tetapi disingkirkannya Bashir dan Sudan menuju ke arah demokrasi. Bagi Partai Komunis Tiongkok (PKT) yang dalam jangka waktu panjang mendukung Bashir dalam politik, militer dan ekonomi, tidak bisa dikatakan bukan suatu pukulan telak.

Masih segar dalam ingatan bahwa pada tahun lalu di saat Bashir berkunjung ke Beijing untuk menghadiri Forum Kerjasama Tiongkok-Afrika, Bashir telah mendapatkan perlakukan istimewa, ia tidak hanya memuji kebusukan PKT, bahkan berterima kasih pada PKT atas dukungan bagi dirinya, dan menyatakan sikap mendukung program One Belt One Road atau OBOR. Bashir juga bersedia “mempererat kerjasama bilateral yang nyata antara Sudan dan RRT serta berkoordinasi dalam urusan internasional dan regional lainnya”.

Pada Juni 2011 silam, tanpa mempedulikan kecaman masyarakat internasional, Beijing secara terbuka mengundang Bashir yang diburon oleh Mahkamah Internasional untuk melakukan kunjungan kenegaraan ke Tiongkok.

Menurut berita, Mahkamah Internasional pernah mengeluarkan perintah ‘wanted’ terhadap Bashir yang dituduh melakukan pembunuhan massal, kejahatan genosida, kejahatan anti-kemanusiaan dan berbagai tuduhan perang lainnya. Ormas HAM menuding rezim Bashir sejak tahun 2003 lalu “telah membunuh sebanyak lebih dari 300.000 orang” di wilayah Darfur. Tiongkok juga dituding sebagai “tempat perlindungan bagi kriminal perang internasional”.

Mengapa pemerintah Komunis Tiongkok mendukung penguasa diktator seperti Bashir ini? Bagi Beijing, Sudan adalah negara yang memiliki pengaruh penting terhadap Afrika dan Dunia Arab.

Dulunya Beijing membeli banyak minyak mentah dari Sudan dan di tahun 1990an. Setelah Sudan mengalihkan setengah saham kepemilikan perusahaan minyaknya kepada Tiongkok, Sudan pun membeli banyak senjata dan perlengkapan dari Tiongkok. Sudan mengembangkan industri militer, lalu menjual persenjataan ringan yang diproduksinya ke pasar internasional. Tak hanya itu itu, Sudan membeli peluncur roket dan tank serta kendaraan perang buatan Tiongkok atau Iran, yang dirakit dan diberi merek Sudan.

Beberapa tahun terakhir, seiring dengan PKT semakin memperluas pengaruhnya, khususnya dengan ambisi mengembangkan program “OBOR”, kerjasama RRT dan Sudan meluas ke banyak sektor lainnya, seperti bidang luar angkasa.

Menurut pemberitaan media massa Tiongkok, pada September 2018 lalu di saat menghadiri Forum Kerjasama Tiongkok-Afrika, Bashir juga telah menghadiri acara penandatanganan kerjasama ekonomi dagang kedua negara, yang mencakup penandatanganan proyek stasiun satelit penerima di darat yang akan dibangun di Sudan.

Kerjasama antara GIAD Industrial Group Space Center dengan China International Geoinformation Co. Ltd. (CIGIC) dan anak perusahaan Chinese Academy of Science Remote Sensing and Digital Earth (RADI). Proyek tersebut mencakup tidak sebatas stasiun darat, juga penerimaan satelit dan aplikasinya.

Setelah itu pada 25 hingga 26 September, Forum Pertanian Cerdas Regional yang pertama digelar di ibukota Sudan, Khartoum.

Menurut media massa Tiongkok yang meliput, berkat instruksi Xi Jinping terkait “mendorong pembangunan sistem navigasi Beidou di negara Arab” dan “memperkuat mekanisme forum navigasi Beidou”, Kantor Manajemen Sistem Navigasi Satelit RRT, International Exchange Training Center, Beijing Aerospace University, China Ordnance Industries Group, Great Wall Industries Group, Shanghai Sinan Navigation dan lain-lain mengirim utusannya, serta memberikan pelatihan bagi staf negara terkait. Beijing mengembangkan kerjasama internasional di bidang satelit dan navigasi dengan negara Arab.

Menurut rencana PKT, Beidou Global System akan merampungkan 19 jaringan peluncuran satelit di akhir tahun 2018, memprioritaskan pelayanan dasar bagi negara-negara di sepanjang jalur program “OBOR” termasuk negara Arab, sistem Beidou akan memasuki era globalisasi.

Dan, hingga 2020, PKT akan meluncurkan 10 unit satelit navigasi Beidou, untuk merampungkan jaringan sistem global Beidou, memberikan layanan navigasi satelit dengan fungsi lebih banyak, akurasi lebih tinggi dan lebih dapat diandalkan. Tahun 2035 akan merampungkan sistem Positioning Navigation Timing (PNT) yang terintegrasi yang menyebar lebih luas dengan sistem Beidou sebagai pusatnya.

Ambisi PKT tidak bisa dianggap kecil, dan ada informasi menyebutkan, Tiongkok juga bekerjasama dengan Sudan untuk membangun basis telekomunikasi satelit, khusus untuk menghadapi AS dan Eropa.

Berlatar belakang AS dan negara Barat semakin mewaspadai penyusupan PKT dan ekspansi jahatnya, aksi PKT di negara Afrika dan Dunia Arab juga memicu kewaspadaan negara Barat.

Data menunjukkan, komunikasi satelit dapat dibagi menjadi komunikasi satelit geostasioner dan komunikasi satelit seluler, satelit geostasioner terutama digunakan pada TV satelit, komunikasi darurat, lingkungan yang buruk dan sektor sekuritas, pengiriman sampel surat kabar dan lain-lain.

Sedangkan satelit seluler adalah satelit orbit rendah, yang dapat dijadikan sebagai terminal seluler, seperti sistem Iridium dan sistem komunikasi satelit maritim dari AS adalah contoh penggunaannya.

Selain itu, satelit juga memiliki kegunaan militer, khususnya melacak dan komunikasi (navigasi). Seperti yang disebut “perang dimensi” yang pertama pada Perang Teluk, pasukan multinasional yang dipimpin oleh Amerika menggunakan berbagai sistem angkasa militer dalam mendeteksi dan mengawasi, komunikasi dan komando, navigasi dan posisi dan lain-lain telah menimbulkan efek yang sangat menentukan.

Atas dasar PKT yang berambisi mengembangkan kekuatan di angkasa untuk melawan AS dan Eropa, Tiongkok membangun basis komunikasi satelit di Sudan, niatnya bukan pada Sudan. Oleh karena itu, tiba-tiba meletus kudeta di Sudan, pukulan bagi Beijing cukup telak.

Jika di masa mendatang Sudan telah beralih menjadi demokrasi, pasti akan kembali pro-Barat dan menjauhi PKT, dengan sendirinya semua investasi Beijing di Sudan akan menjadi sia-sia, dan tujuan dibangunnya basis komunikasi satelit itu pun akan pupus.

Mungkin, Beijing harus benar-benar memikirkan, mengapa rezim negara lain yang disuap dengan uang satu persatu digulingkan atau lengser? Bukankah ini merupakan kehendak Ilahi? (SUD/WHS/asr)

Tak Kuasa Membendung Amerikanisasi Uni Eropa, Tiongkok Mengalah Pada Detik-detik Terakhir

Li Muyang

KTT Eropa dan Tiongkok ke-21 telah digelar di Brussels pada 9 April lalu. Ketika itu, Presiden Dewan Eropa Donald Tusk dan Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker bertemu dengan Perdana Menteri Tiongkok Li Keqiang. Kedua pihak akhirnya mengeluarkan pernyataan bersama.

Menurut laporan sejumlah media, beberapa sumber mengatakan bahwa Tiongkok memilih “mengalah pada detik-detik penting terakhir” terhadap beberapa persyaratan utama dalam KTT itu terkait perdagangan dan investasi.

Untuk menghindari ancaman diveto oleh Uni Eropa, Beijing menyetujui beberapa persyaratan Uni Eropa termasuk “subsidi industri, perjanjian investasi, dan akses pasar.”

Berita terkait menyebutkan bahwa sikap keras Uni Eropa terhadap Beijing telah “membuahkan hasil.”

Tepat sebelum KTT Uni Eropa-Tiongkok digelar, Komisioner Perdagangan Uni Eropa, Cecilia Mamstrom mengatakan, sebagaimana Amerika Serikat, Eropa tidak puas dengan kurangnya timbal balik dalam investasi bilateral antara Eropa dan Tiongkok.

Menurut Mamstrom, Tiongkok memperoleh banyak manfaat setelah menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO. Beijing banyak berjanji dan terus berjanji untuk menjadi ekonomi pasar serta harus menunjukkan diri “seperti ekonomi pasar.” Mamstrom mengatakan Uni Eropa sedang bernegosiasi dengan Tiongkok dengan cara yang sangat terbuka dan langsung.

Bagaimanakah KTT Uni Eropa-Tiongkok ini sebenarnya? dunia luar umumnya menilai hasilnya tidak dapat diprediksi. Pasalnya, sikap Eropa terhadap Beijing telah “mengalami revolusi” dan semakin dekat ke Amerika Serikat.

Oleh karena itu, beberapa analis percaya bahwa Beijing yang semakin terisolasi kemungkinan akan mengalah pada Uni Eropa dalam  beberapa masalah, tetapi beberapa kesepakatan yang dicapai antara Eropa dan Tiongkok pada akhirnya akan sulit bertahan lama.

Sumber terkait mengatakan, KTT memiliki sejumlah topik, termasuk perlindungan iklim, kebijakan luar negeri dan sebagainya. Namun, menururt Uni Eropa bahwa masalah inti adalah “prinsip kesetaraan” di bidang perdagangan dan investasi. Dengan kata lain, jika Beijing ingin perusahaan Tiongkok melakukan bisnis di pasar Eropa yang terbuka dan transparan, maka Beijing harus menyediakan kondisi yang sama untuk perusahaan Eropa.

Namun, Beijing sebelumnya tidak setuju memasukkan komitmen pasar terbuka ke dalam rancangan KTT Uni Eropa-Tiongkok. Faktor inilah yang membuat “frustrasi” Uni Eropa. Financial Times mengutip diplomat Uni Eropa mengatakan bahwa Beijing sengaja menunda “serangkaian masalah penting.”

Pejabat itu mengatakan faktor tesebut bukan pertanda baik dan telah menjadi beban berat bagi  KTT kali ini. Dia menuturkan, jika Beijing tidak secara signifikan mengubah posisi negosiasi dan bernegosiasi dengan “cara yang berarti”, maka tidak akan ada landasan bersama yang cukup untuk mencapai pernyataan bersama.

Ada juga sumber-sumber Uni Eropa yang mengatakan kepada AFP bahwa Beijing mungkin tidak akan menjanjikan kepada Uni Eropa tentang masalah-masalah perdagangan utama dalam KTT Uni Eropa-Tiongkok.

Sumber terkait mengatakan bahwa Beijing tidak bersedia memasukkan subsidi industri dalam reformasi WTO. Beijing juga tidak bersedia membuat komitmen terhadap persyaratan-persyaratan utama ini. Terungkap juga Beijing enggan untuk mempublikasikan pernyataan bersama dengan informasi lengkap yang mengungkapkan niat baik mereka seperti KTT Beijing tahun lalu.

Dengan kata lain, Uni Eropa telah membuat banyak tuntutan kepada pihak Tiongkok sebelumnya. Sementara komunis Tiongkok selalu “mengabaikannya” dan meski berkomitmen juga hanya sekadar klise tanpa adanya tindak lanjut.

Malmstrom mengatakan bahwa untuk mencapai perjanjian investasi, Eropa dan Tiongkok telah melakukan upaya lima tahun. Meskipun saling bertukar proposal, tetapi sangat terbatas dan tidak ada kemajuan seperti yang diharapkan.

Pada dasarnya pemimpin Uni Eropa tidak mungkin untuk secara terbuka menunjukkan posisi “hawkish” mereka seperti para pemimpin Amerika. Tetapi Eropa telah mengalami perubahan “revolusioner” dan posisinya terhadap Beijing semakin “Amerikanisasi”.

Penasihat perdagangan Gedung Putih, Clete Willemsmengatakan bahwa para pemimpin Uni Eropa tidak lagi seperti sebelumnya. Kini mereka menolak dengan kebijakan perdagangan komunis Tiongkok seperti yang mereka lakukan di masa lalu. Sekarang Uni Eropa telah bekerja sama dengan Amerika Serikat, merespons kebijakan ekonomi non-pasar Beijing di WTO.

Seperti yang diketahui, di bawah dorongan Perancis dan Jerman, Uni Eropa mengeluarkan “pandangan strategis Eropa-Tiongkok” yang keras bulan lalu, dan untuk pertama kalinya menganggap Beijing sebagai “saingan sistemik”.

Perbedaan antara sistem dan ideologi telah menyebabkan banyak perbedaan antara Eropa dan Tiongkok. Oleh karena itu, dunia luar memiliki pandangan yang hampir sama: Komunis Tiongkok tidak mungkin sepenuhnya menyetujui persyaratan Uni Eropa dan sulit rasanya untuk mencapai terobosan dalam KTT Uni Eropa-Tiongkok.

Selain itu, hanya Juncker dan Tusk yang bertemu dengan Li Keqiang di KTT. Sementara pemimpin Prancis dan Jerman yang merupakan sumbu Uni Eropa tidak ikut serta dalam pertemuan itu, yang secara drastis mengurangi pentingnya KTT tersebut

Komentator peristiwa terkini, Lan Shu mengatakan bahwa untuk mengurangi isolasi internasional, komunis Tiongkok mungkin akan menerima beberapa persyaratan dari Uni Eropa dan mencapai kesepakatan parsial. Tapi tercapainya kesepakatan ini juga setelah Uni Eropa mengambil sikap keras.

Lan Shu mengatakan bahwa apa pun kesepakatan yang dicapai antara Eropa dan Tiongkok,itu tidak akan bertahan lama. Sama seperti “Zaman Keemasan” Tiongkok dan Inggris, memudar setelah beberapa waktu.

Komunis Tiongkok tidak mungkin benar-benar akan berubah. Dari sudut pandang ini, Amerika telah belajar dari pengalamannya, perjanjian harus memiliki “mekanisme eksekusi”, jika tidak semuanya hanya omong kosong. (Jon/asr)

https://www.youtube.com/watch?v=RzHBEmPBL6o

Trump Veto Resolusi Kongres Amerika Tentang Keterlibatan AS dalam Perang Yaman

0

EpochTimesId – Presiden AS, Donald Trump memveto resolusi Kongres pada 16 April 2019. Resolusi Parlemen AS itu bertujuan untuk mengakhiri keterlibatan Amerika dalam perang saudara di Yaman, menurut Gedung Putih.

Trump menulis kepada Senat bahwa resolusi bersama, yang bertajuk S.J.Res.7, adalah upaya yang tidak perlu, berbahaya untuk melemahkan otoritas konstitusional Presiden AS. Trump mengatakan undang-undang itu, sebuah Resolusi Kekuatan Perang akan membatasi kewenangan presiden untuk mengirim pasukan ke dalam sebuah tindakan militer. Sehingga akan membahayakan kehidupan warga negara AS dan aparat negara lainnya, saat ini dan pada masa depan.

Perang saudara Yaman pertama kali dimulai pada 2015 antara pemerintah Yaman yang diakui secara internasional, dipimpin oleh Saudi, melawan pemberontak Houthi, yang didukung oleh Iran. Kedua belah pihak mengatakan mereka adalah pemerintah resmi Yaman. Konflik yang sedang berlangsung, dan sudah berlanjut selama empat tahun, telah memaksa negara ini mengalami krisis kemanusiaan.

Presiden mengatakan resolusi itu tidak perlu karena Amerika Serikat tidak terlibat dalam permusuhan, atau mempengaruhi Yaman. Dia juga mengatakan resolusi itu berbahaya.

“Tidak ada personel militer Amerika Serikat di Yaman yang memimpin, berpartisipasi dalam, atau menemani pasukan militer koalisi pimpinan Saudi melawan Houthi dalam konflik terbuka di, atau yang mempengaruhi Yaman,” kata Trump.

“Kongres seharusnya tidak berusaha untuk melarang operasi taktis tertentu, seperti pengisian bahan bakar dalam penerbangan, atau meminta keterlibatan militer untuk mematuhi jadwal waktu yang sewenang-wenang. Melakukan hal itu akan mengganggu kewenangan konstitusional Presiden, dan dapat membahayakan personel kita.”

Menurut PBB, lebih dari 22 juta orang, atau 75 persen dari populasi, membutuhkan bantuan kemanusiaan. Jumlah meraka lebih banyak daripada negara lain mana pun saat ini.

Pemerintah AS telah memberikan bantuan lebih dari 854 juta dolar AS dalam bantuan kemanusiaan untuk Yaman sejak 2017, menurut Departemen Luar Negeri AS.

Resolusi itu, yang disahkan bersama oleh Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat AS, menandai pertama kalinya kedua kamar Kongres mendukung Resolusi Kekuatan Perang.

Pemungutan suara menghasilkan 247 melawan 175 anggota di DPR yang mayoritas Demokrat dan 54-46 suara di Senat yang dipimpin Partai Republik tidak cukup untuk mengesampingkan veto dari Trump, yang membutuhkan dua pertiga mayoritas di kedua kamar.

Veto Trump juga dapat dilihat sebagai tanda hubungan dekat pemerintahannya dengan Arab Saudi ketika berusaha untuk lebih mengisolasi Iran. Amerika Serikat menyediakan miliaran dolar senjata untuk pertempuran koalisi pimpinan Saudi di Yaman.

Republikan terkemuka di Komite Urusan Luar Negeri DPR, Rep. Michael McCaul (R-Texas) mengakui situasi mengerikan di Yaman untuk warga sipil, tetapi berbicara menentang tindakan ketika itu disahkan. McCaul mengatakan itu adalah penyalahgunaan Resolusi Kekuatan Perang dan memperkirakan hal itu dapat mengganggu perjanjian kerja sama keamanan AS dengan lebih dari 100 negara.

Trump mengatakan Amerika Serikat memberikan dukungannya untuk sejumlah alasan, yang utama adalah untuk melindungi keselamatan lebih dari 80.000 warga AS yang tinggal di negara-negara yang menjadi sasaran serangan Houthi.

“Houthis, didukung oleh Iran, telah menggunakan rudal, drone bersenjata, dan kapal peledak untuk menyerang sasaran sipil dan militer di negara-negara koalisi, termasuk daerah yang sering dikunjungi oleh warga Amerika, seperti bandara di Riyadh, Arab Saudi,” tulis Trump.

“Selain itu, konflik di Yaman merupakan cara murah bagi Iran untuk menimbulkan masalah bagi Amerika Serikat dan sekutu kita, Arab Saudi.”

Pada tahun 2018, pemerintahan Trump mempertimbangkan untuk menetapkan pemberontak Houthi Yaman sebagai organisasi teroris, menurut The Washington Post.

Presiden juga menyebutkan bahwa pemerintahannya mendorong negosiasi untuk mengakhiri keterlibatan militer AS di Afghanistan dan menarik pasukan di Suriah, di mana kekhalifahan ISIS baru-baru ini dihapuskan. Dia mengatakan resolusi bersama itu merusak kebijakan luar negeri Amerika Serikat sehubungan dengan Yaman dan melukai hubungan bilateral.

Ini adalah veto kedua dari kepresidenan Trump setelah sebelumnya Dia menolak resolusi pada bulan Maret yang berusaha untuk membatalkan deklarasi darurat perbatasan nasional yang dikeluarkannya. Deklarasi memungkinkan dia untuk mengamankan dana untuk pembangunan tembok perbatasan AS-Meksiko. (BOWEN XIAO, Reuters dan The Associated Press/The Epoch Times/waa)

Video Pilihan :

https://youtu.be/M_mC5lLx2Ow

Simak Juga :

https://youtu.be/rvIS2eUnc7M

Amerika Habis Kesabaran Terhadap Kolombia Akibat Serbuan Narkoba Melonjak

0

EpochTimesId — Aliran penyelundupan narkoba yang terus menerus dari Kolombia ke Amerika Serikat telah menjadi titik perselisihan antara kedua negara. Kini Washington kehilangan kesabaran dengan kurangnya kemajuan Bogota dalam membatasi produksi obat-obatan.

Ketika meninggalkan acara politik tentang migrasi di Florida pada 29 Maret 2019, Presiden Donald Trump memuji Presiden Kolombia Iván Duque karena menjadi orang yang benar-benar baik. Akan tetapi, dia kemudian mengkritiknya karena tidak melakukan cukup banyak upaya untuk menghentikan lonjakan dalam produksi kokain.

“Dia mengatakan bagaimana dia akan menghentikan narkoba. Lebih banyak obat yang keluar dari Kolombia sekarang daripada sebelum dia menjadi presiden, jadi dia tidak melakukan apa pun untuk kita,” kata Trump.

Duque kemudian membalas bahwa tidak ada yang memberitahu Kolombia apa yang harus mereka lakukan.

Media lokal melaporkan bahwa Duta Besar AS untuk Kolombia, Kevin Whitaker, telah mengadakan pertemuan rahasia dengan anggota kongres Kolombia menjelang pemungutan suara pada Yurisdiksi Khusus Kolombia untuk Perdamaian, sebuah pengadilan yang dibentuk untuk menyelidiki dan mengadili kejahatan perang selama konflik.

Whitaker diduga melobi para politisi untuk memilih mendukung modifikasi pengadilan untuk memfasilitasi ekstradisi mantan komandan Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia (FARC) yang menurut Washington terlibat dalam perdagangan ratusan juta dolar obat-obatan ke Amerika. Negara itu diminta mengikuti arahan, atau berisiko kehilangan 500 juta dolar bantuan dari AS.

Para pekerja memanen daun koka di Puerto Bello, di negara bagian Putumayo, Kolombia selatan, pada 3 Maret 2017. (Foto : AP/ Fernando Vergara, File/The Epoch Times)

Produksi Kokain Mencapai Rekor
Presiden termuda Kolombia yang terpilih pada 17 Juni 2018, pada platform konservatif dan merupakan kandidat paling ramah di AS dalam pemungutan suara. Dia diyakini memiliki kedekatan dan hubungan pribadi yang kuat dengan Pemerintahan AS. Ketika Dia dan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo bertemu di Cartagena pada Januari 2019, Dia mengucapkan terima kasih kepada Pompeo atas dukungan pemerintahan Trump terhadap pemerintahannya. Kolombia kini menjadi salah satu sekutu terdekat Amerika Serikat di Amerika Latin.

Namun, sekarang, kesabaran Trump tampaknya mulai menipis dengan kegagalan Kolombia untuk menangani produksi kokain, yang berada pada tingkat rekor tertinggi.

Diharapkan kesepakatan damai 2016 yang bersejarah dengan FARC, sebuah kelompok gerilyawan Marxis yang diyakini sebagai pemain utama dalam perdagangan narkoba, akan mengurangi produksi kokain dan alirannya ke negara-negara asing seperti Amerika Serikat, konsumen global terbesar dari narkoba jenis itu.

Namun terlepas dari perjanjian damai dan bantuan sekitar 400 juta dolar yang dijanjikan oleh Amerika Serikat, serta 300 juta dolar lainnya khusus untuk mengatasi masalah tersebut, produksi kokain tetap melonjak.

Pada tahun 2017, produksi narkoba ini naik 31 persen menjadi sekitar 1.543 ton, yang dibudidayakan di 660 mil persegi perkebunan koka. Ini merupakan rekor tertinggi menurut laporan dari Kantor Kejahatan Narkoba Amerika Serikat yang dirilis pada September 2018.

Pada Agustus 2018, Duque menjanjikan ‘hasil konkret’. Akan tetapi pemerintahannya mengatakan mereka dibatasi oleh penangguhan fumigasi coca melalui udara yang menggunakan glyphosate kimia, keputusan yang dibuat pada tahun 2015 oleh Presiden Juan Manuel Santos saat itu. Keputusan itu menyusul peringatan dari Organisasi Kesehatan Dunia, bahwa bahan kimia tersebut berpotensi menyebab kanker.

Rencana untuk menggunakan pesawat tanpa berawak (drone) untuk menyemprot tanaman koka, bahan dasar kokain, sejak itu terhenti menyusul kritik dari dalam dan luar negeri.

Pompeo membawa masalah ini kembali menjadi sorotan pada 14 April 2019, saat berkunjung ke kota Cúcuta di perbatasan Kolombia-Venezuela untuk membahas krisis ekonomi, politik, dan sosial di perbatasan. Krisis Venezuela yang telah menyebabkan lebih dari satu juta warga Venezuela melarikan diri ke Kolombia.

Pompeo menggunakan nada yang lebih lembut, menyatakan Amerika Serikat akan ‘terus bekerja’ dengan Kolombia untuk membendung aliran obat-obatan terlarang dan ambil bagian untuk mengurangi permintaan obat-obatan terlarang di Amerika, sambil meminta pemimpin Kolombia itu untuk mengatasi permasalahan tersebut di Kolombia.

Pada 15 April, Menteri Pertahanan Kolombia Guillermo Botero mengatakan kepada wartawan bahwa pemerintah berkeinginan untuk memulai penyemprotan udara lagi. Akan tetapi larangan peradilan atas fumigasi udara, yang didukung oleh Mahkamah Konstitusi, menghalangi jalannya.

Sementara itu, pendekatan lain sedang dipertimbangkan.

“Kami mencari alternatif lain seperti hama yang dapat menembus tanaman [coca], tetapi semua itu membutuhkan dukungan ilmiah yang kuat,” ujar Botero.

Adam Isaacson, Analis Andes di Kantor Washington di Amerika Latin, mengatakan bahwa untuk benar-benar memadamkan produksi kokain, pemerintah Kolombia perlu membuat strategi jangka panjang.

“Saya pikir fakta bahwa permintaan tetap konstan adalah penting, dan pemerintah belum memberikan petani alternatif yang layak dalam jangka pendek,” kata Adam Isaacson.

Adam mencatat bahwa 120.000 rumah tangga Kolombia saat ini bertahan hidup dari panen daun Coca, tanpa alternatif ekonomi.

“Juga, pertumbuhan ekonomi ilegal adalah karena peluang [menghasilkan uang] yang sangat besar yang dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang ingin mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh FARC.”

FARC melucuti dirinya sendiri pada Juni 2017 dan direformasi sebagai partai politik yang sah, sesuai dengan ketentuan perjanjian damai. Namun, ribuan pembangkang FARC – pemberontak yang menolak untuk ambil bagian dalam proses perdamaian, atau yang mengambil bagian tetapi kemudian meninggalkannya – masih terlibat dalam perdagangan narkoba. (LUKE TAYLOR/The Epoch Times/waa)

Video Pilihan :

https://youtu.be/M_mC5lLx2Ow

Simak Juga :

https://youtu.be/rvIS2eUnc7M

Mantan Presiden Peru Tembak Kepala Sendiri Ketika Hendak Ditangkap

0

EpochTimesId – Mantan presiden Peru, Alan Garcia meninggal di sebuah rumah sakit di Lima pada hari Rabu, 17 April 2019. Dia sebelumnya menembak dirinya ketika polisi tiba di rumahnya, untuk menangkapnya.

Garcia akan ditangkap terkait kasus dugaan suap. Pria 69 tahun itu sudah berulang kali membantah melakukan korupsi dan menerima suap.

Anggota partainya mengumumkan kematiannya kepada masyarakat yang berkumpul di luar rumah sakit Casimiro Ulloa, di mana dia menderita tiga gagal jantung dan menjalani operasi darurat.

Presiden Martin Vizcarra mengatakan di Twitter bahwa dia merasa cemas atas kematian Garcia, dan mengirimkan belasungkawa kepada anggota keluarganya.

Dokter mengatakan mantan Presiden Peru Alan García meninggal karena pendarahan otak parah akibat tembakan dan gagal jantung. Sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh Rumah Sakit José Casimiro Ulloa di ibu kota Lima mengatakan Garcia meninggal sekitar tiga jam setelah tiba di rumah sakit karena luka tembak.

“Dia dirawat di rumah sakit untuk pendarahan yang tidak terkendali di pangkal tengkorak pada 6:45 waktu setempat dan masuk operasi sekitar tiga puluh menit kemudian,” rilis pihak rumah sakit.

Pihak berwenang tiba di rumah García Rabu pagi untuk menahannya sehubungan dengan penyelidikan korupsi. Mereka mengatakan dia menutup diri di kamar tidur dan kemudian suara tembakan terdengar.

‘Korupsi yang Merajalela’
García adalah penghasut populis yang masa kepresidenan pertamanya diwarnai situasi tidak menentu pada 1980-an. Situasi yang ditandai oleh hiperinflasi, korupsi yang merajalela, dan munculnya gerakan gerilya Shining Path.

Ketika dia kembali berkuasa dua dekade kemudian, dia menjalankan pemerintahan yang lebih konservatif, membantu mengantar negara itu pada ledakan investasi yang dipimpin komoditas di mana Odebrecht memainkan peran pendukung utama.

Garcia, seorang orator ahli yang telah memimpin partai Apra yang dulu sangat kuat di Peru selama beberapa dekade, memerintah sebagai nasionalis dari tahun 1985 hingga 1990. Dia kemudian membentuk kembali dirinya sebagai pendukung pasar bebas dan memenangkan masa jabatan lima tahun lagi pada tahun 2006.

Skandal Korupsi Global
Odebrecht dituduh membagikan hampir US$ 800 juta suap antara tahun 2001 dan 2016, untuk mendapatkan kontrak dari pemerintah untuk membangun jalan, jembatan, bendungan dan jalan raya.

Pihak berwenang mengatakan pejabat Odebrecht mengirim uang tunai ke seluruh dunia, dari satu ‘rekening cangkang’ bank ke rekening lainnya. Uang itu kemudian diduga kuat sampai kepada kantong para politisi di belasan negara, termasuk Peru, Meksiko, Venezuela, Kolombia, Argentina, dan Mozambik. Beberapa aliran suap diduga melalui sistem keuangan Amerika Serikat.

Skandal korupsi ini, salah satu yang terbesar dalam sejarah modern, melibatkan beberapa mantan presiden Amerika Latin.

Tahun lalu, Presiden Peru, Pedro Pablo Kuczynski mengundurkan diri sehari sebelum kongres memberikan suara atas pemakzulannya. Dia terus menyangkal terlibat dalam skandal Odebrecht.

Kucyznski ditahan minggu lalu sebagai bagian dari penyelidikan pencucian uang dalam hubungannya dengan perusahaan. Sekutu kongres Kuczynski mengatakan, Dia juga dibawa Selasa malam ke klinik setempat akibat tekanan darah tinggi.

Ekuador melengserkan Wakil Presiden Jorge Glas, yang kemudian dijatuhi hukuman enam tahun penjara pada Desember 2017 karena menerima suap US$ 13,5 juta dari Odebrecht.

Ada pula mantan presiden Brasil, Luiz Inacio Lula da Silva yang tengah menjalani hukuman 12 tahun karena korupsi dan pencucian uang. Dia juga diduga menerima suap dari Odebrecht, yang membiayai villa liburan keluarganya.

Seorang hakim Peru pekan lalu memerintahkan penahanan Kuczynski selama 10 hari saat mereka menyelidiki dugaan suap sekitar US$ 782.000 yang sebelumnya dirahasiakan dari raksasa konstruksi Brasil, Odebrecht lebih dari satu dekade lalu.

Sidang dijadwalkan berlangsung Rabu untuk memutuskan apakah akan meningkatkan penahanannya menjadi tiga tahun. (Associated Press, CNN Wire, dan REUTERS/The Epoch Times)

Video Pilihan :

https://youtu.be/M_mC5lLx2Ow

Simak Juga :

https://youtu.be/rvIS2eUnc7M

Sebaran Suara Pilpres 2019 di 34 Provinsi Versi Quick Count CSIS-Cyrus Network

0

Epochtimes.id- Lembaga survei Center for Strategic and International Studies (CSIS) dan Cyrus Netwrok merilis Quick Count atau hitung cepat Pilpres 2019. Hasilnya,  paslon 01 Jokowi-Maruf Amin meraih 55,8% dari 02 Prabowo-Sandi 44,2% suara.

Hasil hitungan cepat berdasarkan data yang masuk hingga pukul 17.54 WIB, sebesar 90,2%, dengan kualitas random 99,8% di kantor CSIS, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (17/4/2019).

Untuk diketahui Quick count atau hitung cepat adalah metode verifikasi langsung hasil pemilu di tempat pemungutan suara (TPS) yang dijadikan sampel. Sedangkan hasil pemilihan umum secara resmi akan diumumkan oleh KPU RI.

Berikut sebaran suara Pilpres :

Nanggaroe Aceh Darussalam

Data yang masuk 75,68%

Jokowi – Maruf Amin = 22,02%

Prabowo Subianto – Sandiaga Uno = 77,98%

Sumatera Utara

Data yang masuk 89,32%

Jokowi – Maruf Amin = 48,38%

Prabowo Subianto – Sandiaga Uno = 51,62%

Lampung

Data yang masuk 90,36%

Jokowi – Maruf Amin = 62,35%

Prabowo Subianto – Sandiaga Uno = 37,65%

Sumatera Selatan

Data yang masuk 85,48%

Jokowi – Maruf Amin = 40,02%

Prabowo Subianto – Sandiaga Uno = 59,98%

Riau

Data yang masuk 85,37%

Jokowi – Maruf Amin = 38,91%

Prabowo Subianto – Sandiaga Uno = 61,09%

Sumatera Barat

Data yang masuk 69,23%

Jokowi – Maruf Amin = 16,17%

Prabowo Subianto – Sandiaga Uno = 83,83%

Jambi

Data yang masuk 84,62%

Jokowi – Maruf Amin = 39,68%

Prabowo Subianto – Sandiaga Uno = 60,32%

Bengkulu

Data yang masuk 86,67%

Jokowi – Maruf Amin = 46,97%

Prabowo Subianto – Sandiaga Uno = 53,03%

Kepulauan Riau

Data yang masuk 76,92%

Jokowi – Maruf Amin = 48,95%

Prabowo Subianto – Sandiaga Uno = 51,05%

Kepulauan Bangka Belitung

Data yang masuk 70%

Jokowi – Maruf Amin = 63,73%

Prabowo Subianto – Sandiaga Uno = 36,27%

Jawa Barat

Data yang masuk 94,84%

Jokowi –  Maruf Amin = 38,97%

Prabowo Subianto-Sandiaga Uno =61,03 %

Jawa Timur

Data yang masuk 92,28%

Jokowi – Maruf Amin = 66,05%

Prabowo Subianto – Sandiaga Uno = 33,95%

Jawa Tengah

Data yang masuk 95,55%

Jokowi – Maruf Amin = 77,2%

Prabowo Subianto-Sandiaga Uno = 22,28%

DKI Jakarta

Data yang masuk 90,12%

Jokowi – Maruf Amin = 51,74%

Prabowo Subianto – Sandiaga Uno = 48,28%

Banten

Data yang masuk 94,12%

Jokowi – Maruf Amin = 44,65%

Prabowo Subianto – Sandiaga Uno = 55,35%

Yogyakarta

Data yang masuk 93,1%

Jokowi – Maruf Amin = 67,25%

Prabowo Subianto – Sandiaga Uno = 32,75%

Sulawesi Selatan

Data yang masuk 76,92%

Jokowi – Maruf Amin = 43,97%

Prabowo Subianto – Sandiaga Uno = 56,03%

Sulawesi Tengah

Data yang masuk 70%

Jokowi – Maaruf Amin = 53,47%

Prabowo Subianto – Sandiaga Uno = 46,53%

Sulawesi Utara

Data yang masuk 75%

Jokowi – Maruf Amin = 84,33%

Prabowo Subianto – Sandiaga Uno = 15,67%

Sulawesi Tenggara

Data yang masuk 100%

Jokowi – Maaruf Amin = 33,61%

Prabowo Subianto – Sandiaga Uno = 66,39%

Sulawesi Barat

Data yang masuk 66,67%

Jokowi – Maruf Amin = 59,36%

Prabowo Subianto – Sandiaga Uno = 40,64%

Gorontalo

Data yang masuk 88,89%

Jokowi – Maruf Amin = 61,85%

Prabowo Subianto – Sandiaga Uno = 38,15%

NTB

Data yang masuk 97,37%

Jokowi – Maaruf Amin = 33,1%

Prabowo Subianto – Sandiaga Uno = 66,9%

NTT

Data yang masuk 72,22%

Jokowi – Maruf Amin = 91,29%

Prabowo Subianto – Sandiaga Uno = 8,7%

Bali

Data yang masuk 93,94%

Jokowi – Maruf Amin = 92,16%

Prabowo Subianto – Sandiaga Uno = 7,84%

Kalimantan Barat

Data yang masuk 76,92%

Jokowi – Maruf Amin = 58,25%

Prabowo Subianto-Sandiaga Uno = 41,75%

Kalimantan Selatan

Data yang masuk 83,33%

Jokowi – Maruf Amin = 38,04%

Prabowo Subianto – Sandiaga Uno = 61,96%

Kalimantan Timur

Data yang masuk 88,46%

Jokowi – Maruf Amin = 62,03%

Prabowo Subianto – Sandiaga Uno = 37,93%

Kalimantan Tengah

Data yang masuk 83,33%

Jokowi – Maruf Amin = 64,71%

Prabowo Subianto – Sandiaga Uno = 35,29%

Kalimantan Utara

Data yang masuk 100%

Jokowi – Maruf Amin = 71,24%

Prabowo Subianto – Sandiaga Uno = 22,76%

Maluku

Data yang masuk 92,31%

Jokowi – Maruf Amin = 67,13%

Prabowo Subianto – Sandiaga Uno = 32,87%

Maluku Utara

Data yang masuk 87,5%

Jokowi – Maruf Amin = 31,8%

Prabowo Subianto – Sandiaga Uno = 68,2%

Papua

Data yang masuk 67,57%

Jokowi – Maruf Amin = 76,6%

Prabowo Subianto – Sandiaga Uno = 23,4%

Papua Barat

Data yang masuk 87,5%

Jokowi – Maruf Amin = 75,94%

Prabowo Subianto – Sandiaga Uno = 34,06%

Sumber : Tribunnews

(asr)