Tang Ming
Tahun 2018 adalah tahun Wuxu (dibaca: U sü) berdasarkan penanggalan lunar tradisional Tiongkok, oleh banyak orang dianggap sebagai tahun dimana mungkin akan terjadi perubahan besar.
Ada ramalan mengatakan, Tiongkok akan mengalami perubahan besar tersebut di tahun 2018 ini, di Taiwan ada media massa yang bahkan berpendapat, tiga ramalan besar dari zaman Tiongkok kuno ‘tanpa koordinasi dan secara bersamaan’ mengatakan akan terjadi perombakan dinasti di tahun 2018.
Tanpa membahas akurasi ramalan terkait, seperti diketahui, pada saat suatu hal berkembang sampai ke titik ekstrim. Maka akan terjadi perubahan yang mendasar, ketika suatu negara tiba pada saat di mana terjadi kesulitan di dalam dan luar negeri, semakin sengitnya konflik sosial masyarakat, sistem politik ekonomi mengalami krisis dan sulit diselamatkan, dan ajal sudah di ambang mata.
Atas faktor-faktor di atas maka dibutuhkan suatu reformasi besar-besaran untuk melancarkannya kembali, bahkan bila perlu dilakukan perombakan dinasti.
Dari berbagai fenomena bisa dilihat, di tahun Wuxu (siklus 60 tahun sesuai kalender Imlek yang tahun ini dimulai pada 16 Februari dan berakhir pada 15 Februari 2019) ini mungkin akan terjadi semacam perubahan besar.
Melihat Tahun Wuxu yang Tidak Biasa dari Segi Sejarah
Menilik sejarah Tiongkok dimana setiap 60 tahun sekali pada tahun Wuxu akan terjadi reformasi politik.
Seperti kaisar Daoguang dari Dinasti Qing pada tahun Wuxu-1838, memutuskan memberlakukan larangan terhadap opium.
Waktu itu di bulan November kaisar Daoguang memanggil Lin Zexu yang gigih melarang opium ke ibukota, dan sempat delapan kali menemui Lin, keduanya berdialog secara tertutup selama lebih dari 4 jam.
Di bulan Desember 1838, Lin Zexu diangkat sebagai pejabat utusan kekaisaran untuk melarang opium di provinsi Guangdong, peristiwa itu menorehkan sejarah yang mendalam bagi Tiongkok.
Pada akhir masa Dinasti Qing terjadi “Reformasi Hukum Wuxu” yakni pada tahun Wuxu-1898 dalam 24 tahun pemerintahan kaisar Guangxu (dibaca: Kwang sü), yang juga disebut Seratus Hari Reformasi.
Gerakan reformasi politik merombak Undang-Undang yang awalnya mendapat persetujuan dari ibu suri Cixi (yang berpengaruh) itu diprakarsai oleh kaisar Guangxu, mencakup banyak aspek yakni: ekonomi, pendidikan, militer, politik dan birokrasi, dengan harapan Tiongkok menempuh jalan konstitusi monarki.
Setelah perubahan UU Wuxu gagal hanya dalam waktu tiga belas tahun pergantian dinasti, pemerintahan Dinasti Qing digulingkan dan digantikan oleh pemerintahan Republik Tiongkok (oleh Dr. Sun Yat Sen), dan sistem pemerintahan monarki itu pun berakhir.
Enam puluh tahun kemudian yakni tahun Wuxu-1958, Mao Zedong melancarkan gerakan “Lompatan Besar”, di bulan Agustus Biro Politik Pusat Partai Komunis Tingkok (PKT) menggelar rapat perluasan di Beidaihe membahas masalah “melampaui Inggris dan mengejar Amerika” harus meningkatkan produksi baja, menggerakkan seluruh rakyat menempa baja, tapi hasilnya selain hanya medapat besi tua, tanaman pangan milik Komune Rakyat tidak terurus dan tidak ada padi.
Akibatnya membuat bencana kelaparan berskala nasional, PKT tidak langsung memperbaiki kesalahannya, dan membiarkan wabah kelaparan itu berlangsung selama tiga tahun, sebanyak 40 juta jiwa rakyat Tiongkok mati kelaparan.
Di saat yang sama turut terjadi reformasi besar di desa pertanian, yakni dibentuknya Komune Rakyat atau yang biasanya disebut Makan Dari Periuk Besar, tanah milik warga desa diambil alih, seluruh keluarga tidak boleh memasak. Bahkan kuali, panci, meja dan kursi pun semuanya diserahkan pada komune, semua ini sepertinya menjadi pondasi atas terjadinya wabah kelaparan besar, mayat pun bergelimpangan dimana-mana.
Reformasi suatu negara biasanya diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyatnya. Namun satu kali reformasi di tahun 1958 dari PKT yang bersifat mematikan ini belum pernah terjadi dalam sejarah Tiongkok.
Politik dan Ekonomi PKT Menemui Jalan Buntu
Sebenarnya PKT juga sedang mereformasi diri, tapi hanya sebatas internalnya saja, seperti reformasi ekonomi yang ibarat menyeberang sungai sambil meraba batu, walaupun ekonomi sudah meningkat. Namun ikut bertumbuh pula korupsi dimana-mana.
Begitu naik jabatan pada 2012, Xi Jinping pun memberantas korupsi, sebanyak 1,3 juta orang koruptor tingkat “lalat dan macan” pun diciduk, mulai dari kepala desa sampai jendral tidak ada satu pun tingkatan yang lolos.
Namun tidak mampu membasmi korupsi sampai ke akarnya, korupnya pemerintahan saat ini dari satu sisi telah merefleksikan betapa tidak satu pun pejabat yang tidak melakukan korupsi.
Jika terus membasmi korupsi seperti ini bahkan puluhan tahun lagi pun tidak akan bisa membasmi korupsi sampai ke akarnya.
Apalagi pejabat yang baru pada dasarnya juga tidak bersih, tidak ada sistem politik dan moralitas yang dapat mendorong terciptanya pemerintahan yang bersih.
Pada gilirannya tidak mungkin tidak menjadi bagian dari dinasti PKT yang korup, daripada berantas korupsi akan lebih baik dilakukan perombakan total, meninggalkan materialisme dan mencari reformasi politik.
Tapi sama halnya dengan Dinasti Qing, PKT tidak pernah bisa menapak langkah pertama reformasi politik ini yang menyebabkan terjadinya pertumbuhan abnormal ekonomi yang dikuasai kaum elite.
PKT mendorong tiap daerah mengembangkan ekonomi wilayahnya, seiring dengan hal itu dampak negatif pun mencuat.
Ini dikarenakan reformasi politik tidak bisa mengimbangi, maka terjadi kesenjangan kaya miskin. Banyak kasus ekonomi dengan sendirinya berpihak pada kaum elite dan tidak adil, sehingga ibukota Beijing pun menjadi pusat warga yang datang untuk mengadu dan mengajukan petisi.
Satu kata saja dari petinggi PKT sudah bisa menganiaya sekelompok orang bahkan merampas organ tubuh mereka, dan kasus itu terjadi dimana-mana.
PKT melakukan berbagai kejahatan tapi takut terungkap luas, maka mati-matian memberlakukan sensor jaringan internet menindas rakyat.
Konflik antar golongan ala Revolusi Kebudayaan pun terus berlanjut, Beijing mengkategorikan “warga kelas bawah (kaum pendatang berpenghasilan rendah)” yang berarti telah mendefinisikan kelompok tersebut sebagai sebuah kelas/kasta dan PKT tengah mengusir kelas tersebut dimulai dari ibu kota Beijing. Penderitaan rakyat Tiongkok dan malpraktik hukum saat ini tidak berkesudahan.
Baik di dalam maupun luar negeri sikap preman PKT yang sesat dan jahat itu telah tidak dapat ditutupi lagi, dan kian hari kian terlihat wujud aslinya.
Berbagai konflik sosial di dalam maupun luar negeri telah mencapai tahap yang sangat serius, kesulitan dari dalam dan luar negeri ini jauh melampaui masa akhir Dinasti Qing dulu. Politik dan ekonomi telah menemui jalan buntu, telah tiba masanya PKT akan digulingkan oleh rakyat atau memilih untuk membubarkan diri.
Perlu diketahui bahwa sejarah perubahan UU Wuxu, waktu itu ekonomi pasar dari kapitalisme luar negeri ingin mendobrak pintu Tiongkok. Berbagai pemikiran masuk ke Tiongkok dan terus ditangkis oleh pemerintahan Dinasti Qing yang kolot, tahun 1895 dalam Perang Sino-Jepang pemerintahan Qing kalah perang melawan Jepang, dan harus ‘menyerahkan wilayah sebagai ganti rugi’.
Hal ini memicu kemarahan rakyat dan membuat pemerintahan Qing dan kaum cendekia sadar bahwa harus ada perubahan untuk menjadi kuat. Lalu muncullah tuntutan perombakan Undang-Undang termasuk pada sistem politik.
Pada peristiwa ‘Gerakan Gongche Shangshu” di Beijing, dimana Kang Youwei dan Liang Qichao (dua cendekiawan terkemuka pada zaman akhir Dinasti Qing) bersama 1000 lebih intelektual Beijing menulis surat petisi puluhan ribu kata kepada kaisar Guangxu.
Pada Juni 1898, kaisar Guangxu memerintahkan diterbitkannya “Titah Konsolidasi Strategi Negara” untuk menyatakan tekadnya melakukan reformasi, dimulailah ‘Seratus Hari Reformasi’.
Tapi perubahan UU ini berbeda dengan pondasi pemerintahan Manchuria, sehingga menuai boikot dari para oposisi Manchuria yang beranggapan UU yang diwariskan leluhur tidak boleh diubah. Apalagi memotong kuncir ala Manchu, ganti berpakaian ala Barat, dan serangkaian aksi reformasi lainnya tidak bisa diterima oleh kaum oposan yang berpegang teguh pada aturan lama itu.
Ketika itu ibu suri Cixi juga tidak bisa beradaptasi dengan perubahan besar itu, menyadari situasi sangat genting, pada bulan September dilancarkanlah olehnya “kudeta Wuxu”, pemerintahan diambil alih kembali, Tan Sitong dan “6 ksatria Wuxu” dihukum pancung, kaisar Guangxu dikucilkan di pulau Yingtai kompleks Zhongnanhai, mengakhiri 103 hari reformasi UU Wuxu.
Menilik Sejarah Melihat Kondisi Sekarang
Tapi arus kemajuan sejarah tidak bisa dibendung oleh siapa pun, kegagalan perubahan UU Wuxu memicu ide-ide revolusioner yang lebih sengit lagi dan suara-suara menggulingkan pemerintahan Dinasti Qing membangun negara republik tak terbendung.
Reformasi UU Wuxu menjadi landasan penting bagi Dr. Sun Yat Sen untuk menggantikan pemerintahan dan menggulingkan dinasti.
Jika pemerintahan Qing kala itu mampu memanfaatkan momen perubahan UU Wuxu untuk melakukan reformasi yang berani, seperti halnya Jepang dan Inggris yang dulunya menerapkan sistem konstitusi monarki, kemudian juga beralih menjadi demokrasi republik dan menyerahkan kekuasaan pada rakyat, membiarkan sistem tata negara itu mengalami perubahan total, maka perubahan UU baru bisa berhasil.
Saat ini pemerintahan PKT juga menghadapi pilihan, mau berubah atau tidak, memilih bertransisi secara damai yang stabil dengan mencampakkan PKT atau digulingkan rakyat.
Tergulingnya Dinasti Qing adalah contohnya, ada juga versi lain yang bisa diteladani, yakni bekas Uni Soviet dan negara komunis Eropa Timur yang tercerai berai tanpa pertumpahan darah. Jika tetap bersikeras seperti pemerintahan Qing, maka pasti akan musnah karena sudah usang.
PKT Tengah Manfaatkan Segala Cara Kukuhkan Kekuasaan
Tetapi, kita melihat PKT sepertinya tidak berniat melakukan reformasi yang fundamental, melainkan berusaha membersihkan kejahatannya dan mengekspor doktrin.
PKT melakukan serangkaian reformasi yang menggelikan : pertama, menumbuhkan ekonomi mengira bisa membuat dunia mengakui keberhasilan PKT, tanpa peduli PKT berganti marga komunis atau kapitalis, haluan kiri atau kanan, semua itu adalah karakteristik RRT kepemimpinan PKT.
Partai ini telah mempunyai ekonomi yang kokoh diluarnya, dan ingin membentuk lagi politik yang kokoh diluarnya, dengan demikian bisa menipu rakyat dan agar seluruh dunia mengakui kejahatan komunisme.
Oleh karena itu, PKT yang kaya mendadak itu membagikan uang ke seluruh dunia tanpa peduli kesengsaraan rakyatnya sendiri, seperti investasi besar-besaran, dengan mengatasnamakan “Confucius Institute” di banyak negara untuk menyebarluaskan doktrin ideologi PKT. Melakukan “One Belt One Road” berinvestasi besar di banyak negara dengan royal memberikan bantuan uang pada negara komunis lain, bahkan termasuk Korea Utara yang berada dalam puncak krisis.
PKT yang dicurigai melakukan perampasan organ tubuh bahkan berani menggelar “Konferensi Cangkok Organ Internasional.” Jaringan internet RRT adalah yang paling disensor, dan dengan sensor yang diberlakukan sedemikian ketat itu PKT juga masih berani menggelar “Konferensi Internet Dunia” beberapa kali berturut-turut.
PKT yang berjuang bertahan hidup itu disaat perang melawan Jepang pada Perang Dunia II juga berani menggelar “parade militer kemenangan” kolosal pada 2016 lalu. Bahkan beberapa kali meralat sendiri sejarah kelamnya, termasuk meralat sejarah “Revolusi Kebudayaan”, berbagai cara yang dilakukannya itu adalah untuk menipu dunia yang bertujuan mencari jalan keluar bagi legalimasi pemerintahannya.
Serangkaian tindakan PKT lewat berbagai penyelenggaraan ajang internasional yang tidak tahu malu itu adalah upayanya bak pencucian uang untuk menghapus jejak kejahatannya dengan pemerintahan diktatornya yang kekejamannya tidak pernah ada di planet ini. Akibatnya, selain hanya membuang uang dan menjadi cemoohan, strategi PKT tidak mencapai sasaran yang diharapkan.
Seperti “Confucius Institute” yang telah diselenggarakan bertahun-tahun telah dianggap berbahaya oleh banyak negara dan diboikot. Termasuk seperti strategi PKT yang disebutnya sebagai strategi tingkat negara yakni “One Belt One Road” juga mengalami banyak kegagalan.
“Koridor Ekonomi RRT-Pakistan” adalah salah satu mata rantai yang krusial pada kebijakan “One Belt One Road”, tapi akhirnya Pakistan dan Nepal di luar dugaan menolak investasi PKT; juga terjadinya pergolakan di sejumlah rezim negara lain, mengakibatkan investasi besar PKT pun terancam lenyap begitu saja.
PKT telah melakukan sejumlah kebijakan yang disebut reformasi yang konyol sebagai motivasi agar seluruh dunia menganut paham komunis juga mengalami kegagalan, “impian Tiongkok” agar semua negara datang beraudiensi kepadanya, ditakdirkan tidak akan terwujud selama PKT masih berkuasa.
Sebaliknya justru membuat dunia semakin memahami wajah asli PKT, satu-satunya yang bisa diwujudkan PKT adalah semua negara datang mencemoohnya!
Leluhur mengatakan, berubah maka akan lancar, lancar maka akan bertahan lama. Hanya dengan berubah dan menjadi lancar dengan meninggalkan PKT baru bisa keluar dari kesulitan, jika tidak mau berubah maka akan mati, akan berakibat sama dengan reformasi yang dilakukan oleh ibu suri Cixi. Kehancuran PKT dan menjadi caci maki dalam sejarah pasti juga akan terjadi.
Dengan situasi kondisi RRT saat ini, sebenarnya bagaimanakah kalkulasi Xi Jinping dan apa tindakannya?
Kita melihat Xi Jinping saat di Yingtai, Zhongnanhai menemui raja dan politikus yang datang berkunjung, juga menggelar “bincang malam di Yingtai” dengan Obama, apakah membicarakan reformasi yang gagal di masa akhir Dinasti Qing itu?
Apakah membicarakan perubahan UU Wuxu dan Kaisar Guangxu yang dikucilkan di Yingtai karena “perubahan UU Wuxu”, tindakan Xi Jinping itu apakah dengan tujuan melontarkan sinyal tertentu?
Terhadap kunjungan Trump yang dijamu di Istana Kota Terlarang (Forbidden City), tempat seperti apakah Forbidden City itu? Bahkan Mao Zedong pun tidak berani menginjakkan kaki disana, Manchuria adalah bangsa pendatang yang tidak hanya berasimilasi dengan kebudayaan Han/Tiongkok, Istana Terlarang itu bahkan mengandung energi positif kebudayaan Tionghoa yang sangat gemerlap.
Sedangkan penganut ajaran sesat Marxisme yang merusak kebudayaan Tionghoa tidak akan berani menginjakkan kaki di Istana tersebut, Mao Zedong adalah penganut sejati paham Marxisme, mana mungkin berani melangkahi Daerah Terlarang, ia tahu Marx dan Lenin adalah roh sesat dari negara asing, tidak bisa mewakili bangsa Tionghoa.
Xi Jinping dan istri mendampingi Trump dan istri bercengkerama di Istana Terlarang, apakah melontarkan sinyal akan ditinggalkannya ajaran sesat Marxisme Leninisme?
Kaisar Guangxu secara resmi telah menerapkan ‘Seratus Hari Reformasi’, pada akhirnya gagal karena “Kudeta Wuxu.”
Sekarang ini Xi Jinping belum pernah secara resmi menyatakan perubahan politik, namun kekuatan yang takut akan perubahan politik itu telah berkali-kali melancarkan kudeta namun gagal.
Gagalnya reformasi kaisar Guangxu, penyebab utamanya adalah intervensi politik para manula yang berpengaruh dan tidak adanya kekuasaan terpusat, sekarang Xi Jinping pada dasarnya telah mendapatkan kekuasaan terpusat setelah Kongres Nasional ke-19 PKT November lalu.
Xi Jinping mampu menumpas berbagai kekuatan di kesatuan polisi bersenjata dan militer, intervensi politik para manula yang berpengaruh di baliknya juga pada dasarnya telah diakhiri. Kini sudah tidak ada lagi kekhawatiran ala kaisar Guangxu dan Xi telah memiliki kemampuan untuk bisa mengibarkan panji reformasi.
Namun, berubah atau tidak, tidak ada yang tahu apa yang dipikirkan oleh Xi Jinping atau pemerintah.
Apakah perubahan dengan langsung meninggalkan PKT dan mengarah pada kebebasan demokrasi, atau menggunakan cara reformasi yang lebih kejam lagi untuk mengukuhkan rezim PKT tanpa peduli korban berjatuhan? Tahun Wuxu penanggalan lunar akan segera dimulai, mari kita nantikan apa yang bakal terjadi. (SUD/WHS/asr)
Sumber : Epochtimes.com