oleh Wang He
Epochtimes.id- Pada 24 November, pihak berwenang Tiongkok mengumumkan penutupan sementara Jembatan Persahabatan Tiongkok – Korea Utara. Ini menandakan bahwa di bawah berbagai tekanan Xi Jinping akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Kim Jong-un, meskipun keputusan ini tidak mudah diambil.
Akibat perang Korea, kedua bangsa bertetangga ini membentuk ‘aliansi darah. Mao Zedong, Deng Xiaoping, Jiang Zemin dan Hu Jintao pernah memiliki hubungan dekat dengan keluarga dari 2 generasi Kim, yakni Kim Il-sung dan Kim Jong-il. Apalagi saat ini, Korea Utara sudah menjadi salah satu dari sedikit negara komunis di dunia.
Maka takut menjadi lawan politik serta pengaruh psikoanalisis tentang komunisme dari Xi Jinping sendiri, telah membawa dampak pada kebijakan Tiongkok – Korea Utara, sehingga selama ini selalu berada dalam status konflik. ‘Sulit dipelihara tetapi juga sulit diputus’.
Ketika lonceng tahun 2018 tak lama lagi akan berdentang, mengapa Xi Jinping bertekad membuat keputusan ini ? Tentu saja karena adanya desakan kondisi.
Kondisi pertama, Ketidakakuran antara Xi Jinping dengan Kim Jong-un, karena Kim Jong-un lebih memilih bergandengan tangan dengan kekuatan dalam dari Partai Komunis Tiongkok yang menentang Xi Jinping, dan menggunakan alasan uji coba nuklir dan peluncuran rudal untuk membantu mereka mengacaukan situasi politik rezim Xi Jinping.
Setelah Kim Jong-il meninggal pada bulan Desember 2011, Kim Jong-un menjadi pemimpin generasi ketiga klan keturunan Korea Utara. Hal yang tidak umum adalah bahwa kedua pemimpin tersebut sampai sekarang belum pernah bertemu muka. Bahkan Xi mulai menjauhi Kim Jong-un.
Sebagai contoh, Xi mengunjungi Korea Selatan pada awal masa kepresidenannya. Xi Jinping juga tidak mengundang Kim Jong-un saat parade militer di Beijing tahun 2015. Malahan Park Geun-hye yang menjadi tamu VIP. Ini membuat Kim marah. yang terakhir adalah Kim menolak untuk menemui utusan khusus Xi.
Di pihak PKT, Xi Jinping dengan nada tinggi terus menumbangkan kekuatan ‘harimau’, perselisihan berlangsung sangat sengit. Untuk waktu yang lama, PKT dan kelompok Jiang Zemin telah mengadopsi kebijakan pura-pura tidak tahu tetapi diam-diam mendukung untuk menjadikan Korea Utara sebagai pion yang dapat dimanfaatkan demi kepentingan mereka.
Oleh karena itu Jiang dan Zeng (Qinghong) bergabung dengan rezim Korea Utara untuk melakukan uji coba nuklir, meluncurkan rudal dan manuver lainnya pada saat-saat penting dalam upayanya untuk mempengaruhi situasi politik Tiongkok.
Ada contoh umum kerjasama antara kelompok Jiang dengan rezim Kim Jong-un, yaitu pada 25 Juli 2013 ketika wakil kepala negara Tiongkok Li Yuanchao mengunjungi DPRK, dia mengatakan bahwa hubungan antara Tiongkok dengan DPRK tidak lagi ‘sekutu darah’ kecuali hubungan antara negara biasa. Tapi ucapan itu langsung digulingkan oleh kelompok Jiang, Liu Yunshan.
Bulan Oktober 2015, ketika Liu Yunshan mengambil bagian dalam upacara peringatan ulang tahun ke 70 berdirinya Partai Buruh Korea Utara, dalam pertemuannya dengan Kim Jong-un, dia mengutarakan hal prinsip dari Jiang Zemin soal hubungan kedua negara adalah “Sesuai tradisi yang ada, bersama menghadapi masa depan, mempererat persahabatan antar negara tetangga, memperkuat kerjasama.”
5 tahun kemudian, setelah sejumlah besar kekuatan kelompok Jiang dilumpuhkan, perselisihan terbuka antara Xi dengan kelompok Jiang setiap saat bisa terjadi. Dan Kim Jong-un pun sudah kehilangan wali di kalangan pemimpin atas PKT yang bisa menyuarakan isi hatinya. Saat ini, Xi memiliki lebih banyak ruang dan warna yang lebih pribadi dalam menentukan kebijakan terhadap Korea Utara.
Kondisi kedua, kebijakan Trump membuat DPRK menjadi beban strategis PKT
Awal tahun 2017, Trump menduduki jabatan presiden AS. Ia lalu melakukan perombakan besar terhadap kebijakannya dengan DPRK dan RRT.
Pertama, Trump dengan tegas menolak ‘Penangguhan Ganda’ (yaitu AS menghentikan latihan militer dengan Korea Selatan dan DPRK menghentikan uji coba nuklir), dan menuntut agar isu nuklir DPRK diselesaikan dengan segera dan menyeluruh.
Pada tahun 1994, Amerika Serikat dan DPRK mencapai kesepakatan melalui “Persetujuan Kerangka Kerja untuk Isu Nuklir Korea Utara,” dan Amerika Serikat kemudian memberikan bantuan berupa makanan dan energi untuk menggantikan janji DPRK menghentikan pengembangan senjata nuklir. Pada kenyataannya kesepakatan tersebut tidak dijalankan.
Dalam laporan ‘Bantuan untuk Korea Utara’ yang dikeluarkan Kongres AS pada bulan Juni 2016 disebutkan bahwa sejak tahun 1995-2010, bantuan berupa bahan makanan, energi, obat-obatan yang telah diberikan AS kepada DPRK total berjumlah USD.1.312.850.000 tetapi DPRK justru berkembang menjadi negara yang memiliki senjata nuklir. Trump berjanji tidak akan mengulangi kejadian ini.
Kedua, PKT dan DPRK perlu ‘diikat jadi satu’, hal penyelesaian isu nuklir DPRK harus disertakan dalam kebijakan AS terhadap RRT.
PKT di satu sisi terus memberikan dukungan demi kekuasaan rezim Kim. tetapi di satu sisi mengklaim bahwa ia memiliki keterbatasan dalam mempengaruhi DPRK sebagai alasan untuk melepas tanggung jawab.
Trump tidak lagi mau tertipu oleh kelicikan PKT, dalam praktek kebijakan ia langsung memberikan tekanan pada bagian fatal : “Jika Tiongkok bermaksud untuk membantu, tentunya baik. Jika tidak, kita akan mengambil tindak penyelesaian masalah tanpa bantuan mereka !” Trump juga mengatakan bahwa jika masalah DPRK sudah terpecahkan, maka transaksi dagang dengan AS akan menjadi lebih baik buat Tiongkok.
Dalam perjalanan Trump berkunjung ke Asia pada awal bulan Nopember, tiga kelompok tempur kapal induk dengan cara langka melakukan manuver di perairan Lautan Pasifik bagian barat. Ini baru pertama kalinya terjadi sejak tahun 2007. Selain bertujuan untuk memberi peringatan kepada Korea Utara juga memamerkan kekuatan kepada PKT.
Pada tingkat strategis, sejak memasuki abad ke-21, sebagai tanggapan atas perluasan pengaruh kekuasaan Tiongkok, Amerika Serikat hendak ‘kembali ke Asia’. Dan administrasi Trump kemudian mengubahnya menjadi ‘strategi Indo-Pasifik’.
Jadi isu nuklir DPRK kemudian dijadikan titik tumpu yang sangat baik bagi Amerika Serikat dalam memasukkan tata letak strategis substantif untuk menahan perluasan kekuatan PKT. Trump mengubah strategi penenangan AS yang sudah ditrapkan bertahun-tahun dan Tiongkok sekarang menghadapi tekanan strategis yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Kondisi ketiga, masyarakat Tiongkok umumnya berpersepsi negatif terhadap rezim Kim
Kediktatoran keluarga Kim dan penderitaan rakyat Korea Utara membuat masyarakat Tiongkok marah kepada rezim Kim dan bersimpati kepada rakyat Korea Utara. Apa yang dialami rakyat Korea Utara hari ini adalah apa yang dirasakan masyarakat Tiongkok kemarin (Revolusi Kebudayaan). Penulis selama studi pascasarjana pada akhir tahun 1990an, pernah mendengar seorang profesor mengatakan bahwa rezim Kim di Korea Utara adalah ‘zombie politik’.
Kondisi DPRK semakin memburuk setelah Kim Jong-un berkuasa. Bahkan pejabat dalam sistem pemerintahan Tiongkok dan para ilmuwan telah secara terbuka mengkritik Korea Utara, membahas soal kemungkinan runtuhnya rezim. VOA menyebutnya hal ini sebagai perubahan tren pembahasan.
Sebagai contoh : Profesor Zhang Ruhui dari Sekolah PKT yang menulis sebuah artikel di mana dia mengatakan bahwa jangan membiarkan masalah nuklir Korea Utara berubah menjadi beban yang harus dipikul rakyat Tiongkok. Selagi AS masih bersedia memperhatikan isu nuklir Korea Utara, Tiongkok harus mengambil kesempatan untuk menyelesaikan masalah yang terus mengganjal tersebut.
Keberadaan isu nuklir Korea Utara selain menjadi ancaman dan kerugian yang diakibatkan oleh nuklir itu sendiri, namun juga membuat Tiongkok tidak lagi dapat mempertahankan hak dan kepentingannya sendiri di Asia Timur Laut.
Lagi, seperti yang dikatakan oleh Shen Zhihua, direktur Pusat Sejarah Perang Dingin Internasional di East China Normal University dalam kuliah di Universitas Studi Bahasa Asing : “Hari ini, Korea Utara sebenarnya telah menjadi musuh potensial dan Korea Selatan sebenarnya bisa menjadi teman bagi Tiongkok.”
“Sekarang beberapa orang dalam partai telah mengemukakan konsep ‘Tidak perpecahan, Tidak berperang, Tidak memasalahkan’ dengan maksud ingin mempertahankan status quo. Tetapi sesungguhnya mempertahankan status quo justru merugikan Tiongkok.”
“Semenanjung Korea memang dalam keadaan terbelah. Masing-masing pihak menghendaki persatuan tetapi ingin ‘saling mencaplok’. Jadi bahaya eskalasi perang tetap tinggi. Sehingga keadaan itu perlu secepatnya diubah, bukan dipertahankan.”
Dalam kondisi seperti ini Xi Jinping terpaksa berulang kali mempertimbangkan untuk membuat keputusan apakah sudah saatnya untuk menyingkirkan Kim Jong-un.
Tentu saja, Xi juga mengajukan syarat kepada Amerika Serikat yaitu, pengungkapan oleh media perlu melibatkan ketiga poin berikut : 1. Tidak menumbuhkan rasa permusuhan rezim Korea Utara terhadap Beijing, AS tidak diperkenankan untuk menempatkan militernya di daerah perbatasan Tiongkok – Korea Utara. 2. Tidak menyebabkan polusi nuklir di tiga propinsi timur laut Tiongkok. 3. Tidak menimbulkan arus pengungsi masuk wilayah Tiongkok.
Akan sangat menguntungkan bagi Xi Jinping bila ia benar-benar bisa melepas beban dengan menyingkirkan rezim Korea Utara sekarang. (Sinatra/asr)
Sumber : Epochtimes.com