Oleh Joshua Philipp
Rezim komunis Korea Utara menggunakan jaringan global front companies untuk melakukan belanja dan bisnis demi menghindari sanksi PBB. Saat ini bank-bank internasional sedang berusaha untuk mengidentifikasi dan memutuskan hubungan dengan perusahaan-perusahaan ini.
Sebagaimana diketahui, Front Company adalah semacam anak perusahaan yang digunakan untuk melindungi perusahaan lain dari tanggung jawab atau pengawasan. Front Company juga dapat digunakan untuk melindungi perusahaan induk serta digunakan untuk menyembunyikan aktivitas ilegal.
Dewan Keamanan PBB baru-baru ini mengeluarkan dua putaran sanksi terhadap Korea Utara, atas perintah pemerintah Trump. Tiongkok yang merupakan pendukung utama Korea Utara, telah sepakat untuk memberlakukan sanksi ini.
Pada akhir September, Tiongkok memberi waktu kepada perusahaan Korea Utara selama 120 hari untuk menutup usaha mereka. Bank sentral Tiongkok mengatakan kepada bank lain di Tiongkok untuk mengikuti sanksi PBB. Sanksi berupa menolak layanan serta mengurangi pinjaman kepada pelanggan dari korut.
Bank global mengikuti tren yang sama ini, dan menurut sebuah laporan 13 Oktober dikeluarkan oleh Daniel Bethencourt dari ACAMS moneylaundering.com, sebuah publikasi perdagangan untuk petugas kepatuhan bank menyatakan, bank-bank telah “meningkatkan usaha mereka untuk menemukan front companies terkait dengan program senjata nuklir Korea Utara.”
Melacak front company Korea Utara adalah bisnis yang rumit. Laporan tersebut mencatat bahwa perusahaan-perusahaan itu menggunakan “serangkaian skema demi menghindari sanksi yang terus berlanjut,” dan Korea Utara telah “mengembangkan” kemampuan ini meskipun ada embargo internasional.
Untuk mempertahankan bisnis global, Korea Utara menggunakan perantara perusahaan, melibatkan bank, dan metode lainnya.
Laporan tersebut mengatakan bahwa Korea Utara menggunakan beberapa front company untuk “melipatgandakan sebagai pengirim uang” dan menggunakan “orang-orang untuk membuka banyak rekening bank dengan nama keluarga.”
Menurut Keith Furst, pendiri Data Derivatives, sebuah perusahaan konsultan yang berfokus pada kejahatan finansial, sangat terkenal di dunia industri tentang Korea Utara menggunakan “front company yang rumit” untuk menghindari sanksi.
Metodenya memanfaatkan keuntungan dari penyimpangan dalam hukum internasional untuk mendaftarkan perusahaan. Termasuk membuka rekening bank, yang menyulitkan pihak bank untuk mengetahui di belakang front company ini.
Terkadang jaringan-jaringan ini bersumber dari jaringansatu perusahaan yang memiliki perusahaan lain, terkadang transaksi dilakukan melalui negara-negara perantara yang menolak berbagi data, dan beberapa trik yang lebih rumit lagi juga digunakan.
Furst mencatat untuk perusahaan, “ada dorongan global untuk mendapatkan kepemilikan yang lebih transparan.” Saat ini, katanya, sulit bahkan di Amerika Serikat untuk menentukan siapa yang berada di belakang perusahaan tersebut.
Dulu, Furst mengatakan, sanksi sering ditegakkan dengan daftar nama, dan jika seorang pengedar narkoba, misalnya, ada dalam daftar, semua perusahaan yang dimiliki oleh orang itu juga berada di sana.
Aturan ini sedikit diperbarui di tahun 2008, yang membuatnya menjadi jika seseorang yang diberi sanksi memiliki 50 persen perusahaan, perusahaan itu akan masuk dalam daftar.
Dikarenakan kompleksitas bagaimana penentuan kepemilikan perusahaan, bagaimanapun masih meninggalkan banyak celah. Furst mencatat ketika seseorang bisa memiliki 25 persen kepemilikan di sebuah perusahaan, meminta sekretaris membuka rekening, atau bahkan mendaftarkan perusahaan sebagai miliknya.
Celah ini menyulitkan bank untuk mematuhi sanksi. Namun bagi bank, kepatuhan terhadap sanksi seringkali menjadi prioritas utama dalam daftar prioritas. Furst mengatakan, “Menegakkan itu sulit bagi bank atau rata-rata negara.”
Menurut laporan dari ACAMS moneylaundering.com, bagaimanapun, bank saat ini mencoba untuk memetakan jaringan kompleks font company Korea Utara.
Mengutip keterangan Jende Huang, anggota kelompok intelijen kejahatan keuangan Wells Fargo, yang menyatakan pada ACAMS AML & Financial Crime Conference baru-baru ini di Las Vegas bahwa mereka telah mulai menganalisis sekelompok 12 perusahaan front Companies Korea Utara yang diidentifikasi oleh pejabat PBB.
Menurut Huang, sekitar 11 persen dari 1.500 entitas yang transaksinya dipetakan oleh Wells Fargo dari tahun 2013 sampai 2016 kemungkinan telah memindahkan dana dari Korea Utara. Metode yang digunakan oleh front company tidak akan terdeteksi oleh pemantauan transaksi konvensional, menurut Huang.
Seorang petugas kepatuhan yang tidak disebutkan namanya untuk pemberi pinjaman besar Eropa mengatakan kepada ACAMS bahwa banknya telah melakukan penyelidikan sendiri dan menemukan bahwa perusahaan-perusahaan Korea Utara sering memiliki ciri-ciri yang sama.
Front Company Korea Utara, kata perwira tersebut, sering memegang rekening bank Tiongkok, tidak memiliki rekam jejak di publik, dan akan sering mencantumkan alamat mereka di salah satu dari dua provinsi Tiongkok di dekat Korea Utara.
“Perantara ini cenderung membeli suku cadang yang sangat spesial dari produsen senjata di negara-negara Eropa seperti Republik Ceko dan kadang-kadang membeli logam mentah dan barang-barang lainnya dari Eropa juga,” bunyi laporan tersebut.
Laporan Ini mencatat satu kasus di mana perusahaan Korea Utara menggunakan perantara untuk “membeli bagian-bagian yang sangat khusus dari produsen senjata di negara-negara Eropa seperti Republik Ceko.” Korea Utara juga membeli logam mentah dan barang-barang lainnya dari Eropa.
Laporan tersebut mengatakan, “Melihat transaksi yang terkait dengan Korea Utara dapat menjadi sulit karena mereka cenderung meniru pembiayaan perdagangan konvensional atau pemindahan transfer lebih dari $ 10.000, namun seringkali dalam jumlah kecil untuk menghindari kecurigaan.” (asr)
Sumber : The Epochtimes