EpochTimesId – Lepasnya Raqqa dari pangkuan ISIS merupakan pukulan besar bagi kelompok teroris itu. Mereka selama ini menyatakan kota itu sebagai ibukota kekhalifahannya.
Raqqa adalah kubu besar terakhir kelompok tersebut, menyusul hilangnya Mosul di Irak baru-baru ini. Kelompok teroris sekarang didorong ke Lembah Sungai Efrat, dan mereka menyatakan diri telah berakhir.
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump baru-baru ini mengumumkan bahwa kota Raqqa di Suriah telah berhasil direbut dari para tentara ISIS.
“Saya dengan senang hati mengumumkan bahwa Pasukan Demokrat Suriah, mitra kami dalam perang melawan ISIS di Suriah, telah berhasil merebut kembali Raqqah. Bersama-sama, pasukan kita telah membebaskan seluruh kota dari kendali ISIS,” kata Trump dalam sebuah pernyataan.
Trump mengatakan dalam pernyataannya bahwa mengalahkan ISIS dan melawan penyebaran ideologi kebenciannya adalah salah satu janji kampanyenya yang inti.
“Kami telah membuat, di samping mitra koalisi kami, lebih banyak kemajuan melawan teroris jahat ini dalam beberapa bulan terakhir daripada beberapa tahun terakhir,” katanya.
Trump memuji mitra koalisi Amerika untuk pengorbanan yang telah mereka lakukan dalam usaha mulia ini.
Menurut Drew Berquist, mantan perwira intelijen dan pemimpin redaksi OpsLens, ISIS menyadari bahwa kedua ibu kota ini akan jatuh dan mereka perlu membangun cabang-cabang. Kelompok teror tersebut telah mengirim anggota ke Libya, Yaman, bagian lain dari Afrika, dan Eropa.
“Bagi ISIS, tersingkir dari Raqqa dan Mosul berarti mereka akan memiliki lebih sedikit pemasukan. Dukungan infrastruktur komando dan kontrol terpusat juga berkurang,” kata Berquist.
Dia menambahkan bahwa kondisi ini telah membunuh semangat para pejuangnya. Sehingga semangat tempur ISIS kemungkinan besar akan melemah untuk bertarung di wilayah tersebut.
Sementara itu, profesor riset pada Institut Studi Strategis di Akademi Perang Angkatan Darat AS, Robert J. Bunker, mengatakan prediksi tersebut mungkin saja kurang tepat. ISIS kemungkinan akan menggunakan isu kekalahan mereka untuk merekrut lebih banyak teroris baru.
“Khilafah secara harfiah dicabik-cabik, tapi ISIS akan memakainya seperti kain kafan syahid untuk propaganda dan mendukung tujuan perekrutan yang kini sedang dan terus berlangsung. ISIS akan memiliki bahan untuk membual,” katanya.
Bunker dan Berquist sepakat bahwa ISIS telah melihat kematian teritorial mereka akan datang. Tentu mereka telah merencanakan strategis fisik dan ideologis untuk itu.
Bunker mengatakan bahwa ini mungkin berarti bahwa kelompok tersebut memindahkan personil dan sumber keuangan ke luar daerah. ISIS mungkin pergi ke bawah tanah, melakukan pemberontakan di Suriah dan Irak.
Mereka juga berpotensi mencoba untuk meluncurkan serangan teroris ke arah Barat sambil mencari daerah dengan pemerintahan yang lemah dimana mereka dapat kembali melakukan perebutan dan kontrol daerah baru.
Dia menambahkan, bagaimanapun, bahwa militer AS kemungkinan akan terus melawan ISIS dimanapun mereka mencoba untuk mengambil alih kekuasaan.
“AS akan mengikuti mereka. Kecuali, tentu saja, jika Rusia atau beberapa kekuatan regional lainnya memiliki sekutu di wilayah tersebut dan mereka yang mengambil alih peran untuk menumpas ISIS,” ujar Bunker.
Mereka menyoroti peristiwa di Yaman baru-baru ini. Pada 16 Oktober 2017 pasukan AS telah membunuh puluhan anggota ISIS saat menyergap kamp pelatihan ISIS. Kala itu tentara Amerika berkoordinasi dengan pemerintah Yaman. Laporan the Pentagon’s DoD News tersebut mencatat bahwa Yaman telah menjadi pusat perekrutan, pelatihan, dan transit teroris.
Walau demikian, dua peneliti itu yakin keruntuhan kekhalifahan ISIS akhirnya tak terelakkan. Profesor ilmu politik di Northeastern University, Max Abrahms, mengatakan bahwa penggunaan kekerasan terhadap populasi sipil adalah jalur cepat untuk menghancurkan diri sendiri.
Profesor yang telah mendedikasikan banyak penelitiannya untuk mempelajari metode yang digunakan oleh organisasi teroris dan rezim politik, ini menyebut ISIS yang juga disebut Negara Islam menyatakan kekhalifahannya pada tahun 2014.
“Saya memperkirakan ratusan kali ledakan dari Negara Islam, karena ini adalah kelompok yang berperilaku dengan cara yang akan menghancurkan kelompok militan,” ujarnya.
Dia mencatat bahwa banyak lembaga pemikir telah terbukti salah dalam menganalisis ISIS. Karena beberapa orang mengatakan bahwa penggunaan kekerasan terhadap warga sipil, video propaganda dengan kekerasan berdarah, dan metode pengendalian yang ketat dan brutal dianggap strategis.
“Komunitas pemikir sangat lamban untuk mengetahui apa yang sedang terjadi. Masalahnya bukan hanya negara Islam yang menggunakan kekerasan, banyak kelompok militan menggunakan kekerasan. Masalahnya, negara Islam itu tidak tahu bagaimana menggunakan kekerasan,” bebernya.
“Itu hanya mencoba membunuh siapa saja, di seluruh dunia. Dan ini pada dasarnya mempersatukan dunia melawan kelompok tersebut. Tapi komunitas pemikir, selama bertahun-tahun, sejak Juni 2014, telah memuji setiap keputusan Negara Islam sebagai strategi. Kelompok yang menggunakan kekerasan dengan cara ini secara historis membayar harga yang mahal,” imbuhnya.
Kekalahan ISIS dipercepat di bawah administrasi Trump, yang menghapus pita merah dari medan perang dan membentuk misi yang jelas untuk membunuh teroris. Menteri Pertahanan, Jenderal Jim Mattis mengatakan pada bulan Mei bahwa Amerika Serikat telah beralih menuju taktik pemusnahan terhadap ISIS.
“niat kami adalah bahwa pejuang asing tidak dapat bertahan dalam perjuangan untuk kembali ke negara asal mereka,” ujarnya.
Wakil Presiden Mike Pence juga mengatakan dalam sebuah konferensi pers pada 13 Oktober 2017 bahwa berkat kepemimpinan presiden Trump, ISIS kini sedang kocar-kacir. (waa)