oleh Xia Yu
Dengan menurunnya populasi Tiongkok pada 2023, ditambah dengan jumlah populasi yang menua, telah menyebabkan ketidakseimbangan struktural populasi Tiongkok. Hal mana berdampak langsung terhadap pasar tenaga kerja, kemampuan konsumsi domestik, dan akan menimbulkan tantangan yang serius terhadap prospek perekonomian Tiongkok.
Populasi kelahiran di Tiongkok telah menurun secara drastis dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2023, Tiongkok selain mengalami rekor angka kelahiran yang paling rendah juga terkena terpaan gelombang kematian akibat epidemi COVID-19, yang menyebabkan populasi Tiongkok menurun selama 2 tahun berturut-turut. Data populasi yang dirilis Partai Komunis Tiongkok pada Rabu (17 Januari) menunjukkan, bahwa jumlah kelahiran pada 2023 kurang dari separuh jumlah kelahiran pada 2016 di mana saat itu Tiongkok menghapus kebijakan satu anak.
Saat ini, Tiongkok sedang menghadapi penuaan populasi yang sebagian besar dari mereka ini akan menarik diri dari pasar tenaga kerja. Selain itu, dalam 10 tahun mendatang, akan ada sekitar 300 juta orang lainnya yang sekarang berusia 50 hingga 60 tahun akan memasuki masa pensiun. Namun dana pensiun Tiongkok sebagian besar dikelola di tingkat provinsi, dan telah bertahun-tahun digunakan secara tak terkendali, sehingga baik pemerintahan di tingkat provinsi mau pun perkotaan telah menumpuk utang tersembunyi yang jumlahnya sangat besar. Entah bagaimana nantinya, 300 juta orang ini akan pensiun dengan anggaran dananya yang sudah terkuras ini ?
Kantor berita Reuters melaporkan bahwa Xiujian Peng, peneliti senior dari Pusat Studi Kebijakan (CoPS) di Universitas Victoria, Melbourne mengatakan : “Perubahan pada struktur usia Tiongkok akan memperlambat pertumbuhan ekonomi negara tersebut”.
Menurunnya angka kelahiran dan populasi yang menua akan mempengaruhi kemampuan konsumsi domestik Tiongkok, menurunnya inovasi produksi, serta meningkatkan beban perawatan terhadap para lansia, sehingga semakin menempatkan perekonomian Tiongkok dalam kesulitan.
Usia pensiun yang rendah
Tiongkok merupakan salah satu negara dengan usia pensiun terendah di dunia, yaitu 60 tahun untuk laki-laki, 55 tahun untuk perempuan kerah putih, dan 50 tahun untuk perempuan yang bekerja di pabrik. Tahun ini (2024) akan ada 28 juta orang Tiongkok yang akan memasuki masa pensiun.
Karyawan perusahaan milik negara biasanya diwajibkan untuk pensiun pada usia sesuai perundangan, dan perusahaan swasta juga jarang memperpanjang jam kerja karyawannya. Sedangkan di beberapa negara Barat, usia pensiun umumnya lebih fleksibel.
Li Zhulin (nama samaran), seorang wanita pengangguran berusia 50 tahun yang tinggal di Provinsi Shaanxi, khawatir suaminya yang bekerja di sebuah perusahaan milik negara, akan pensiun pada 2027, dan mereka hanya bisa hidup dengan mengandalkan uang pensiun bulanan yang sebesar RMB. 5.000,- hingga RMB. 7.000,- .
Mrs. Li terus berupaya untuk hidup irit dengan mengurangi pengeluaran, dan mencari peluang lewat lembaga perencanaan keuangan secara online dengan harapan dapat “meringankan beban” putri satu-satunya.
“Jika dia menikah, selain membesarkan keluarga, dia juga harus merawat keempat orang lanjut usia”, kata Mrs. Li. “Saya tidak bisa membayangkan betapa sulitnya hal itu.”
Menurut perkiraan Akademi Ilmu Sosial Tiongkok pada 2019, bahkan dengan subsidi pemerintah, dana pensiun perkotaan himpunan selama 2 dekade terakhir yang dikelola negara di Tiongkok juga bakal ludes pada tahun 2035, sehingga pengisian pundi pensiun ini sepenuhnya bergantung pada kontribusi dari pekerja baru.
Pada 2022, Tiongkok akan memiliki 2,26 orang penduduk usia kerja yang mendukung penghidupan setiap penduduk lanjut usia, namun rasio ini akan menurun menjadi 1,25 orang dalam 20 tahun ke depan. Pihak berwenang khawatir bahwa tren ini akan menyeret pertumbuhan ekonomi Tiongkok, sehingga memicu perdebatan tentang menaikkan usia pensiun.
Namun bagi warga Tiongkok yang akan pensiun, menaikkan usia pensiun bukanlah tindakan yang mendatangkan penyambutan.
Masyarakat Tiongkok sudah lama menaruh harapan bisa lebih cepat pensiun dari bekerja untuk menikmati kehidupan. Dalam survei yang dilakukan oleh media Tiongkok “Life Times”, ketika responden ditanyai apa yang menurut mereka merupakan usia pensiun yang sehat, sebagian besar menjawab “sebelum usia 55 tahun”, sementara hanya 6% yang menjawab “61 tahun ke atas”.
Selain itu, para lansia juga harus memikul tanggung jawab untuk membantu anak-anak mereka dan merawat cucu-cucu mereka. Seiring dengan tingginya angka pengangguran di Tiongkok, terutama di kalangan generasi muda, saat ini angka pengangguran telah mencapai titik tertinggi baru. Menaikkan usia pensiun akan membuat kaum muda yang sudah berjuang untuk mendapatkan pekerjaan menghadapi tantangan berupa semakin berkurangnya kesempatan kerja, yang juga mempersulit kaum lanjut usia untuk mendapatkan pekerjaan lain.
Penuaan usia konsumen
Sebagai bagian dari output perekonomian, konsumsi rumah tangga Tiongkok sudah menjadi salah satu yang terendah di dunia. Kelompok terbesar kedua di Tiongkok yang jumlah sekitar 230 juta orang adalah penduduk yang berusia antara 30 hingga 49 tahun, mereka ini termasuk yang berada dalam masa emas konsumsi. Karena umumnya karir mereka sudah cukup matang untuk membeli rumah dan mobil, selain mulai menghabiskan dana demi pendidikan anak-anak mereka.
Ketika kelompok ini berusia 50 tahun, anak-anak mereka sudah menyelesaikan sekolah dan mulai mendapatkan penghasilan sendiri, yang berarti bahwa kelompok ini akan lebih sedikit berpartisipasi dalam konsumsi rumah tangga. Saat ini, usia anak-anak dari kelompok ini baru 20-an tahun, merupakan generasi terkecil sejak bencana kelaparan pada tahun 1950-an. dan mereka ini juga merupakan akibat langsung dari kebijakan satu anak yang dijalankan oleh Partai Komunis Tiongkok.
Demografi ini tidak menguntungkan industri real estat Tiongkok, yang menyumbang sekitar seperempat output ekonomi sebelum pecahnya gelembung ekonomi pada 2021, karena leverage yang berlebihan dari pengembang, dan kelebihan pasokan apartemen.
“Pengalaman Jepang membuktikan bahwa ketika proporsi penduduk usia kerja menurun, permintaan perumahan juga akan menurun”, kata Larry Hu, kepala ekonom Tiongkok di Macquarie Group.
Penuaan tenaga kerja berdampak pada inovasi dan produktivitas
Data terbaru menunjukkan bahwa tingkat kesuburan Tiongkok mendekati angka 1,0, yang oleh para ahli demografi dianggap sebagai tingkat yang terlalu rendah. Tingkat kesuburan mengacu pada jumlah rata-rata anak per wanita sepanjang hidupnya. Para ahli demografi mengatakan bahwa jumlah anak di perekonomian mana pun berhubungan langsung dengan konsumsi domestik.
Xiujian Peng dari CoPS mengatakan, bahwa menyusutnya pasar domestik akan meningkatkan ketergantungan Tiongkok pada ekspor. Karena Tiongkok telah memproduksi sepertiga barang yang dikonsumsi secara global, Tiongkok telah mengalihkan aliran kredit dari real estate ke manufaktur dalam upaya untuk meningkatkan rantai nilai industri dan menghindari jebakan pendapatan kalangan ekonomi menengah.
Namun, Xiujian Peng mengatakan : “Angkatan kerja yang menua berarti dorongan untuk berinovasi akan menurun sedangkan peningkatan produktivitas akan melamban, bukan lebih cepat.”
Artikel yang ditulis Carl Minzner, peneliti senior studi Tiongkok di Dewan Hubungan Luar Negeri dan profesor di Fordham Law School, yang diterbitkan situs web “Foreign Affairs” menyebutkan, bahwa pemerintahan komunis Tiongkok yang semakin otoriter, khususnya tidak cocok untuk menghadapi tantangan ini. Karena hal ini melibatkan langkah-langkah seperti perpanjangan usia pensiun dan pemotongan tunjangan pensiun yang berkaitan dengan kepentingan elit perkotaan. Pada saat yang sama, nasionalisme sempit Partai Komunis Tiongkok akan menghalangi imigran asing sebagai sumber pertumbuhan penduduk. Dengan demikian PKT akan tidak mampu mengatasi krisis penuaan, sehingga menempatkan pemerintahannya di ujung tanduk. (sin)