Sri Lanka Melarang Kapal Tiongkok Berlabuh, Media Hongkong : Kemenangan India

 oleh Li Ming

Sebuah kapal eksplorasi perairan dalam Tiongkok tidak dapat menyelesaikan misi yang diembannya karena pihak berwenang Sri Lanka menolak berlabuhnya kapal tersebut. Media Hong Kong yang mengutip analisis dari para cendekiawan asing yang mempelajari hubungan internasional, melaporkan bahwa hal ini adalah kemenangan bagi India yang berhasil membuat Sri Lanka “menghindari ketegangannya dengan negara tetangganya, India”.

Sebuah kapal eksplorasi Tiongkok “Xiangyanghong 3” awalnya telah menjadwalkan misi eksplorasi perairan dalam di selatan Samudera Hindia pada 5 Januari 2024. Namun, Sri Lanka tiba-tiba mengumumkan larangan kapal eksplorasi asing memasuki zona ekonomi eksklusif negara tersebut atau berlabuh di pelabuhannya selama setahun ke depan. Akibatnya, kapal eksplorasi Tiongkok “Xiangyanghong 3” gagal memperoleh izin untuk melaksanakan misi yang dimaksudkan.

Saat mengumumkan keputusan tersebut, Menteri Luar Negeri Sri Lanka Ali Sabry mengatakan, pemerintah Sri Lanka telah mengambil keputusan tersebut “untuk memungkinkan kami melakukan peningkatan kapasitas dalam membangun keterampilan, agar kami pun dapat ikut berpartisipasi sebagai mitra dalam kegiatan penelitian tersebut”.

Namun, jelas bahwa dunia luar tidak menganggap hal itu sebagai alasan yang sebenarnya. Laporan berbahasa Inggris dari media Hongkong “South China Morning Post” secara blak-blakan menyatakan, bahwa pemberlakuan larangan oleh Sri Lanka itu sebenarnya merupakan “kemenangan” bagi India. Kejadian ini mencerminkan kendala yang dihadapi negara-negara kecil dalam celah persaingan antar negara besar. Mengingat kemampuan pertumbuhan ekonomi dan militer India di kawasan, jadi langkah tersebut menunjukkan bahwa Sri Lanka “tidak ingin memicu ketegangan dengan negara tetangganya.”

Sejak lama India dan Tiongkok telah bersaing untuk mendapatkan pengaruhnya di Sri Lanka dan seluruh Samudera Hindia, dan India percaya bahwa jalur laut di bagian selatan negaranya sangat penting bagi keamanan.

Pada 2017, Sri Lanka dibebani hutang yang besar akibat menerima kerjasama proyek “One Belt One Road” yang diusung oleh pemerintah komunis Tiongkok. Pada akhirnya, Sri Lanka terpaksa menyewakan kendali atas Pelabuhan Hambantota dan 15.000 hektar tanah di sekitarnya kepada rezim komunis Tiongkok selama 99 tahun, karena tidak mampu membayar utangnya ke Tiongkok. Dunia luar umumnya percaya bahwa dengan menguasai jalur tersebut otoritas Tiongkok dapat memanfaatkannya sebagai penghubung utama untuk menguasai wilayah laut. Hal ini sangat meresahkan pemerintah India yang memusuhi rezim komunis Tiongkok.

Dalam hal ini, South China Morning Post mengutip pandangan Neil Devotta, seorang profesor hubungan internasional di Universitas Wake Forest, yang menyebutkan bahwa Sri Lanka mungkin “menghadapi tekanan” untuk memperpanjang larangan selama satu tahun, yang akan dianggap sebagai “kemenangan strategis bagi India dan Amerika Serikat”.

“Meskipun Sri Lanka berhutang kepada Tiongkok dan bergantung pada dukungan Tiongkok di forum internasional, tetapi pasar ekspor komoditas negara tersebut terutama bergantung pada negara Barat,” kata Neil Devotta.

Voice of America mengutip laporan dari Brigadir Jenderal Abhay Kumar Singh, seorang peneliti di Institut Studi dan Analisis Pertahanan Manohar Parrikar di New Delhi, memberitakan : Eksplorasi yang dilakukan oleh “kapal penelitian ilmiah” Partai Komunis Tiongkok itu tidak hanya sekedar melaksanakan apa yang disebut “penelitian ilmiah kelautan.”

“Kegiatan yang dilakukan oleh kapal-kapal (Tiongkok) ini lebih mirip dengan survei militer, dan misi mereka adalah melakukan pengamatan menyeluruh di bidang oseanografi militer,” kata Abhay Kumar Singh.

Dia mengatakan lebih lanjut, bahwa Sri Lanka akan mengadakan pemilihan presiden pada bulan April tahun ini. Dalam keadaan seperti itu, pemerintah Sri Lanka tidak ingin menimbulkan ketegangan dengan negara-negara tetangga.

Menurut informasi publik, pada 2022, Sri Lanka mengalami krisis utang dan krisis ekonomi yang serius, sampai terjadi kekurangan material yang parah, dan memicu protes besar-besaran dan berujung pada pengunduran diri Presiden Gotabaya Rajapaksa. Pada Juli 2022, pemerintah Sri Lanka menyatakan bangkrut, karena utang negaranya saat itu sudah mencapai lebih dari USD. 83 miliar, dan lebih dari separuh hutangnya itu berasal dari pemerintah atau perusahaan negara asing.

Pada Desember tahun lalu, Dana Moneter Internasional (IMF) menyetujui pencairan dana bantuan sebesar USD. 337 juta kepada Sri Lanka untuk mendukung pemerintahan baru negara tersebut dalam upayanya mengurangi inflasi dan menjaga stabilitas keuangan. (sin)