Yang Wei
21 April lalu, Dubes RRT (Republik Rakyat Tiongkok) untuk Prancis yakni Lu Shaye kembali berulah dengan melontarkan kata-kata tidak pantas, padahal di tengah situasi yang sensitif, ia kembali menyulut krisis diplomatik antara Beijing dengan Eropa. Hingga konferensi pers rutin Kemenlu RRT pada 24 April lalu, baru diberikan penjelasan, tapi menghindari masalah status Krimea. Xi Jinping, Wang Yi, dan Qin Gang menampakkan diri bersamaan di hari yang sama, tapi tidak memberikan komentar.
Pernyataan Apa Saja Yang Diocehkan Sang Dubes?
Lu Shaye, Dubes RRT untuk Prancis ketika pada 21 April lalu diwawancarai oleh stasiun TV Prancis LCI, dari topik Perang Rusia-Ukraina, pembawa acara mengemukakan pertanyaan terkait status kepemilikan Krimea, Dubes Lu menyebutkan, “Sejak awal Krimea adalah milik Rusia”, yang diberikan oleh pemimpin mantan Uni Soviet dulu yakni Nikita Khrushchev kepada Ukraina. Pembawa acara memotong perkataan tersebut, “Menurut undang-undang internasional, Krimea adalah milik Ukraina”. Lu Shaye menimpali, “Negara-negara bekas Uni Soviet dulu tidak memiliki status aktual, karena tidak ada kesepakatan internasional yang mengakui status kedaulatan mereka.” Pernyataan Lu Shaye itu pun sontak memicu gelombang kecaman.
Keesokan hari pada 22 April, Vadym Omelchenko, Dubes Ukraina untuk Prancis berkata, “Pengetahuan geografi Lu jelas bermasalah. Jika tidak, pernyataan semacam itu telah bertentangan dengan pernyataan sikap resmi pemerintah RRT mengenai ‘upaya mengembalikan perdamaian Ukraina berdasarkan hukum internasional serta tujuan dan prinsip dalam Piagam PBB’.”
Dubes Ukraina juga mengatakan, “Lain kali untuk memperluasnya sebaiknya ajukan pertanyaan ‘siapa yang memiliki Vladivostok?’. Disini tidak ada istilah abu-abu. Krimea adalah milik Ukraina.” Perkataan ini sepertinya menyiratkan bahwa seorang almarhum mantan pemimpin PKT telah memberikan Vladivostok kepada Rusia.
Kemenlu Latvia telah memanggil perwakilan otoritas Kedubes RRT, dan meminta penjelasannya. Kemenlu Estonia juga memanggil Dubes RRT untuk Estonia, dan meminta klarifikasi atas hal ini, serta mengkritik pernyataan Lu Shaye itu “tidak bisa diterima dengan alasan apapun”. Menlu Lithuania yakni Gabrielius Landsbergis berkata, “Jika ada orang-orang yang masih ingin mengetahui mengapa negara-negara Baltik tidak percaya Beijing ‘akan menengahi perdamaian di Ukraina’, disini ada seorang Dubes RRT yang berpendapat, Krimea adalah milik Rusia, dan perbatasan negara kami tidak ada dasar hukumnya.” Ia juga mengatakan, pernyataan Lu membuktikan bahwa keputusan Lithuania mundur dari kerangka kerjasama “17+1” yang diprakarsai oleh Beijing dua tahun lalu itu merupakan keputusan yang “tepat waktu dan benar.”
Kemenlu Moldova menyatakan, “Kami merasa sangat terkejut atas pernyataan Dubes RRT yang meragukan kedaulatan negara yang mendeklarasikan kemerdekaannya pada 1991 itu. Saling menghormati keutuhan wilayah kedaulatan adalah kunci keutuhan hubungan antara Moldova dengan RRT selama ini.”
Pada tengah malam 22 April lalu, Kemenlu Prancis merasa “khawatir” akan pernyataan oleh Lu Shaye tersebut, dan meminta Beijing memberikan klarifikasi. Pada 23 April, Prancis mengeluarkan pernyataan sebagai berikut, ‘mendukung penuh’ seluruh negara sekutu yang terkena dampak, dan menyebutkan bahwa negara-negara tersebut telah meraih kemerdekaannya ‘setelah melalui tekanan selama beberapa dekade’; “termasuk perbatasan Krimea yang telah mendapat pengakuan masyarakat internasional pada 1991, termasuk juga RRT.”
Pada 23 April, sebanyak 80 orang anggota parlemen Eropa telah mengeluarkan pernyataan bersama, dan menyerukan pemerintah Prancis agar menetapkan Lu Shaye sebagai “orang yang tidak diterima (persona on grata)”. Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan Josep Borrell menyatakan, pernyataan Lu Shaye yang meragukan kedaulatan negara bekas Uni Soviet adalah “tidak bisa diterima”. Sementara itu Jerman membantah pernyataan Lu Shaye, dengan mengatakan bahwa “kedaulatan dan hak keutuhan wilayah negara-negara yang muncul pasca runtuhnya Uni Soviet itu adalah tidak dapat diganggu gugat”. Hubungan diplomatik RRT dengan Eropa sedang berada pada parit pemisah yang krusial, Lu Shaye telah menyodok keranjang besar, selama dua hari berturut-turut RRT tetap bungkam, seharusnya karena mereka sedang menantikan keputusan dari atas, menangani krisis semacam ini selalu menjadi kelemahan PKT.
PKT Ralat Lu Shaye Tapi Menghindari Masalah Krimea
Pada 24 April dalam konferensi pers Kemenlu RRT, mayoritas pertanyaan adalah seputar pernyataan Lu Shaye. Juru bicara Mao Ning menjawab, “Sikap terhadap masalah terkait tidak ada perubahan”; “Setelah Uni Soviet runtuh, RRT adalah salah satu negara yang paling awal membangun hubungan diplomatik dengan negara-negara tersebut”; “pihak RRT menghormati status kedaulatan negara-negara Republik Kesatuan Soviet pasca keruntuhan negara Uni Soviet”.
Akan tetapi, Mao Ning tidak mengklarifikasi masalah Krimea. Dia hanya menyebutkan, “Terkait masalah Ukraina, sikap pihak RRT sangat jelas, senantiasa bersama dengan masyarakat internasional, berkontribusi mendorong penyelesaikan krisis Ukraina secara politik”. Banyak wartawan mempertanyakan masalah Krimea, namun Mao Ning terus mengulang jawaban yang samar; serta mengatakan “pernyataan saya tersebut adalah mewakili sikap resmi pemerintah RRT.” Lalu ada wartawan menanyakan pihak Kedubes RRT untuk Prancis telah menghapus pernyataan Lu Shaye dari situs resmi Kedubes RRT, nampaknya Mao Ning berbohong dengan menjawab “tidak tahu”.
Mao Ning telah meralat sebagian pernyataan Lu Shaye. Setelah itu juru bicara Kedubes RRT untuk Prancis menyebutkan, “Pernyataan Lu Shaye bukanlah pernyataan kebijakan resmi, melainkan hanya menyampaikan pandangan pribadinya dalam suatu acara debat di televisi”; namun mereka tetap menghindari masalah Krimea.
Jika PKT menilai Lu Shaye tidak pantas menyandang jabatannya, seharusnya ia dicopot dan diganti; tetapi sepertinya Beijing tidak melakukan hal itu. Kemungkinan PKT hendak memperkecil masalah besar itu, dan sepertinya tidak menyadari betapa seriusnya permasalahan ini, menangani krisis dengan cara semacam ini terlalu menyederhanakan masalah.
Lu Shaye Telah Memutus “Diplomatik Kepala Negara” RRT & Prancis
Konten wawancara Lu Shaye pada 21 April lalu, telah dihapus dari situs resmi Kedubes RRT untuk Prancis, konten yang terbaru adalah naskah wawancara khusus Lu Shaye terkait kunjungan Macron ke Tiongkok pada 18 April 2023 lalu.
Tak sedikit yang telah diinvestasikan pemimpin PKT pada Presiden Prancis tersebut, mungkin awalnya mengira dengan membuka sebuah celah di kubu Barat, bisa berharap Prancis dapat membantu meredakan ketegangan hubungan antara RRT dengan Eropa, tetapi ternyata semua itu telah dikacaukan oleh Lu Shaye.
Komentar presiden Prancis (dalam kunjungannya di Tiongkok) juga menuai kontroversi di dalam negeri. Menlu Prancis pada Konferensi Menlu G7 sepaham dengan negara lain. Pada 21 April lalu, kapal fregat AL Prancis yakni Prairial dikonfirmasi telah berlayar melintasi Selat Taiwan.
Lu Shaye mengakui, “Sejumlah warga Prancis dan Eropa sulit menerima pernyataan sikap Presiden Macron”. Ia juga menilai, “Ini juga dari sisi lain menjelaskan bahwa otonomi strategis Eropa masih harus menempuh jalan yang sulit dan panjang”; Eropa seharusnya “mempertahankan otonomi strategis dan mewujudkan kemandirian, jika tidak Eropa tidak akan dapat mengendalikan nasibnya sendiri.”
Dari sini bisa dilihat, pernyataan Lu Shaye pada 21 April lalu bukanlah suatu kesalahan atau selip lidah, mungkin ia merasa dirinya malah berjasa, di tengah rasa bangga diri terungkap pernyataan yang sebenarnya dari dalam hatinya. Ekspresi Lu Shaye bukan sekedar kebodohan diplomatik, ia telah mengungkapkan seluruh isi pernyataan secara internal dari para petinggi PKT.
Di saat hubungan RRT dan Eropa sedang dalam masa sensitif, seharusnya Lu Shaye berhati-hati, dan sebisa mungkin menetralisir suara penolakan, tetapi akibatnya justru menciptakan konflik yang lebih runyam. Wakil Dirut Yayasan Riset Strategis Prancis (Fondation pour la Recherche Stratégique, FRS) yakni Bruno Tertrais menyatakan, “Jika saya adalah pemerintah Beijing, maka Lu akan dipulangkan ke negaranya dengan penerbangan berikutnya.” Tidak diketahui apakah PKT akan segera memulangkan Lu atau tidak, pemimpin PKT mungkin tidak mau kehilangan muka untuk kedua kalinya, tapi kemungkinan harus terus membayar untuk masalah ini.
Peneliti senior China Institute di University of Alberta Margaret McCuaig-Johnston berkata, “Dubes Lu adalah seorang pejabat diplomatik yang sangat tidak menguasai diplomasi”; “Ia sangat arogan, selalu menekan, dan selalu diakhiri dengan komentar yang bersifat ultimatum, serta menyebarkan ketakutan diplomatik.”
Lu Shaye tahun ini berusia 59 tahun, mungkin masih ingin berkarir lebih tinggi, sehingga terus menerus mengeluarkan pernyataan yang di luar kebiasaan, atau mungkin hendak mencari perhatian dari pemimpin PKT, tapi kali ini keranjang yang disodoknya terlalu besar. Penanganan krisis diplomatik PKT terlihat begitu payah, gejolak diplomatik yang ditimbulkannya sepertinya tidak akan lenyap semudah itu. (sud)