Aksi Baru AS Pasti Berdampak Pada Rapat Tahunan PKT

Zhou Xiaohui

Di saat Presiden Trump menyatakan mungkin akan memungut bea masuk terhadap USD 500 milyar produk RRT, Rapat Beidaihe setahun sekali yang akan segera digelar awal Agustus yang akan datang juga menarik perhatian kalangan luar, karena baru-baru ini berbagai rumor beredar di Beijing, juga telah beredar kabar beberapa sesepuh PKT (Partai komunis Tiongkok) membuat surat bersama melakukan “intervensi pemerintahan”, dan seruan “Putusan pada suara tunggal pimpinan” dari Wang Huning yang mengepalai Departemen Propaganda yang juga Liu He yang mengepalai perundingan dagang RRT-AS, serta Li Zhanshu pada Kongres, semakin membuat dugaan masyarakat akan situasi politik yang tidak stabil.

Walaupun pihak luar tidak mengetahui masalah sebenarnya yang terjadi di dalam internal PKT, tapi bisa dipastikan semakin memperburuk keadaan bagi para petinggi Zhongnanhai yang telah dibuat was-was dengan perang dagang.

Dan Rapat Beidaihe (rapat tahunan elit PKT yang dilangsungkan di pantai Beidaihe) akan menghadapi banyak masalah pelik, dampak apa yang akan ditimbulkan, perubahan apa yang akan terjadi, pihak luar terus mengamatinya.

Tetapi, yang mendatangkan dampak baru terhadap Rapat Beidaihe adalah serangkaian kegiatan penting yang diselenggarakan oleh Kemenlu AS belum lama ini.

Menurut berita Epoch Times tanggal 24 Juli lalu, Konferensi Kebebasan Beragama Tingkat Menteri akan diselenggarakan pertama kalinya dalam sejarah AS. Konferensi ini akan dihadiri oleh menteri luar negeri lebih dari 40 negara, juga perwakilan dari berbagai ormas juga organisasi beragama dari lebih 80 negara di dunia.

Mereka akan menghadiri konferensi resmi selama tiga hari yakni 24, 25 dan 26 Juli serta berbagai rapat sampingan yang akan digelar hari Jum’at (27/7) di berbagai lokasi seperti pada Kongres, dan lain-lain. Tanggal 23 Juli lalu, rapat sampingan perdana yang digelar pada Dewan Senat Federal telah dilangsungkan.

Penulis bernama Greg Mitchell selaku moderator rapat sampingan perdana saat diwawancarai mengatakan, “Hari ini telah diadakan suatu rapat sampingan, kami memfokuskan pada penindasan yang terjadi di Tiongkok. Ini baru permulaan, kami memiliki rencana jangka panjang. Kami perlu membentuk aliansi ini, suatu jaringan dan aliansi yang terdiri dari berbagai wajah yang berbeda dari seluruh dunia, untuk memberi tekanan terhadap PKT.”

Aliansi ini “tidak hanya terbatas di Washington DC, Amerika, dan negara Barat saja, melainkan berasal dari seluruh dunia, bahkan dari sekutu Beijing sendiri seperti Rusia, Brazil, Afrika Selatan dan lain-lain.”

Dalam rapat ini, wakil kepala Pusat Informasi Falun Dafa yakni Larry Liu, juga praktisi Falun Gong bernama Chi Lihua, dan ketua Proyek HAM Uyghur bernama Nury Turkel diundang untuk menyampaikan pidato mereka.

Masing-masing mereka menjelaskan penindasan kejam yang telah dialami oleh Falun Gong dan suku Uyghur di Tiongkok. Seorang penulis Kanada bernama Sheng Xue yang menghadiri kegiatan tersebut sebagai pendengar mengatakan, di dunia ini banyak sekali negara demokrasi yang salah kaprah saat berurusan dengan RRT.

“Mereka memperlakukan Beijing sebagai rezim negara pada umumnya, yang harus mereka sadari adalah RRT merupakan rezim negara yang berpaham terorisme.”

Mungkin, hanya kabar yang terlontar dari rapat sampingan perdana saja, kita sudah bisa menangkap apa topik diskusi utama yang akan dibahas oleh menlu dari 40 negara dan berbagai organisasi dari 80 negara dunia dalam rapat resmi selama tiga hari ini, yakni kebebasan beragama, dan masalah intinya adalah masalah Falun Gong yang selama 19 tahun ini terus ditindas dan dianiaya oleh PKT.

Masih segar dalam ingatan tanggal 29 Mei tahun ini, Kemenlu AS mempublikasikan “Laporan Kebebasan Beragama Internasional” tahun 2017, lagi-lagi RRT masuk dalam daftar “negara yang diawasi khusus”.

Laporan itu juga menyoroti kondisi Falun Gong, agama Kristen dan berbagai kelompok beragama lainnya yang mengalami penindasan. Versi mandarin laporan tersebut bahkan muncul di situs internet milik Kedubes dan Konsulat Jendral Amerika di RRT, ini membuat rakyat Tiongkok semakin bisa melihat jelas kekejaman penindasan oleh PKT, yang banyak ternoda dalam hal Hak Asasi Manusia.

Seminggu setelah hari yang istimewa yakni hari dimulainya penindasan terhadap Falun Gong 19 tahun yang lalu yakni tanggal 20 Juli 1999 oleh PKT, digelarlah rapat “Create a New Situation”, yang menyampaikan sinyal sangat jelas bagi Beijing, bahwa pemerintahan Trump tidak akan meneruskan kebijakan “berpangku tangan” seperti pemerintahan AS yang sebelumnnya, terutama dalam masalah Falun Gong.

Seperti diketahui, menghadapi penindasan kejam PKT terhadap Falun Gong selama belasan tahun, khususnya perampasan organ tubuh yang merupakan kejahatan yang belum pernah ada di muka bumi ini, Amerika dan pemerintahan negara Barat lainnya tidak banyak melakukan apa-apa bahkan sangat terbatas karena adanya pertimbangan kepentingan (bisnis).

Dari sudut pandang tertentu, bungkamnya pemerintahan Barat juga merupakan pembenaran terhadap kejahatan yang dilakukan PKT, dan ini juga membuat aura negara Barat yang senantiasa menghormati dan memprakarsai HAM  menjadi buram.

Setelah menjadi presiden, Trump tidak hanya menekan Beijing secara ekstrim pada masalah perdagangan, dalam bidang HAM juga memperlihatkan sikap yang keras, seperti berjanji akan mendukung penuh “UU Global Akuntabilitas HAM Magnisky”; menjabarkan 13 orang pelaku penindasan HAM, termasuk Sekretaris Komisi Partai Institut Kepolisian Beijing yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Kantor Keamanan Publik Kota Beijing yakni Gao Yan; mundur dari UNHRC (Dewan Hak Asasi Manusia – PBB); membalas surat bagi keluarga praktisi Falun Gong yang ditindas, dan lain sebagainya.

Sementara Menlu Pompeo juga menekankan “mendorong kebebasan beragama adalah prioritas pemerintahan Trump”, dan menggelar konferensi tingkat menteri mendorong kebebasan yang dihadiri menteri dari 40 negara, adalah “pernyataan perang” terhadap pemerintahan Beijing.

Subteks dari “Create a New Situation” kemungkinan adalah, berkat inisiatif Amerika negara-negara tersebut akan membentuk aliansi, mengambil tindakan nyata secara serempak terhadap PKT atas kejahatan HAM paling kejam yang dilakukannya.

Tindakan AS yang belum pernah ada sebelumnya ini ditakdirkan akan memberi dampak yang juga belum pernah ada sebelumnya terhadap Rapat Beidaihe yang akan digelar tak lama lagi, karena begitu pemerintahan banyak negara mengambil tindakan terbuka secara bersamaan terhadap PKT, maka kejahatan PKT itu tidak hanya akan diketahui oleh semakin banyak masyarakat dunia dan akan semakin dikecam keras, sementara di Tiongkok sendiri, pergolakan yang akan timbul di kalangan petinggi PKT juga akan semakin serius.

Ini karena masalah Falun Gong yang merupakan inti permainan yang selama lima tahun terakhir ini akan kembali diposisikan di tingkatan yang tinggi, dan dalang penindasan ini yakni Jiang Zemin, Zeng Qinghong dan kawan-kawan juga akan meronta-ronta menjelang ajalnya, memberontak berusaha melawan menyelamatkan diri.

Mungkin waktu yang tersisa bagi kedua belah pihak telah memasuki tahap hitungan mundur. (SUD/WHS/asr)