Mengapa Rusia Terus Kecam RRT? Konflik Segitiga AS-RRT-Rusia Dimulai

Tang Hao

Suatu drama konflik diplomatik yang menyangkut tren masa depan masyarakat internasional, tengah terjadi antara Amerika Serikat, RRT, dan Rusia, situasi sepertinya cukup membingungkan.

Di satu sisi, perang dagang AS-RRT tengah berkobar begitu sengitnya, pihak AS berniat merangkul Rusia untuk bersekutu, namun antara AS dengan Rusia juga terjadi pergesekan karena “Rusia berupaya membunuh agen intelijen yang telah pensiun” serta masalah bea masuk perdagangan dan lain-lain.

Di sisi lain, yang lebih menarik perhatian adalah, media massa Rusia akhir-akhir ini terus mengkritik Beijing mulai dari jebakan diplomatik lewat kebijakan “One Belt One Road”, sampai pencurian rahasia teknologi milik Rusia oleh RRT dan masih banyak lagi, kondisi ini tidak lazim. Mengapa, Rusia terus membombardir PKT?

  1. “One Belt One Road” Menyimpan Ancaman

Pertama, policy “One Belt One Road” RRT adalah kekhawatiran utama Rusia. Meskipun pada permukaan antara RRT-Rusia terjalin interaksi yang sepertinya stabil, tapi Rusia sejak dulu telah khawatir akan kebijakan “One Belt One Road” PKT yang menghamburkan uang itu, tidak hanya akan membuat negara-negara kecil di Asia Tengah dan Eropa Timur di sekitar Rusia akan merapat pada Beijing dan mengancam kepentingan Rusia di regional tersebut, di saat yang sama mungkin juga akan mengisolasi atau meminggirkan Rusia dalam bidang geopolitik, dan mengurangi pengaruh internasional Rusia.

Jadi, media massa Rusia yang dikendalikan oleh pemerintah melancarkan perang opini, mengkritik kebijakan “One Belt One Road”, selain mengisyaratkan peringatan bagi PKT, juga berupaya mengobarkan sentiment anti-RRT dari negara-negara kecil di sekitar Asia Tengah untuk membentuk front perlawanan.

  1. Cemaskan Sengketa Teritorial RRT-Rusia

Teritorial, adalah unsur inti lain yang dicemaskan Rusia dari PKT. Dalam jangka waktu panjang antara Rusia dengan Tiongkok telah terjadi sengketa teritorial.

Sejak akhir masa Dinasti Qing (akhir abad ke 19), baik Tsar Rusia maupun Uni Soviet telah berkali-kali mencaplok wilayah teritorial RRT, mencakup wilayah timur laut, Asia Tengah dan sekitarnya, namun baik Dinasti Qing maupun pemerintahan Nasionalis Tiongkok tidak pernah mengakuinya.

Tapi mantan pemimpin PKT yakni Jiang Zemin (1989-2002), demi mengambil hati Rusia, pada tahun 1999 Jiang telah menandatangani kesepakatan dengan Yeltsin, presiden Rusia kala itu, merelakan wilayah teritorial Tiongkok seluas 1,5 juta km² di daerah timur laut kepada Rusia, luas wilayah itu melebihi 40 kali luas pulau Taiwan.

Lalu setelah Xi Jinping menjabat, sikapnya terhadap masalah kedaulatan teritorial berubah menjadi keras, tahun lalu pihak RRT malah mengajukan meminta kembali sebagian wilayah teritorial dari Tajikistan di Asia Tengah. Itu sebabnya, di masa mendatang jika Beijing bersikeras meminta kembali wilayah teritorial yang penuh sengketa itu, kedua pihak tak terelakkan akan mengalami konflik.

  1. Rusia Berniat Intervensi Perkembangan Laut Tiongkok Selatan

Industri minyak dan gas bumi selama ini merupakan industri inti yang dimiliki Rusia, juga merupakan urat nadi ekonomi negara tersebut. Dan Laut Tiongkok Selatan yang kaya akan kandungan minyak bumi serta sumber daya alam itu dengan sendirinya menjadi lahan baru yang sangat ingin diperebutkan oleh Rusia.

Bulan Mei tahun ini, anak cabang perusahaan minyak bumi Rusia di Vietnam melakukan eksplorasi ladang minyak bumi di wilayah Laut Tiongkok Selatan, pihak RRT melontarkan protesnya.

Namun sejak era Uni Soviet dulu, Rusia telah menjadi rekan sekutu yang paling penting bagi Vietnam, hubungan dagang kedua negara sangat erat, oleh karena itu berbagai pihak beranggapan, Rusia berniat bersekutu dengan Vietnam untuk menambang minyak dan gas alam di Laut Tiongkok Selatan.

Apalagi beberapa tahun terakhir, biaya tenaga kerja di RRT melonjak, banyak industri beramai-ramai hijrah ke Asia Tenggara dan mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi regional Asia Tenggara, konsumsi dan kebutuhan energi semakin meningkat.

Oleh sebab itu Rusia sangat mungkin berharap menjadikan Vietnam sebagai pijakan, untuk mengembangkan sektor energi di luar negeri dan menjualnya ke negara berkembang di Asia Tenggara, di satu sisi membantu Rusia memperbesar sumber ekonomi negaranya, di sisi lain memperluas pengaruhnya terhadap negara-negara Asia Tenggara hingga ke wilayah “Indo-Pasifik”.

  1. Protes Pencurian dan Pembajakan Teknologi oleh Beijing

Dalam jangka waktu panjang RRT mencuri dan menjiplak hak cipta teknologi milik berbagai perusahaan Barat, ini telah memicu protes keras negara-negara Eropa dan Amerika, juga Rusia termasuk korbannya.

Baru-baru ini media Rusia secara terbuka mengkritik RRT yang “telah mencuri rahasia luar angkasa Rusia dan sudah tidak ada yang bisa dicuri lagi”, sebagai contoh pesawat luar angkasa “Shenzhou” milik Beijing, adalah hasil tiruan dari pesawat “Soyuz” milik bekas Uni Soviet dulu.

Kantor berita “Satelite News” Rusia bulan lalu juga baru saja mengungkap, pesawat tempur RRT tipe Shenyang J-15 yang baru-baru ini kerap terjadi kecelakaan terbang, sebenarnya adalah akibat Beijing berniat menghemat anggaran membeli pesawat tempur lalu diam-diam meniru jet tempur jenis Su-33 milik Rusia namun gagal.

  1. Mengincar Keuntungan dari Gelut AS-RRT

Untuk mengepung perluasan RRT, baru-baru ini AS berupaya menjalin kembali hubungan baik dengan Rusia, dengan harapan bisa “gandeng Rusia tekan Beijing”. Ketika Presiden Trump diwawancarai CNBC beberapa hari lalu juga menyatakan sikap dengan jelas, “Saya ingin mencapai kesepakatan, selama ini hubungan kita dengan Rusia sangat buruk.”

Dalam hal ini Putin sangat memahami, saat ini Amerika tengah gencar merangkul Rusia untuk melawan PKT, dan PKT juga kemungkinan akan merangkul Rusia, untuk mencegah terjadi dilema Rusia bersekutu dengan AS untuk menekan PKT.

Oleh sebab itu Rusia yang mahir berhitung, dipastikan akan berselancar di sela-sela pertikaian antara Beijing dengan AS, serta sebentar memberi sinyal mendekat dan sebentar menjauh berupaya mencari celah antara keduanya untuk mendapatkan keuntungan terbesar bagi dirinya sendiri.

Baru-baru ini interaksi antara Amerika dengan Rusia terus berlanjut, saling mengayunkan sanksi ekonomi atau bea masuk tinggi dalam saling serang dan bertahan; di saat yang sama Rusia juga membombardir PKT lewat opini media — ini mungkin taktik “mengambil hati kedua pihak” yang sengaja diatur, di saat yang sama terhadap kedua sisi juga “bersikap anggun dan jual mahal” sebagai strategi negosiasi tuas ganda.

Namun yang patut diperhatikan adalah, baru-baru ini Trump mendelegasikan senator Rand Paul untuk menyerahkan suratnya kepada Putin, berharap meningkatkan kerjasama memberantas teroris kedua negara, dialog legislatif serta pertukaran budaya, dan tidak biasanya Paul mencuit secara terbuka informasi ini di akun Twitter dalam menyampaikan suasana positif antara Amerika dengan Rusia.

Direktur Komite Urusan Luar Negeri Yang Jiechi juga akan berkunjung ke Rusia minggu depan. Itu sebabnya, suatu ajang “perang AS-RRT merebut Rusia” akan segera berkobar.

Namun “One Belt One Road”, dan yang disebut “diplomatik kharakteristik RRT” serta ambisi RRT membentuk front persatuan global, ditambah lagi dengan tidak adanya moral dan ketulusan, ancaman masa mendatang dan dampak mendalam yang akan ditimbulkan terhadap Rusia, mungkin akan membuat Putin berpikir tiga kali.

Sekarang Beijing menunjukkan niat baik pada Rusia, apakah hanya “ketenangan sebelum badai melanda”?

Sedangkan perselisihan antara Amerika dengan Rusia saat ini, apakah mungkin akan seperti “Kesepakatan Perdagangan Bebas Nol Bea Masuk” yang dicapai AS-Eropa setelah sebelumnya sempat konflik beberapa saat, dan pada akhirnya menjadi “badai sebelum ketenangan”? Hal ini patut disoroti. (SUD/WHS/asr)