Kim Jong-Un Ungkit Lagi “Denuklirisasi”, Trump Bongkar Tipuan Ganda RRT-Korut

Tang Hao – Epochtimes.com

Tanggal 19 September lalu, untuk ketiga kalinya “pertemuan Moon-Kim” telah berakhir, Presiden Korsel Moon Jae-In telah menandatangani “Deklarasi Bersama September Pyongyang” dengan pemimpin Korut Kim Jong-Un, sekali lagi Kim Jong-Un berjanji akan mewujudkan denuklirisasi total, “menciptakan Semenanjung Korea sebuah daratan yang damai tanpa senjata nuklir dan ancaman nuklir”.

Pertemuan Moon-Kim kali ini sangat penting bagi Korut, sangat mendesak bagi pihak Korut untuk menyetujui pertemuan dan deklarasi ini, untuk kembali menyatakan sikap pada AS yakni, bersedia melakukan denuklirisasi, menghilangkan kesan negatif terhadap Korut yang menunda-nunda dan tidak melakukan apa-apa selama tiga bulan terakhir ini.

Mengapa Korut buru-buru hendak menunjukkan sikap pada AS? Karena strategi “tekanan ekstrim” dari Trump menimbulkan efek.

Tekanan Ekstrim Trump Tiga Aspek Sekaligus: Militer, Dagang, Diplomatik

Menilik kembali 23 Agustus lalu. Putaran keempat perundingan perdagangan AS-RRT, kedua belah pihak tidak mencapai kesepakatan, pihak RRT mengumumkan akan menunggu pasca selesainya pemilu paruh waktu AS (November) baru kembali melakukan perundingan. Di saat itu, Menlu AS Pompeo juga sedang bersiap terbang ke Korut, untuk melakukan perundingan terkait masalah denuklirisasi.

Akan tetapi Trump memutuskan untuk melakukan aksi cekal lebih dulu, memisahkan konspirasi antara PKT dengan Korut yang memanfaatkan denuklirisasi Korut untuk disalahgunakan pada perang dagang. Pertama-tama memberikan tekanan bagi Korut.

Tanggal 24 Agustus, Trump langsung mengumumkan, membatalkan perjalanan Menlu Pompeo ke Korea Utara dan menutup pintu perundingan dengan Korut, semua hal terkait dibicarakan kembali pasca pemilu paruh waktu.

Tanggal 28 Agustus, Menhan James Mattis menyatakan, pasukan AS akan menghentikan latihan perang bersama dengan Korsel setelah pertemuan Trump-Kim pada bulan Juni lalu, namun kini pihak AS sudah tidak berniat menghentikan latihan militer itu. AS mengisyaratkan akan mengerahkan kekuatan militer. Kemudian, Trump juga memberikan tekanan besar terhadap Beijing.

Tanggal 29 Agustus, di akun Twitter ia secara terbuka mengkritik Beijing, “Karena masalah sengketa dagang yang sangat besar antara kami dengan pemerintah RRT, Korut mendapat tekanan massive dari pihak RRT”, serta menekankan asalkan ia bersedia, dengan segera AS, Jepang dan Korsel akan melangsungkan latihan perang bersama, dengan skala berlatih yang belum pernah ada sebelumnya.

Walaupun pada permukaan Trump “menembakkan meriam” pada PKT, tapi di saat yang sama juga diam-diam mengkritik “konspirasi ganda RRT-Korut” jangka panjang selama ini. Akan tetapi Trump tidak secara langsung mengkritik Korut, sangat mungkin menyisakan ruang bagi Korut, kembali menunjukkan niat baik pada Korut, mengisyaratkan Kim agar tidak lagi terpengaruh oleh PKT.

Tanggal 7 September, Trump mengumumkan pungutan bea masuk terhadap produk RRT senilai USD 200 milyar akan segera diterapkan.

Di luar dugaan, Trump bahkan langsung menambah angka, memperingatkan telah menyiapkan rencana pungutan bea masuk berikutnya senilai USD 267 milyar, ini berarti semua produk ekspor RRT ke AS akan masuk ke dalam jangkauan meriam bea masuk ini, memberikan tekanan ekstrim bagi ekonomi dan perdagangan RRT.

Trump Tekan Keras Konspirasi RRT-Korut, Kim Jong-Un Putar Haluan

Menghadapi serangan bertubi-tubi Trump, kedua belah pihak RRT dan Korut jelas merasakan situasi tidak nyaman, terutama Korut langsung berputar haluan, aksi diplomatik pun bermunculan.

Tanggal 10 September, Gedung Putih mengumumkan Kim Jong-Un menulis surat kepada Trump meminta agar dilangsungkan pertemuan kedua Trump dan Kim.

Tanggal 14 September, Korsel mengumumkan Moon Jae-In dan Kim Jong-Un akan menggelar pertemuan Moon-Kim yang ketiga pada tanggal 18 September.

Tanggal 19 September, Korut dan Korsel menandatangani “Deklarasi Bersama Pyongyang September”, sebagai upaya keras mewujudkan denuklirisasi Semenanjung Korea.

Dalam waktu singkat, irama menjadi cepat. Serangkaian tindakan antusias Korut terhadap Korsel tampaknya berupaya mewujudkan perdamaian di Semenanjung Korea, tapi sebenarnya melontarkan tanggapan bersahabat kepada AS, dengan harapan Trump akan memberikan kesempatan kedua untuk bertemu dengan Kim Jong-Un lagi.

Selain itu, pada parade militer peringatan 70 tahun berdirinya Korut, tidak dipamerkan senjata berat seperti rudal balistik antar benua; dan pada “Forum Ekonomi Timur” yang diselenggarakan di Rusia, Kim Jong-Un juga memilih untuk tidak hadir, tidak bertemu dengan Xi Jinping maupun Putin, sebaliknya justru secara aktif mempersiapkan pertemuan Moon-Kim.

Berbagai pertanda menunjukkan, Kim Jong-Un mulai menjajal untuk keluar dari struktur konspirasi ganda RRT-Korut ini, dan merapat pada Amerika, dengan niat menemukan jalan masa depan — setidaknya sementara seperti itu.

Pertama, masyarakat internasional telah memberlakukan sanksi ekonomi yang paling berat sepanjang sejarah bagi Korut, masih berlaku sampai sekarang, pemerintahan Kim Jong-Un merasakan tekanan yang amat besar; walaupun Rusia dan RRT diam-diam menyelundupkan sumber daya alam untuk memberikan bantuan, tapi masih tidak cukup memenuhi kebutuhannya. Selama ini suara tentangan rakyat semakin meninggi, mungkin bisa berakibatkan berkobarnya perlawanan di dalam negeri Korut. Apalagi baru-baru ini di DK PBB, Rusia juga diungkap oleh AS telah melanggar kesepakatan PBB dengan diam-diam membantu Korut dan dikritik keras.

Kedua, Xi Jinping tidak menghadiri peringatan 70 tahun berdirinya Korea Utara, melainkan mengutus Li Zhanshu menghadirinya agar tidak menyinggung pihak AS, menunjukkan pihak PKT sudah mulai gentar terhadap serangan beruntun oleh Trump, dan Korut memperhatikan hal ini.

Ketiga, meriam perang dagang AS-RRT kian hari kian sengit, walaupun di mulut PKT menyatakan akan “gigih bertahan sampai akhir”, “RRT pasti menang”, namun kondisi sesungguhnya di masyarakat justru merefleksikan kondisi perang yang sebaliknya, banyak perusahaan ramai-ramai “beri suara dengan kaki” yakni, meninggalkan RRT atau mengalihkan produksinya, menunjukkan masa depan RRT sangat tidak menjanjikan; ditambah lagi Eropa dan Amerika tengah aktif terhubung mengepung Beijing, selama ini PKT tidak hanya sulit bertahan, apalagi harus melindungi adik kecilnya Korea Utara.

Keempat, sejak Trump menjabat, kekuatan ekonomi maupun militer AS telah kembali menguat, pihak AS baru-baru ini semakin mengeras terhadap sikap RRT. Namun Beijing justru melepaskan sinyal bermusuhan lewat media massa ofisialnya, mencerca dan menantang, tidak hanya tidak membantu meredakan hubungan AS-RRT, bahkan semakin mengundang AS membalas dengan lebih banyak sanksi. Oleh sebab itu, Korut mungkin ingin menjaga jarak dengan RRT, agar terhindar dari kobaran api perang yang akan berdampak buruk padanya.

Kelima, sejak pertemuan Trump-Kim bulan Juni lalu, Kim Jong-Un masih belum juga mewujudkan janji denuklirisasinya, walaupun AS tidak senang, namun Trump masih menjaga niat baik kepada Kim Jong-Un, dan belum melontarkan kritik terhadap pribadinya. Ini mungkin membuat Kim Jong-Un merasakan bedanya Trump dengan politikus lain, yang memang berniat membantu Korut memperbaiki ekonominya.

Manfaatkan Korut Sebagai Pendongkrak, Kim Jong-Un Tawar Trump

Lalu apakah Kim Jong-Un memutuskan akan mengikuti langkah Trump tanpa syarat? Tidak juga. Ia masih menggunakan beberapa kartu diplomatiknya, diam-diam adu tawar dengan AS.

Meninjau interaksi AS-Korut baru-baru ini, Korut hampir selalu bernegosiasi dengan Korsel sebagai media, dan tidak secara langsung berhubungan dengan AS. Korut tahu kemampuan negara dan modalnya terbatas. Oleh sebab itu mencari Korsel berunding dengan AS, agar AS mau tidak mau mempertimbangkan sikap dan kepentingan Korsel selaku sekutunya, sehingga tidak terlalu keras terhadap Korut saat berunding.

Yang lebih layak diperhatikan adalah, pada pertemuan Trump-Kim, salah satu konten yang disepakati oleh Trump dan Kim Jong-Un adalah Korut “berjanji akan berupaya melakukan denuklirisasi total di Semenanjung Korea”. Pemerintah Trump pun langsung menanggapi, hanya jika Korut telah mewujudkan “denuklirisasi secara menyeluruh, terbukti, dan tidak terulang kembali (CVID)”, maka segala sanksi ekonomi terhadap Korut baru akan dicabut.

Tapi Kim Jong-Un justru memanfaatkan Pertemuan Moon-Kim ini untuk menyatakan hanya jika pihak AS mengambil tindakan dan mengalah secara bersahabat, Korut baru akan selamanya membongkar instalasi nuklirnya.

Jelas di sini Kim Jong-Un secara “cerdik” menggunakan cara negosiasi pihak ketiga, dari jauh tawar menawar dengan AS, diam-diam ingin mengubah isi kesepakatan yang sejak awal telah disepakati kedua pihak.

Kim Jong-Un ingin pihak AS “mengalah”, mengapa? Ada dua hal: meredakan atau mencabut sanksi ekonomi terhadap Korut, dan juga menandatangani “Kesepakatan Akhir Perang Korea”. Hal pertama adalah agar ekonomi Korut bisa bernafas lega sedikit, dan hal kedua adalah agar Korut mendapat janji AS “tidak melakukan aksi militer”, untuk dijadikan “kartu bebas mati” bagi Korut.

Apakah Trump akan menerima tawaran Kim Jong-Un, saat ini belum diketahui.

Akan tetapi, terhadap beberapa janji yang dibuat oleh Korut kali ini, Trump menyatakan “sangat gembira (very exciting)”.

Trump Ciduk Dalang Perompak, Goyahkan Konspirasi Ganda RRT-Korut

Memang, dari beberapa kali rezim keluarga Kim kerap ingkar janji dan kebohongan rezim komunis yang telah menjadi kebiasaan, kali ini Kim Jong-Un kembali menjanjikan denuklirisasi, apakah pada akhirnya akan terwujud, atau hanya memanfaatkan “denuklirisasi” untuk menipu dicabutnya sanksi dan janji menghentikan perang, segala kemungkinan masih bisa terjadi, masih perlu terus diamati.

Akan tetapi, kartu militer dan kekuatan ekonomi Trump kali ini yang kuat, dibantu dengan teknik negosiasinya yang sulit diprediksi dan perang psikologi, memang telah mendatangkan tekanan luar biasa besar bagi RRT maupun Korut, bisa dikatakan ini adalah sebuah “shock therapy” bagi keduanya.

Selain itu, Trump tidak hanya mulai membongkar “konspirasi ganda RRT-Korut”, juga langsung menohok titik kelemahannya dengan memfokuskan pada ekonomi, dagang dan diplomatik untuk ‘membombardir’ PKT, menangkap perompak harus menciduk dedengkotnya lebih dulu; lalu memberikan ancaman sekaligus juga tekanan bagi Korut secara bersamaan, memancing dengan niat baik, akhirnya berhasil membongkar struktur konspirasi komunis yang selama bertahun-tahun telah membodohi masyarakat internasional.

Kemudian, janji denuklirisasi Korut apakah benar-benar akan diwujudkan, bagaimana mewujudkannya, Trump dan Kim apakah akan bertemu kembali, apakah struktur konspirasi RRT-Korut akan dibongkar tuntas, ini tergantung bagaimana pemerintahan Trump mengeluarkan jurus-jurusnya. (SUD/WHS/asr)