Kisah Jenderal Legendaris AS Douglas MacArthur (2)

Yang Yue

Douglas MacArthur adalah Jenderal Bintang Lima Amerika Serikat, Selama Perang Dunia II ia menjabat sebagai Panglima Pasukan Timur Jauh AS dan Panglima Sekutu Zona Perang Pasifik Barat Daya.

Selama Perang Korea ia menggunakan “Siasat Perang Sun Zi (Sun Tsu)” artikel ke 7 “Dengan cara tidak langsung mencapai tujuan sehingga kelemahan diri diubah menjadi kelebihan yang menguntungkan” sebagai pedoman untuk menggerakkan serangan pendaratan Incheon.

Bahkan mengalahkan tentara Kim Il Sung Korea Utara.

Selanjutnya pasukan AS menduduki Pyongyang ibukota Korea Utara dan pasukannya berhasil mendekati Sungai Yalu (sungai perbatasan Tiongkok – Korea Utara)

Mendarat di Incheon perang Korea pecah

Pada 25 Juni 1950, pemimpin Korea Utara Kim Il Sung memimpin tentara komunis menyerang Korea Selatan, di bawah dukungan kuat dari Kelompok Komunis dalam waktu tiga hari dia menduduki ibukota Korea Selatan, Seoul dan situasinya sangat kritis.

Resolusi Dewan Keamanan PBB mengorganisir “Pasukan PBB” dengan MacArthur sebagai Panglima Tertingginya, kemudian Pasukan VIII AS memasuki medan perang dan mempertahankan wilayah Busan bersama-sama dengan pasukan Korea Selatan.

Pada bulan September di tahun itu, MacArthur menggunakan “Siasat Perang Sun Zi (Sun Tzu)” artikel ke 7 “Dengan cara tidak langsung mencapai tujuan sehingga kelemahan diri diubah menjadi kelebihan yang menguntungkan” sebagai pedoman untuk melancarkan serangan Pendaratan Incheon, dengan demikian telah memotong pinggang pasukan Korea Utara yang dipimpin oleh Kim Il Sung dan menimbulkan kerugian berat bagi pasukan intinya.

BACA JUGA : Kisah Jenderal Legendaris AS Douglas MacArthur (1)

10 hari kemudian, pasukan PBB merebut kembali kota Seoul dan MacArthur melampaui Garis Demarkasi Militer 38° (GDM38) dengan kekuatan tanpa dapat dibendung.

Hingga tanggal 19 Oktober militer AS telah menduduki Pyongyang ibu kota Korea Utara, dan sisa-sisa pasukan yang dipimpin Kim Il Sung kalah dan mundur terus sampai ke dekat Sungai Yalu (yang memisahkan Semenanjung Korea dengan Tiongkok).

Pada saat itu untuk mengusir tuntas kekuatan komunis dari Korea wilayah utara hanya tinggal satu langkah saja.

PKT terjun dalam medan perang

Pada tanggal 19 Oktober PKT memobilisasi lebih dari satu juta “tentara sukarelawan” untuk menyerang pasukan AS di Korea Utara, dan tanpa ragu mengorbankan nyawa manusia menggunakan taktik Gelombang Manusia untuk meyerang gencar pasukan PBB yang dipimpin oleh AS, serta mendesak garis pertempuran kembali ke GDM38.

Seorang prajurit AS berpangkat kopral mengenang salah satu medan pertempuran: Di atas bukit kecil mayat tentara RRT tergeletak dimana-mana, ada sekitar 100 –  200 mayat.

Mereka semua mengenakan celana panjang, baju dan sepatu tipis, tanpa mantel katun, sejumlah mayat terlihat berkelompok 2-3 orang dan tubuh mereka saling berpelukan untuk mencari kehangatan.

Berdasarkan analisa kulit mereka yang menjadi membiru serta pucat pasi, mereka kebanyakan sudah mati beku sebelum serangan udara dan pengeboman AS.

Seorang prajurit korps 27 mengenang dan mengatakan bahwa di sepanjang sisi satu-satunya jalan mundur pasukan AS. Mereka menemukan satu kompi kira-kira 120 orang dari Korps 20, mereka memakai topi lebar, telinga ditutup dengan handuk, memakai sepatu karet dan mantel katun ala selatan, berjongkok di dalam kubangan salju.

“Saya hendak menariknya dan menemukan tubuh mereka satu per satu sudah mengeras, semuanya mati kedinginan, satu kompi,” tambahnya.

Veteran AS ketika mengenang partisipasi mereka dalam Perang Korea, semuanya merasakan kengerian itu, tidak memiliki rasa benci terhadap tentara Tiongkok bahkan ada yang prihatin bahwa pasukan RRT menggunakan tubuh prajurit sebagai pengumpan peluru.

“Setiap kali bertempur, jumlah tentara yang menyerang selalu lebih banyak 5 atau 6 kali lipat dari kita, dengan mengorbankan sangat, sangat banyak orang!”

Taktik perang RRT yang menggunakan Gelombang Manusia ini membuat MacArthur yang sangat respek terhadap budaya Tiongkok menjadi sangat terkejut, pada saat itu dia mulai menyadari bahwa Tiongkok yang sekarang ini sudah bukan negara yang memiliki warisan budaya 5000 tahun yang dia kenal di masa mudanya.

Dia menyarankan kepada Presiden AS Truman agar kekuatan utama Angkatan Udara AS diterjunkan dalam medan perang dan bahkan tanpa ragu menggunakan senjata nuklir untuk mencegah ekspansi Kelompok Komunis.

Namun pada saat itu  berbagai departemen pemerintah AS telah diinfiltrasi oleh Komunis Internasional dengan serius, membangkitkan gelombang anti-perang dan Presiden Truman berada di bawah tekanan dari semua lapisan masyarakat, dengan terpaksa harus menyatakan bahwa tidak ingin memicu Perang Dunia Ketiga serta menolak permintaan MacArthur, dan memecat MacArthur dengan alasan “Belum mampu mendukung sepenuhnya kebijakan AS dan PBB”.

Setelah kembali ke AS, MacArthur menerima sambutan bagai seorang pahlawan. Dia duduk dalam sebuah mobil sedan melewati jalan-jalan di New York, pita berwarna dan suara sorak sorai bersahutan bagai hujan turun.

Di banyak kota-kota besar meletus kegiatan yang mendukung MacArthur. Pada saat itu ada rapat dewan dari 4 Negara Bagian meloloskan resolusi yang menuntut agar Presiden Truman menarik kembali perintahnya.

Pada tanggal 19 April tahun 1951, MacArthur menyampaikan pidato mengejutkan di Kongres yang berjudul “Tentara Gaek Tak Pernah Mati” (Old Soldiers Never Die.

Dalam pidato itu dia menyebutkan 2 poin: “Ada orang-orang tertentu mengajukan berbagai alasan untuk bertoleransi tanpa prinsip kepada PKT. Mereka menutup mata terhadap pelajaran dalam sejarah yang sangat gamblang, karena sejarah memberi tahu kita tanpa satu kesalahan apapun: Bertoleransi tanpa prinsip hanya dapat menyebabkan perang berikutnya yang lebih berdarah.

Berkompromi hanya membawakan perdamaian yang semu, tidak ada preseden dalam sejarah yang menunjukkan bahwa bertoleransi tanpa prinsip dan kompromi dapat memiliki akhir yang baik.”

“Ancaman komunisme adalah global, jika mereka berhasil merongrong di suatu wilayah maka akan mengancam ke daerah yang lain dan membawa bencana yang bersiat menghancurkan. Kita tidak boleh mentolerir tanpa prinsip untuk menenangkan atau menyerah dengan bertekuk lutut kepada komunisme di Asia, jika tidak, hanya akan merusak atau bahkan mencegah kita untuk menahan semua upaya ekspansi komunisme di Eropa.”

Sangat disayangkan bahwa pada saat itu Amerika Serikat tidak terus mendukung strategi MacArthur dan setelah  komunisme berkembang di seluruh dunia serta menewaskan puluhan juta orang secara tidak wajar.

Seiring dengan itu Amerika Serikat juga harus menghadapi krisis rudal di Kuba, Perang Vietnam dan  beberapa pertempuran lainnya.

Jika pada saat itu Amerika Serikat terus mempertahankan strategi MacArthur, tiada masalah Korea Utara seperti hari ini dan ancaman Kim Jong-un telah lama tidak eksis lagi. (LIN/WHS/asr)

Tamat